Kamis, 19 Februari 2015

MENGENAL FUNGSI NIAT


Mengenal Fungsi Niat

Keinginan hati untuk melakukan suatu amalan, itulah makna daripada niat. Niat merupakan perkara yang amat penting dalam Islam. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengabarkan bahwa segala amal perbuatan itu tergatung pada niat Si Pelaku. Seorang mendapatkan buah dari amalannya sesuai keadaan niat dalam hatinya. Dalam sebuah hadist yang masyhur, disampaikan oleh sahabat Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahua’laihi wasallam bersabda,

إنما الأ عمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan” (HR Bukhari & Muslim)
Oleh karenya para ulama memberikan perhatian cukup besar terhadap perkara niat ini. Sampai-sampai mereka mengarang sebuah kitab yang hanya membahas permasalahan niat. Sebut saja Abu Bakr bin Abid Dun-ya rahimahullah, beliau telah mengarang sebuah kitab yang khusus membahas permasalahan ini. Judulnya Al-ikhlas wan Niyyah (ikhlas dan niat). Ini menunjukkan bahwa niat tak bisa dipandang sebelah mata. Dan seorang akan menyadari urgensi niat bila ia mengerti betapa besar fungsi daripada niat ini.

 Apa fungsi niat ?

Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menyebutkan dalam kitab beliau Jami’ al-‘ulum wal hikam mengenai fungsi dari niat, bahwa ada dua fungsi niat:
Pertama, Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan.
Kedua, Membedakan tujuan seseorang dalam beribadah. Jadi apakah seorang beribadah karena mengharap wajah Allah ataukah ia beribadah karena selain Allah, seperti mengharapkan pujian manusia.
(Lihat: Jami’ al-‘ulum wal hikam, hal. 67).
Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lain. Contohnya, shalat yang dua raka’at itu banyak. Ada shalat yang wajib dan tak sedikit shalat sunah yang dua raka’at. Kita ambil contoh shalat qabliyah subuh dengan shalat subuh. Keduanya berjumlah dua raka’at. Tata caranya pun sama, jumlah ruku’ dan sujudnya juga sama.Sama-sama diawali takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Lalu apa yang memedakan antara dua raka’at qabliyah subuh dengan dua raka’at shalat subuh? Itu lah niat yang membedakan antara keduanya.
Atau membedakan antara ibadah dengan kebiasaan. Misal, antara mandi junub dengan mandi biasa. Dari segi tatacara sama; sama-sama mengguyurkan air keseluruh badan. Sama-sama pakai sabun, dan sama-sama keramas juga. Lalu apa yang membedakan? Niat yang membedakannya. 
Jadi amalan yang pada asalnya hanya kebiasaan bisa bernilai ibadah bila diniati ibadah.
Kemudian fungsi niat kedua adalah Membedakan tujuan seseorang dalam beribadah . Pembahasan inilah yang sering kita kenal dengan istilah ikhlas. Jadi apakah seorang tatkala ia beribadah ikhlas lillahi ta’ala, atau hanya mengharap perhatian manusia?
Dan kita tahu bahwasannya Allah ta’ala tidak akan merima amalan seorang hamba melainkan yang dilakukan karena ikhlas mengharap keridhaan-Nya semata. Karena Allah ta’ala Maha Kaya, Dia tidak butuh persekutuan dalam peribadatan kepadaNya. Dalam sebuah hadits qudsi Allah ta’ala berfirman,

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Aku sangat tidak butuh sekutu, siapa saja yang beramal menyekutukan sesuatu dengan-Ku, maka Aku akan meninggalkan dia dan syirknya.” (HR. Muslim)
Fungsi niat yang kedua ini pula yang seringkali dimaksudkan dalam perkataan-perkataan ulama salaf. Seperti perkataan seorang alim; Abdullah bin Mubarak rahimahullah,

رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية
Boleh jadi amalan yang sepele, menjadi besar pahalanya disebabkan karena niat. Dan boleh jadi amalan yang besar, menjadi kecil pahalanya karena niat. ”

Jadi dari fungsi niat yang kedua ini kita dapat menyimpulkan bahwa niat akan mempengaruhi kadar pahala yang diperoleh seorang hamba. Semakin murni keikhlasannya, semakin besar pahala yang akan ia dapat. Walau amalan yang ia lakukan ringan. Dan Semakin kecil kadar keikhlasan seorang hamba; walau amalan yang ia lakukan adalah amalan yang berpahala besar, namun bila keikhlasan dalam hatinya kecil, maka semakin kecil pula pahala yang ia peroleh.
Juga perkataan ulama salaf lainnya seperti Yahya bin Abi Katsir rahimahullah,

تَعَلَّمُوا النِّيَّةَ فَإِنَّهَا أَبلَغُ مِنَ العَمَل
“Pelajarilah niat, karena ia lebih dahulu sampai di sisi Allah daripada amalan“
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata,

صَلاَحُ القَلبِ بِصَلاَحِ العَمَلِ، وَ صَلاَحُ العَمَلِ بِصَلاَحِ النِّيَّة

Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Dan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah,

مَا عَالَجتُ شَيئًا أَشَدُّ عَليَّ مِن نِيَّتِي لأَنَّهَا تَتَقَلَّبُ عَليّ
“Tidak ada sesuatu yang paling berat untuk saya obati, kecuali masalah niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik dalam diriku“.
Sedangkan niat itu sangat tergantung dengan keikhlasan pada Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا 
الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)
Allah pun mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِن تُخْفُواْ مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللّهُ وَيَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَاللّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui". Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS.Ali Imran : 29 )
Dalam ayat lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya’ –yang merupakan lawan dari ikhlas- dalam firman-Nya,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.(QS.Az-Zumar : 65 )
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Allah Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan syiriknya.”[3] An Nawawi mengatakan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan mendapatkan dosa.” [Syarh Muslim, An Nawawi, 9/370, Mawqi’ Al Islam.)
Dalam hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سنن أبي داوود ٣١٧٩: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ عَنْ أَبِي طُوَالَةَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْمَرٍ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
Sunan Abu Daud 3179: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Suraij bin An Nu'man telah menceritakan kepada kami Fulaih dari Abu Thuwalah Abdullah bin Abdurrahman bin Ma'mar Al Anshari dari Sa'id bin Yasar dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang seharusnya karena Allah Azza Wa Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan sebagian dari dunia, maka ia tidak akan mendapatkan baunya Surga pada Hari Kiamat."
Dari gambaran yang dikemukan diatas maka dapatlah difahami bahwa sesungguhnya melakukan amalan pendekatan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala harus berlandaskan kepada niat yang ikhlas, dimana seluruh bentuk ibadah itu hanya semata murni ditujukan terhadap Allah azza wa jalla , dan bersih dari segala kotoran yang dinamakan syirik.

Pentingnya Niat dalam Belajar

Di antara ibadah yang paling penting yang mudah mendekatkan seorang hamba pada Allah adalah tholabul ‘ilmi atau belajar ilmu agama. Sedangkan perkara yang amat penting yang perlu diperhatikan dan selalu dikoreksi adalah niat dalam belajar. Tidak ada kebaikan yang diperoleh jika seseorang ketika belajar malah ingin mencari ridho selain Allah. Oleh karena itu, para ulama sangat memperhatikan niatnya dalam belajar apakah sudah benar ataukah tidak karena jika tidak ikhlas, maka dapat mencacati ibadah yang mulia ini.
Sufyan bin ‘Uyainah pernah berkata,

طلبنا هذا العلم لغير الله فأبى الله أن يكون لغيره
“Kami menuntut ilmu awalnya berniat mencari ridho selain Allah. Kemudian Allah tidak ingin jika niatan tersebut kepada selain-Nya.”
Ulama salaf lainnya berkata,

طلبنا العلم وما لنا فيه كبير نية ، ثم رزقنا الله النية بعد .أي فكان عاقبته أن صار لله.
“Kami awalnya dalam menuntut ilmu tidak punya niatan yang kuat. Kemudian Allah menganuriakan kami niat yang benar setelah itu”. Maksudnya, akhirnya niatan kami ikhlas karena Allah.

Bagaimanakah niat yang benar dalam menuntut ilmu?

Syaikh ‘Abdus Salam Asy Syuwai’ir mengatakan bahwa ada tiga perkara yang mesti dipenuhi agar seseorang disebut memiliki niatan yang benar dalam menuntut ilmu.

 1. Menuntut ilmu diniatkan untuk beribadah kepada Allah dengan benar.
 2. Berniat dalam menuntut ilmu untuk mengajarkan orang lain. Sehingga para ulama seringkali mengatakan bahwa hendaklah para pria menguasai perkara haid agar bisa nantinya mengajarkan istri, anak dan saudara perempuannya.
Imam Ahmad ditanya mengenai apa niat yang benar dalam belajar agama. Beliau menjawab, “Niat yang benar dalam belajar adalah apabila belajar tersebut diniatkan untuk dapat beribadah pada Allah dengan benar dan untuk mengajari yang lainnya.”
Dari sini menunjukkan bahwa niat belajar yang keliru adalah  jika ingin menjatuhkan atau mengalahkan orang lain atau ingin mencari kedudukan mulia di dunia. Anas bin Malik berkata,

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ يُبَاهِي بِهِ الْعُلَمَاءَ ، أَوْ يُمَارِي بِهِ السُّفَهَاءَ ، أَوْ يَصْرِفُ أَعْيُنَ النَّاسِ إِلَيْهِ ، تَبَوَّأَ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa menuntut ilmu hanya ingin digelari ulama, untuk berdebat dengan orang bodoh, supaya dipandang manusia, maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Hakim dalam Mustadroknya)

3. Istiqomah atau terus menerus dalam amal dan menuntut ilmu butuh waktu yang lama (bukan hanya sebentar).

Dalam belajar itu butuh kesungguhan. Muhammad bin Syihab Az Zuhri berkata,

العلم إذا أعطيته كلك أعطاك بعضه
Yang namanya ilmu, jika engkau memberikan usahamu seluruhnya, ia akan memberikan padamu sebagian.
Dalam hadits riwayat Muslim, Abu Katsir berkata,

لاَ يُسْتَطَاعُ الْعِلْمُ بِرَاحَةِ الْجِسْمِ
“Ilmu tidak diperoleh dengan badan yang bersantai-santai.” (HR. Muslim no. 612).

Abu Hilal Al Asykari (seorang penyair) awalnya sulit menghafalkan bait sya’ir. Kemudian ia memaksakan dirinya dan berusaha keras, awalnya ia bisa menghafalkan 10 bait. Karena ia terus berusaha, ia akhirnya bisa menghafalkan 200 bait dalam sehari. Amalan yang bertujuan untuk mendekatkan diri seseolrang hamba kepada Allah, hanya dapat diterima bila disertai dua syarat yaitu

1)      Mengikhlaskan amalan untuk Allah semata yang tidak ada sekutu baginya. Karena sesuai dengan sabda Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa : “ Sesungguhnya amalan itu hanya akan dinilai bil;a disertai dengan niat. Dan sesungguhnya masing-masing orang akan mendapatkan pahala sesuai yang dia niatkan

2)       Mencontoh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam beramal. Mereka yang mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dan dalam melakukan ibadah itu ia mencontoh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka amalannya tersebut akan diterima . Sementara mereka yang kehilangan keikhlasan dan kehilangan ittiba’ kepada Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam atau kehilangan salah satu dari keduanya, maka amalannya itu akan tertolak, sebagaimana firman Allah ta’ala :

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا.

Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan], lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.(QS. Al-Furqon: 23)

Allohu a'lam. 
Semoga bermanfaat. 

Kamis, 15 Januari 2015

MAKALAH DAYA DAN POTENSI MANUSIA (KALBU,NAFSU DAN AKAL)



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami mengucapkan kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin...



Penulis





 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Manusia merupakan makhluk yang sangat menarik. Oleh karena itu, manusia dan berbagai hal dalam dirinya sering menjadi perbincangan diberbagai kalangan. Hampir semua lemabaga pendidikan tinggi mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan tempat tinggalnya. Para ahli telah mencetuskan pengertian manusia sejak dahulu kala, namun sampai saat ini belum ada kata sepakat tentang pengertian manusia yang sebenarnya. Hal ini terbukti dari banyaknya sebutan untuk manusia, misalnya homo sapien (manusia berakal), homo economices (manusia ekonomi) yang kadangkala disebut Economical Animal (Binatang ekonomi), dan sebagainya.
Agama islam sebagai agama yang paling baik tidak pernah menggolongkan manusia kedalam kelompok binatang. Hal ini berlaku selama manusia itu mempergunakan akal pikiran dan semua karunia Allah SWT dalam hal-hal yang diridhoi-Nya. Namun, jika manusia tidak mempergunakan semua karunia itu dengan benar, maka derajad manusia akan turun, bahkan jauh lebih rendah dari seekor binatang. Hal ini telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 179.
Sangat menariknya pembahasan tentang manusia inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengulas sedikit tentang Manusia Menurut Pandangan Islam.

B.     Rumusan masalah
Untuk mengkaji dan mengulas tentang manusia dalam pandangan islam, maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian manusia menurut islam?
2.      Apa hakikat manusia menurut islam?
3.      Apa saja yang termasuk stuktur manusia?
4.      Apa saja potensi-potensi dasar manusia ?




  
BAB II
MANUSIA MENURUT TINJAUAN ISLAM

Manusia merupakan makhluk yang paling mulia di sisi Allah SWT. Manusia memiliki keunikan yang menyebabkannya berbeda dengan makhluk lain. Manusia memiliki jiwa yang bersifat rohaniah, gaib, tidak dapat ditangkap dengan panca indera yang berbeda dengan makhluk lain karena pada manusia terdapat daya berfikir, akal, nafsu, kalbu, dan sebagainya.
1.  Pengertian Manusia
Pengertian manusia dapat dilihat dari berbagai segi. Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi atau makhluk yang mampu menguasai makhluk lain. Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Secara biologi, manusia diartikan sebagai sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi.
Dalam Al-Quran manusia dipanggil dengan beberapa istilah, antara lain al-insaan, al-naas, al-abd, dan bani adam dan sebagainya. Al-insaan berarti suka, senang, jinak, ramah, atau makhluk yang sering lupa. Al-naas berarti manusia (jama’). Al-abd berarti manusia sebagai hamba Allah. Bani adam berarti anak-anak Adam karena berasal dari keturunan nabi Adam. Dalam Al-Quran dan Al-Sunnah disebutkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia dan memiliki berbagai potensi serta memperoleh petunjuk kebenaran dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.
2.   Hakikat Manusia
Manusia dalam pandangan Islam terdiri atas dua unsur, yakni jasmani dan rohani. Jasmani manusia bersifat materi yang berasal dari unsur unsur saripati tanah. Sedangkan roh manusia merupakan substansi immateri berupa ruh. Ruh yang bersifat immateri itu ada dua daya, yaitu daya pikir (akal) yang bersifat di otak, serta daya rasa (kalbu). Keduanya merupakan substansi dari roh manusia.
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang selalu berkembang dengan pengaruh  lingkungan sekitarnya karena makhluk utuh ini memiliki potensi pokok yang terdiri atas jasmani, akal, dan rohani. Hal lain yang menjadi hakikat manusia adalah mereka berkecenderungan beragam. Sebagai makhluk ciptaan Allah yang memiliki potensi pokok paling banyak, manusia menjadi menarik untuk diteliti. Manusia yang sebagai subjek kajian mengkaji manusia sebagai objek kajiannya dalam hal karya, dampak karya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya. Namun, sampai sekarang manusia terutama ilmuwan belum mencapai kata sepakat tentang manusia.
Dalam bukunya Man the Unknown, Dr. A. Carrel menjelaskan tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia. Beliau menulis :
Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki pembendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan, dan para ahli di bidang keruhanian sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui dari segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia kepada diri mereka hingga kini masih tetap tanpa jawaban.
Manusia diberi Allah potensi yang sangat tinggi nilainya seperti pemikiran, nafsu, kalbu, jiwa, raga, panca indera. Namun potensi dasar yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Allah lainnya terutama hewan adalah nafsu dan akal/pemikiran. Manusia memiliki nafsu dan akal, sedangkan binatang hanya memiliki nafsu. Manusia yang cenderung menggunakan nafsu saja atau tidak mempergunakan akal dan berbagai potensi pemberian Allah lainnya secara baik dan benar, maka manusia akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi binatang, walaupun Al-Quran tidak menggolongkan manusia ke dalam kelompok binatang seperti yang dinyatakan Allah dalam Al-Quran (Q.S. Al A’raf : 179) :
Mereka (jin dan manusia) punya hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat ayat Allah), punya mata tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda tanda keksuasaan Allah), punya telinga tetap tidak mendengar (ayat ayat Allah). Mereka (manusia) yang seperti itu sama (martabatnya) dengan hewan, bahkan lebih rendah (lagi) dari binatang. 
3.   Struktur Manusia
Struktur manusia terdiri dari enam yaitu jasmani, rohani, nafsani, kalbu, akal, hawa nafsu.
a.      Jasmani
Ciri-ciri jasmani yaitu :
1)      Bersifat materi yang tercipta karena adanya proses (tahap)
2)      Adanya bentuk berupa kadar dan bisa disifati
3)      Ekstetensinnya menjadi wadah roh 
4)      Terikat oleh ruang dan waktu 
5)      Hanya mampu menangkap yang kongkret bukan yang abstrak
6)      Substansinya temporer dan hancur setelah mati
b.      Rohani
Ciri-ciri rohani yaitu :
1)      Adanya di alam arwah (immateri)
2)      Tidak meiliki bentuk, kadar dan tidak bisa disifati
3)      Ada energy rohaniah yang disebut al-amanah
4)      Ekstitensi energi rohaniah tertuju pada ibadah
5)      Tidak terikat oleh ruang dan waktu
6)      Dapat menangkap beberapa bentuk konkret dan abstrak
7)      Substansinya abadi tanpa kematian
8)      Tidak dapat dibagi karena merupakan satu keutuhan
c.       Nafsani
Ciri-ciri nafsani yaitu :
1)      Adanya di alam jasad dan rohani terkadang tercipta dengan proses bisa juga tidak
2)      Antara berbentuk atau tidak
3)      Memiliki energy rohaniyah dan jismiyyah
4)      Ekstitensi energy nafsani tergantung ibadah dan gizi (makanan)
5)      Ekstitensi realisasi atau aktualisasi diri
6)      Antara terikat atau tidak oleh ruang dan waktu
7)      Dapat menangkap antara yang konkret dan abstrak h. Antara dapat dibagi-bagi atau tidak
d.      Kalbu
Ciri-ciri kalbu yaitu :
1)      Secara jasmaniyyah berkedudukan di jantung.
2)      Daya yang dominan adalah emosi (rasa).
3)      Bersifat Dzawqiyyah (cita rasa) dan hadsiyah (intuitif) sifatnya spiritual.
4)      Mengikuti natur roh yang ketuhanan atau ilahiyyah.
5)      Berkedudukan pada alam super sadar atau dasar manusia.
6)      Intinya religiositas, spiritualitas, dan transedensi
7)      Apabila mendominasi jiwa manusia maka akan menimbulkan kepribadian yang tenang (Nafs Mutma‟innah)
Kalbu merupakan materi organic yang memiliki sistem kognisi yang berdaya emosi. Kalbu terdiri dari dua aspek yaitu kalbu jasmani dan kalbu ruhani. Kalbu jasmani adalah daging yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di dalam dada sebelah kiri (biasa disebut jantung), sedangkan kalbu ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus yang berhubungan dengan kalbu jasmani (esensi manusia).
Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila ia baik, maka semua tubuh menjadi baik, tetapi apabila ia rusak maka semua tubuh menjadi rusak pula. Ingatlah bahwa ia adalah kalbu” (H.R. al-bukhari).
Adapun kalbu (hati/jiwa), ia adalah ‘pemilik putusan’ yang sebenarnya. Kalbu mendengarkan usulan-usulan yang diberikan akal dan nafsu berikut perdebatan yang terjadi antara keduanya, lantas ialah yang mengambil putusan. Selain itu, kalbu juga merupakan ruangan tempat tinggal perasaan.Kalbu terletak dalam rongga dada, sebagaimana firman Allah dalam surah al-Hajj ayat 46. Kemungkinan, antara kalbu dan jantung (qalb) ada hubungan tertentu. Atau, bisa jadi kalbu adalah jantung itu sendiri. Atau, bisa jadi pula kalbu yang termaktub dalah nash syariat bukanlah kalbu dalam bentuk materi.
Fungsi kalbu :
1)      Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa.
2)      Fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta.
3)      Fungsi konasi yang menghasilkan daya cipta.
Dari sudut kondisinya, kalbu memiliki kondisi :
1)      Baik, yaitu kalbu yang hidup, sehat, dan mendapatkan kebahagiaan.
2)      Buruk, yaitu kalbu yang mati dan mendapatkan kesengsaraan
3)      Antara yang baik dan hidup, yaitu kalbu yang hidup namun berpenyakit.
e.       Akal
Ciri-ciri akal yaitu :
1)      Secara Jasmaniyyah berkedudukan di otak (al-dimagh).
2)      Daya yang dominan adalah kognisi (cipta) sehingga adanya intelektual.
3)      Mengikuti antara natur roh dan jasad.
4)      Potensinya bersifat istidhlaliyyah 9argumentatif) dan aqliyah (logis) yang bersifat rasional
5)      Berkedudukan pada alam kesadaran manusia.
6)      Intinya isme-isme seperti : humanism, kapitalisme, dan lain-lain..
7)      Apabila mendominasi jiwa maka akan terwujud jiwa yang labil (Nafs Al-lawwamah)
Akal memiliki arti menahan, melarang, dan mencegah. Maka orang yang berakal yaitu orang yang mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Akal merupakan organ tubuh yang terletak di kepala (otak) yang memiliki cahaya nurani dan dipersiapkan untuk memperoleh pengetahuan dan kognisi. Akal juga diartikan sebagai energy yang mampu memperoleh, mengolah, dan mengeluarkan pengetahuan.
Fungsi akal :
1.      Berfungsi untuk berfikir.
2.      Menghantarkan eksistensi manusia pada tingkat kesadaran.
3.      Mampu mencapai kebenaran.
Akal bertugas sebagai mustasyar (penasihat) yang memberikan pendapat dan ide yang menurutnya baik. Ia memiliki pandangan yang jauh ke depan, mengukur sesuatu dengan memprediksikan hasil dan akibatnya. Apabila akal diterangi oleh cahaya Islam maka ia akan menunjukkan pada jalan kebenaran. Sebaliknya, jika ia tak tersentuh oleh cahaya Islam maka ia akan menunjukkan pada jalan kebatilan, sembari mengiranya suatu kebenaran lantaran kebodohan dan kelalainnya. Oleh sebab itu, syariat Islam senantiasa berusaha menyinari akal dengan cahaya Islam agar alasan yang diberikannya pada kalbu menjadi kuat. Dan, agar ia terhindar dari godaan setan yang selalu berupaya membuatnya puas untuk berbuat kebatilan, setelah menghiasi kebatilan tersebut dengan ‘jubah kebenaran’.Telah diketahui bahwa akal terdapat dalam otak. Akan tetapi, akal bukanlah otak itu sendiri. Sebagaimana diketahui, perintah memang berasal dari otak menuju ke seluruh anggota jasmani, sehingga muncul anggapan bahwa otak adalah ‘pemilik putusan’. Sungguh, anggapan ini tidaklah benar. Otak adalah bagian dari jasmani. Maka, ketika turun perintah pada jasmani, perintah tersebut tidak serta-merta menuju ke bagian-bagian jasmani tersebut. Akan tetapi, pertama kali akan turun ke otak, yang kemudian ditujukan ke seluruh bagian jasmani.
f.       Hawa Nafsu
Ciri-ciri hawa nafsu yaitu :
1)      Secara jasmaniyyah terdapat di perut dan alat kelamin 
2)      Daya yang dominan adalah konarsi (karsa) atau psikomotorik
3)      Mengikuti natur ajsad yang hayawaniyyah baik jinak maupun buas (bahimiyyah dan subu‟iyyah)
4)      Bersifat hisiyyah (indrawi) yang sifatnya empiris
5)      Kedudukannya terdapat pada alam pra/ bawah sadar manusia
6)      Intinya adalah produktivitas, kreativitas dan komsumtif
7)      Apabila mendominasi jiwa maka akan terwujud nafs al-ammarah
Nafsu adalah daya nafsani yang memiliki dua kekuatan, yaitu kekuatan al-ghadhabiyah dan al-syahwaniyah. Al-ghadhah adalah suatu daya yang berpotensi untuk menghindari diri dari segala yang membahayakan, yaitu tingkah laku yang berusaha membela atau melindugi ego terhadap kesalahan, kecemasan, dan rasa malu, juga melindugi diri sendiri, memanfaatkan, dan merasionalisasikan perbuatan sendiri.
Sedangkan al-syahwat adalah suatu daya yang berpotensi meginduksi diri dari segala yang menyenangkan (keinginan, birahi, hawa nafsu). Nafsu dikenal dengan konasi yaitu bereaksi, berbuat, berusaha, berkemauan, dan berkehendak.Nafsu adalah sebagai mustasyar kedua. Yang menjadi ‘ukuran baik-buruk’ baginya ialah kenikmatan sesaat dan maslahat individual, terlepas dari nilai kebenaran. Sebab, nasfu tidak memiliki pandangan jauh seperti akal yang memprediksikan akibat yang belum terjadi. Setan kerap mempengaruhi manusia lewat unsur ini. Ia merupakan lobang besar yang setan gunakan untuk menggoda manusia. Maka dari itu, syariat Islam senantiasa berupaya untuk mengendalikan nafsu, memperkecil pengaruhnya terhadap kalbu, menutup jalan-jalan setan padanya, serta mendidiknya dengan apa yang dibencinya.Dengan demikian, jelaslah sudah bahwa akal dan nafsu tidak memiliki andil dalam mengambil putusan, tetapi hanya memberikan usulan dan pendapat.
Skema perbandingan

No
Kalbu
Akal
Nafsu
1
Berkedudukan di jantung
Berkedudukan di otak
Berkedudukan di perut dan alat kelamin yang berbentuk syahwat
2
Berdaya emosi (rasa)
Berdaya kognisi (cipta)
Berdaya konasi (cipta)
3
Mengikuti natur ruh yang ilahiah (ketuhanan)
Mengikuti natur ruh dan jasad yang insaniah (insan)
Mengikuti natur jasad yang hayawaniah (hewan)
4
Potensi bersifat zauqiah (cita-rasa) dan hadsiah (intuitif)
Potensinya bersifat argumentative dan logis
Potensinya bersifat indrawi
5
Berkedudukan pada alam supra kesadaran manusia
Berkedudukan pada alam kesadaran manusia
Berkedudukan pada alam atau pra sadar manusia
6
Apabila mendominasi jiwa manusia maka menimbulkan kepribadian yang tenang.
Apabila mendominasi jiwa manusia  maka menimbulkan kepribadian yang labil
Apabila mendominasi jiwa manusia maka menimbulkan yang jahat
4.   Potensi-Potensi Dasar Manusia dalam Islam
Allah menciptakan manusia dengan memberikan kelebihan dan keutamaan yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Kelebihan dan keutamaan itu berupa potensi dasar yang disertakan Allah atasnya, baik potensi internal (yang terdapat dalam dirinya) dan potensi eksternal (potensi yang disertakan Allah untuk membimbingnya). Potensi ini adalah modal utama bagi manusia untuk melaksanakn tugas dan memikul tanggung jawabnya. Oleh karena itu, ia harus diolah dan didayagunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga ia dapat menunaikan tugas dan tanggung jawab dengan sempurna
a.       Potensi Fitriyah
Ditinjau dari beberapa kamus dan pendapat tokoh islam, fitrah mempunyai makna sebagai berikut :
1)   Fitrah berasal dari kata (fi‟il) fathara yang berarti “menjadikan” secara etimologi fitrah berarti kejadian asli, agama, ciptaan, sifat semula jadi, potensi dasar, dan kesucian [1]
2)   Dalam kamus B. Arab Mahmud Yunus, fitrah diartikan sebagai agama, ciptaan, perangai, kejadian asli.  [2]
3)   Dalam kamus Munjid kata fitrah diartikan sebagai agama, sunnah, kejadian, tabi‟at.
4)   Fitrah berarti Tuhur yaitu kesucian [3]
5)   Menurut Ibn Al-Qayyim dan Ibn Katsir, karena fatir artinya menciptakan, maka fitrah artinya keadaan yang dihasilkan dari penciptaannya itu[4]
Apabila di interpretasikan lebih lanjut, maka istilah fitrah sebagaimana dalam Ayat Alqur‟an, hadits ataupun pendapat adalah sebagai berikut :
1)     Fitrah berarti agama, kejadian. Maksudnya adalah agama Islam ini bersesuaian dengan kejadian manusia. Karena manusia diciptakan untuk melaksanakan agama (beribadah). Hal ini berlandaskan dalil Al-qur‟an surat Adz-Dzariyat (51:56)[5]
2)   Fitrah Allah untuk manusia merupakan potensi dan kreativitas yang dapat dibangun dan membangun, yang memilliki kemungkinan berkembang dan meningkat sehingga kemampuannya jauh melampaui kemampuan fisiknya. Maka diperlukan suatu usahausaha yang baik yaitu pendidikan yang dapat memelihara dan mengembangkan fitrah serta pendidikan yang dapat membersihkan jiwa manusia dari syirik, kesesatan dan kegelapan menuju ke arah hidup bahagia yang penuh optimis dan dinamis. Ini sesuai dengan Al-Qur‟an surat Ar-Rum ayat : 30 yaitu : Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui Pada ayat ini Allah telah menciptakan semua makhluknya berdasarkan fitrahnya. Surat ini telah menginspirasikan untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan fitrah atau potensi itu dengan baik dan dan lurus.[6]
3)       Fitrah berarti ikhlas. Maksudnya manusia lahir dengan berbagai sifat, salah satunya adalah kemurnian (keikhlasan) dalam menjalankan suatu aktivitas. Berkaitan dengan makna ini ada hadits yaitu : “Tiga perkara yang menjadikannya selamat adalah ikhlas, berupa fitrah Allah, di mana manusia diciptakan darinya, sholat berupa agama, dan taat berupa benteng penjagaan” (HR. Abu Hamdi dari Mu‟adz)
Dengan demikian, pada diri manusia sudah melekat (menyatu) satu potensi kebenaran (dinnullah). Kalau ia gunakan potensinya ini, ia akan senantiasa berjalan di atas jalan yang lurus. Karena Allah telah membimbingnya semenjak dalam alam ruh (dalam kandungan).
b.      Potensi Ruhiyah
Ialah potensi yang dilekatkan pada hati nurani untuk membedakan dan memilih jalan yang hak dan yang batil, jalan menuju ketaqwaan dan jalan menuju kedurhakaan. Bentuk dari roh ini sendiri pada hakikatnya tidak dapat dijelaskan.
Ruh merupakan kekuatan yang membuat jasmani mampu melaksanakan tugasnya. Ia adalah unsur maknawi dalam pelaksanaan tugas. Tanpa ruh, jasmani tidak akan mampu melaksanakan apa pun. Perumpamaan keduanya bagaikan listrik dan peralatan listrik. Peralatan tidak akan berfungsi jika tidak dialiri arus listrik. Ketika kita memutuskan arus listrik dari peralatan tersebut, ia pun akan berhenti bekerja, meskipun bagian-bagiannya dalam kondisi bagus.Dengan begitu, tugas ruh adalah sebagai media pelaksana seperti halnya jasmani. Perbedaannya, ruh merupakan unsur maknawi, sedangkan jasmani ialah unsur materi. Kita pun tidak menemukan nash-nash syariat memuji ataupun mencela ruh, karena ia hanyalah kekuatan yang dapat difungsikan untuk kebaikan atau keburukan. Tidak memiliki daya untuk memutuskan, menyetujui, atau menolak.
Potensi ini terdapat pada surat AsySyams ayat 7
{   وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا  }
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya) dan
Asy-Syams ayat 8 :
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا    }
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
Di dalam hati setiap manusia telah tertanam potensi ini, yang dapat membedakan jalan kebaikan (kebenaran) dan jalan keburukan (kesalahan). Menurut Ibn „Asyur kata „nafs‟ pada surat Asy-Syams ayat ke-7 menunjukan nakiroh maka arti kata tersebut menunjukan nama jenis, yaitu mencakup jati diri seluruh manusia seperti arti kata „nafs‟ pada surat Alinfithar ayat 5 yaitu : Artinya : maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.
Menurut Al-Qurthubi sebagian ulama mengartikan „nafs‟ adalah nabi Adam namun sebagian lain mengartikan secara umum yaitu jati diri manusia itu sendiri. Pada arti kata „nafs‟ ini terdapat tiga unsur yaitu :
1)      Qolbu : menurut para ulama salaf adalah nafs yang terletak di jantung
2)      Domir : bagian yang samar, tersembunyi dan kasat mata
3)       Fuad : mempunyai manfaat dan fungsi
Dengan demikian, dalam potensi ruhaniyyah terdapat pertanggungjawaban atas diberinya manusia kekuatan pemikir yang mampu untuk memilih dan mengarahkan potensipotensi fitrah yang dapat berkembang di ladang kebaikan dan ladang keburukan ini. Karena itu, jiwa manusia bebas tetapi bertanggung jawab. Ia adalah kekuatan yang dibebani tugas, dan ia adalah karunia yang dibebani kewajiban. Demikianlah yang dikehendaki Allah secara garis besar terhadap manusia. Segala sesuatu yang sempurna dalam menjalankan peranannya, maka itu adalah implementasi kehendak Allah dan qadar-Nya yang umum.[7]
c.       Potensi Aqliyah
Potensi Aqliyah terdiri dari panca indera dan akal pikiran (sam‟a basar, fu‟ad). Dengan potensi ini, manusia dapat membuktikan dengan daya nalar dan ilmiah tentang „kekuasaan‟ Allah. Serta dengan potensi ini ia dapat mempelajari dan memahami dengan benar seluruh hal yang dapat bermanfaat baginya dan tentu harus diterima dan hal yang mudharat baginya tentu harus dihindarkan.
Potensi Aliyah juga merupakan potensi yang dianugerahkan Allah kepada manusia agar manusia dapat membedakan mana yang haq dan mana yang bathil dan mapu berargumen terhadap pemilihan yang dilakukan oleh potensi ruhiyah. Allah berfirman dalam Al-qur‟an surat An-Nahl ayat 78 : Artinya : Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. Ayat ini menurut Tafsir Al-maraghi mengandung penjelasan bahwa setelah Allah melahirkan kamu dari perut ibumu, maka Dia menjadikan kamu dapat mengetahui segala sesuatu yang sebelumnya tidak kamu ketahui. Dia telah memberikan kepadamu beberapa macam anugerah berikut ini :
1) Akal sebagai alat untuk memahami sesuatu, terutama dengan akal itu kamu dapat membedakan antara yang baik dan jelek, antara yang lurus dan yangs esat, antara yang benar dan yang salah
2)  Pendengaran sebagai alat untuk mendengarkan suara, terutama dengan pendengaran itu kamu dapat memahami percakapan diantara kamu
3)  Penglihatan sebagai alat untuk melihat segala sesuatu, terutama dengan penglihatan itu kamu dapat mengenal diantara kamu.
4)  Perangkat hidup yang lain sehingga kamu dapat mengetahui jalan untuk mencari rizki dan materi lainnya yang kamu butuhkan, bahkan kamu dapat pula meilih mana yang terbaik bagi kamu dan meninggalkan mana yang jelek. [8]
Menurut An-Nawawi menafsirkan ayat ini bahwa agar kamu (manusia) menggunakan ni‟mat Allah itu untuk kebaikan, maka kamu mendengar akan nasihat Allah, dan melihat tanda-tanda Allah dan memikirkan kebesaran Allah.[9]
Selain ayat tersebut, surat Al-Israa ayat 36 juga menjelaskan tentang potensi ini yang berbunyi : Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Pada ayat ini Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah janganlah kamu mengatakan bahwa kamu melihatnya, padahal kamu tidak melihatnya, atau kamu katakana kamu mendengarnya padahal kamu tidak mendengrnya, atau kamu katakana bahwa kamu mengetahuinya, padahal kamu tidak mengetahui. Karena sesungguhnya Allah kelak akan meminta pertanggungjawaban darimu tentang hal itu secara keseluruhan, sehingga inti dari ayat ini adalah bagaimana kita mengolah potensi yang terdapat dalam ayat ini dengan sebaik-baiknya karena ketika kita menggunakan potensi ini, maka cara kita menggunakannya akan mendapat pertanggungjawaban kelak di akhirat dan Allah melarang sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan sesuatu dengan dzan (dugaan) yang bersumber dari sangkaan atau ilusi.Termasuk dalam surat Al-„Araf tentang potensi Aqliyah ini pada ayat 179 yang berbunyi : Artinya: “Dan sesungguhnya telah kami sediakan untuk mereka jahannam banyak dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati (tetapi) tidak mereka gunakan memahami, dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan untuk melihat dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar, mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai”. Dalam ayat ini, kekuatan dan kesuksesan bersumber dari-Nya, aktifitas akal dan juga ruh berada di tangan-Nya. Oleh karena itu, manusia tidak dapat menyembunyikan sesuatu apa pun dari-Nya, melainkan dalam setiap kesempatan dan keadaan senantiasa memohon taufik dari-Nya dan menjadikan Allah sebagai penolong-Nya dan tidak mencari penolong selainNya.10 Sehingga dapat kita ketahui bahwa akal merupakan potensi yang besar yang iberikan oleh Allah sehingga kita bisa melaksanakan tugas sebagai ciptan-Nya dengan baik dan benar.
d.      Potensi Jasmaniyah
Ialah kemampuan tubuh manusia yang telah Allah ciptakan dengan sempurna, baik rupa, kekuatan dan kemampuan. Sebagaimana pada firman Allah Al-Qur‟an surat At-Tin ayat 4 yaitu Artinya : sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya [10]
Kata insan dijumpai dalam Al-Qur‟an sebanyak 65 kali. Penekanan kata insan ini adalah lebih mengacu pada peningkatan manusia ke derajat yang dapat memberinya potensi dan kemampuan untuk memangku jabatan khalifah dan meikul tanggung jawab dan amanat manusia di muka bumi, karena sebagai khalifah manusia dibekali dengan berbagai potensi seperti ilmu, persepsi, akal dan nurani. Dengan potensi-potensi ini manusia siap dan mampu menghadapi segala permasalahan sekaligus mengantisipasinya. Di samping itu, manusia juga dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang mulia dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari makhluk lain dengan berbekal potensi-potensi tadi.[11]
Dan dalam surat ini manusia diberikan oleh Allah potensi jasmani. Potensi ini juga terdapat disurat At-Taghabun ayat 3 yang berbunyi : Artinya: Dia menciptakan langit dan bumi dengan hak, Dia membentuk rupamu dan membaguskan rupamu itu, dan hanya kepada-Nya-lah kembali(mu). Oleh karena itu, patutnya manusia sebagai ciptaan Allah yang sangat mulia dan banyak keutamaan, agar mempergunakan potensi jasmaninya dengan baik sebagai modal utama untuk menjalankan tugas sebagai ciptan-Nya.
Tugas jasmani (tubuh/badan) adalah melaksanakan suatu perintah yang diberikan padanya. Ia tidak turut serta dalam pengambilan putusan, tetapi hanya sekadar media dalam pelaksanaan tugas. Dengan begitu, ia dapat dijadikan media untuk melakukan kebaikan ataupun keburukan.Berkenaan dengan ini, kita pun tidak menemukan pujian atau celaan terhadap jasmani dalam nash-nash syariat. Justru kita menemukan pernyataan nash yang menegaskan bahwa jasmani bukanlah sebuah ‘ukuran’ baik-buruknya seseorang, seperti sabda Nabi, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada jasmani dan harta kalian, tetapi Dia melihat pada kalbu dan amalan kalian,” (HR. Muslim).

BAB III PENUTUP
KESIMPULAN

Allah menciptakan manusia dengan memberikan kelebihan dan keutamaan yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Kelebihan dan keutamaan itu berupa potensi dasar yang disertakan Allah atasnya, baik potensi internal (yang terdapat dalam dirinya) dan potensi eksternal (potensi yang disertakan Allah untuk membimbingnya). Potensi ini adalah modal utama bagi manusia untuk melaksanakan tugas dan memikul tanggung jawabnya. Oleh karena itu, ia harus diolah dan didayagunakan dengan sebaik-baiknya, sehingga ia dapat menunaikan tugas dan tanggung jawab dengan sempurna.
Manusia terdiri dari jasmani dan ruh. Di lain hal ia juga terdiri dari akal, nafsu, dan kalbu. Manusia diberi Allah potensi yang sangat tinggi nilainya seperti pemikiran, nafsu, kalbu, jiwa, raga, panca indera. Namun potensi dasar yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Allah lainnya terutama hewan adalah nafsu dan akal/pemikiran. Manusia memiliki nafsu dan akal, sedangkan binatang hanya memiliki nafsu. Manusia yang cenderung menggunakan nafsu saja atau tidak mempergunakan akal dan berbagai potensi pemberian Allah lainnya secara baik dan benar, maka manusia akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi binatang





[1] Hasan Langgulung, Pendidikan dan peradaban Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985), h.215
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsir Al-Qur’an, 1973) h.319
[3] Al-Qurthubi, Ibn ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad Anshari, Tafsir Al-Qurthuby (Kairo: Dar al Sa’ab) Juz VI h.5106
[4] Muis Said Iman, Pendidikan Partisipatif, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004) h.17
[5] Al-Qur’an dan Tafsirnya h.571
[6]  Maimunah Hasan, Membangun Kreativitas Anak Secara Islami (Yogyakarta: Bintang cemerlang, 2002) h.9
[7]  Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an (Jakarta: Gema Insani, 2007) h.377-382
[8]  Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi h.118 jilid 5
[9] Syaikh Muhammad An-nawawi, Tafsir An-Nawawi h.461 jilid 1
[10] Muhsin Qira’ati, Tafsir Nur hal.313 jil. 4
[11] Marzuki, Dosen FIS UNY, Makalah tentang Konsep manusia dan agama, h.13