Sabtu, 18 Oktober 2014

SUDAH SALAFIKAH AKHLAK KITA

SUDAH SALAFIKAH AKHLAK KITA

Sebuah kekeliruan yang sangat besar jika mengira bahwa Manhaj Salaf hanya berkutat pada masalah aqidah saja. Bukankah kitab suci umat Islam adalah akhlak Rasulullah shallallahu aalihi wa sallam sebagaimana perkataan ibunda kita yang kita hormati 'Aisyah radhiyallahu anha? Bukankah misi da'wah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia? Mudah-mudahan kita diberi kemudahan untuk memperbaiki akhlak kita semua. Amin.

BEGINILAH AKHLAK SALAF
  1. Banyaknya keikhlasan dalam ilmu dan amal mereka, serta kekhawatiran terjebak dalam kubangan riya’.
  2. Mereka berhenti berbuat atau berkata sampai mengerti kedudukannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, untuk menjaga diri agar tidak terjebak dalam perangkat bid’ah yang tidak ada dasar pijakannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
  3. Mereka banyak menyandarkan urusan dirinya, anak-anak, dan sahabatnya hanya kepada Allah Ta’ala. Mereka tidak memiliki motif apapun dalam petunjuknya kepada manusia melainkan hanya bagi Allah Ta’ala. Mereka juga tidak meminta sesuatupun untuk dirinya sendiri sedangkan mereka tidak bersandar kepada Allah Ta’ala.
  4. Mereka meninggalkan perilaku nifaq dalam beramal dengan menyeimbangkan amalan mereka yang nyata dengan yang tersembunyi, sehingga mereka tidak membawa amalan yang membawa aib esok di hari Akhir.
  5. Sangat mengoptimalkan kesabaran terhadap kezhaliman penguasa di hadapan mereka tanpa menoleransi dosa-dosanya.
  6. Meningkatnya ghirah (hasrat) mereka kepada Allah Ta’ala jika terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan-Nya untuk membela syariat yang suci.
  7. Sedikit tertawa dan tidak bergembira secara berlebihan apabila mendapatkan kenikmatan dunia.
  8. Mereka mengharapkan kematian bila menghawatirkan dirinya terjerumus ke dalam hal-hal yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah.
  9. Sangat takutnya mereka kepada Allah, pada awal dan akhir kehidupannya. Yang ditakutkan di awal kehidupannya adalah dosa-dosa dan azab. Dan yang ditakutkan di akhirnnya ialah kemuliaan, keagungan dan su’ul khatimah (akhir hidup yang buruk).
  10. Mereka banyak mengharapkan belas kasihan dari azab Allah Ta’ala disebabkan oleh apa yang telah mereka lakukan, berupa menzhalimi diri sendiri dan hamba Allah yang lain walaupun sekecil jarum.
  11. Melepaskan hati pada mereka diri setiap penyakit yang menjangkiti. Karena mungkin itu upaya mereka untuk membebaskan diri dari penyakit.
  12. Banyak mengambil pelajaran, menangis, dan memperhatikan masalah kematian ketika mereka melihat iringan jenazah. Mereka selalu mengingat mati, sekarat, dan su’ul khatimah, sampai-sampai hati mereka berguncang.
  13. Mereka mudah memaafkan dan lapangan dada dari setiap orang yang menyakitinya, baik badannya, diambil hartanya, dilecehkannya kehormatannya, atau yang lainnya.
  14. Mereka menjunjung tinggi kehormatan kaum muslimin dan mencintai kebaikan mereka, karena termasuk sya’ir-sya’ir Allah.
  15. Kesabaran mereka terhadap pembangkang istri-istri mereka.
  16. Mereka tidak mencari jabatan sampai diminta atau diajukan manusia agar memimpiNnya.
  17. Mereka saling menasihati di antara sendiri. Yang lebih tua tidak tersinggung dengan nasihat dari yang lebih muda.
  18. Beradab yang baik kepada yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua. Mengutamakan yang jauh daripada yang dekat, juga yang jahil daripada yang ‘alim.
  19. Mereka sangat takut kepada Allah Ta’ala bila dimatikan dalam keadaan su’ul khatimah, yang menyebabkan mereka terhalang dari-Nya di neraka. Sehingga salah seorang dari mereka bertafakur dan bersedih serta menarik diri dari pergaulan.
  20. Kedisiplinan mereka dalam menghidupkan malam, baik musim panas maupun musim dingin.
  21. Mengosongkan jiwa mereka setiap saat untuk mengeluarkan sifat-sifat orang munafiq dan memasukkan sifat-sifat orang mu’min.
  22. Selalu mendahulukan amalan akhirat di atas amalan dunia.
  23. Mereka tidak lalai untuk selalu mengingat Allah dan bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap majelis mereka.
  24. Hati mereka sangat peka dan sering menangis karena melupakan hak Allah Ta’ala. Tujuannya agar Allah menyayangi mereka.
  25. Mereka merasa dirinya binasa karena sedikitnya ketaatan mereka dan seringnya mereka terjebak dalam kemaksiatan.
  26. Mereka tidak banyak memperhatikan pembangunan tempat tinggal atau sejenisnya. Kemudian bila salah seorang mereka membangun tempat tinggalnya, maka itu dilakukan sebatas kebutuhan yang mendesak tanpa menghiasnya.
  27. Rendahnya dunia menurut mereka dan mereka berpaling sangat jauh darinya.
  28. Mereka tidak melampaui batas dalam hal yang halal jika mereka mendapatkannya.
  29. Mereka melihat dengan matanya bahwa merasa amalnya sedikit.
  30. Mereka merasa menghawatirkan adanya kerusakan dalam ilmu dan amalnya serta dalam menyampaikan petunjuk kepada umat yang membawa kemaslahatan di dunia maupun di akhirat.
  31. Mereka sering menanyakan keadaan Shahabat mereka. Hal ini sebagai satu bentuk perhatian mereka terhadap kebutuhan orang lain berupa makanan, pakaian, dan uang.
  32. Mereka tidak lalai dalam memerangi iblis dan berusaha keras untuk mengetahui tipu daya dan jebakan-jebakannya.
  33. Mereka memandang diri sendiri sebelum melaksanakan salah satu kewajiban, pun dalam bersyukur kepada Rabb mereka
  34. Kejelian mereka di dalam ketakwaan, dan tidak mengaku kepada salah seorang dari mereka bahwa ia bertakwa.
  35. Mereka banyak menutupi aib saudara mereka, kaum muslimin. Mereka banyak mengoreksi diri sendiri untuk sampai kepada derajat wara’ (menjaga diri dari terjerumus kepada yang haram)
  36. Berkasih sayang, tenang, sopan, sedikit berbicara karena kesempurnaan akal mereka dan banyaknya pengalaman dari orang lain yang sezaman dengan mereka.
  37. Banyak berdiam diri, atau bila berbicara penuh hikmah untuk memudahkan para penuntut ilmu.
  38. Mereka sering shiyam (berpuasa) dan sedikit berbicara, sebagaimana halnya ulama ‘amilin (yang mengamalkan ilmunya).
  39. Mereka menutup pintu ghibah rapat-rapat dari majelis-majelis mereka agar tidak menjadi majelis ajang berbuat dosa.
  40. Mereka tidak mengganggu orang yang berwudhu, shalat, atau yang mengerjakan bentuk-bentuk ibadah lainnya.
  41. Mereka tidak membongkar-rahasia dan tidak menyampaikannya kapada seorangpun yang tidak berhak mendengarnya.
  42. Mereka disibukkan dengan aib diri sendiri daripada aib orang lain serta berusaha keras menutupi aib orang lain.
  43. Mereka pemurah, dermawan, memberikan bantuan, serta bertetangga rasa dengan saudara-saudaranya baik dalam perjalanan maupun ketika bermukim.
  44.  Mereka suka berbuat kebajikan kepada saudaranya, berlapang dada kepada mereka, serta berusaha saling menyenangkan antara satu dengan lainnya.
  45. Menghormati tamu, melayani mereka lebih daripada dirinya sendiri, kecuali ada alasan syar’i.
  46. Mereka tidak mengundang untuk menyantap makanan yang haram, atau undangan khusus bagi orang-orang kaya dengan mengesampingkan orang-orang miskin, maupun juga resepsi yang di dalamnya ada unsur maksiat.
  47. Mereka bersedekah dengan yang terbaik dari kebutuhan mereka, siang dan malam, secara rahasia maupun terang-terangan.
  48. Mereka tidak mengambil sesuatu dari saudaranya kecuali yang mengetahui diri mereka dan memenuhi diri mereka dan memenuhi hak-haknya. Sesungguhnya saudaramu yang belum engkau penuhi hak-haknya, maka hatinya kosong darimu.
  49. Mereka tidak memusuhi manusia, tidak ber-mudarah kepada orang lain, serta tidak berbuat jahat kepada siapa pun.
  50. Mereka sering memisahkan diri dari orang-orang yang suka berbuat maksiat.
  51. Mereka bertambah tawadhu ketika derajat taqarrub salah seorang dari mereka meningkat kepada Allah Ta’ala.
  52. Mereka tidak menyepelekan keutamaan-keutamaan sedikitpun yang kita senangi secara syar’i untuk diamalkan.
  53. Mereka memperbanyak taubat dan istighfar waktu malam dan siang.
  54. Mereka memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, walaupun mereka belum mengerjakan atau belum mencegahnya.
  55. Mereka tidak ujub dan menunjuk diri dengan sebagian amalan-amalan mereka, bahkan mereka melihat kekurangan dan kelalaian dalam ketaatan mereka untuk mengimbangi keburukan yang telah dilakukan.
  56. Mereka senantiasa mempersiapkkan diri ketika mengharap Allah Ta’ala ketika menunaikan shalat, sehingga mereka menghadiri undangan Allah Ta’ala.
  57. Mereka menjauhi duduk-duduk di pasar untuk berjual-beli kecuali setelah mengetahui hukum syar’inya dalam telah memastikan tidak akan disibukkan olehnya dari amalan-amalan akhiratnya.

(Dkutip dari terjemahan buku Min Akhlakis Salaf karya Dr. Ahmad Farid. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar