Jumat, 10 Oktober 2014

PROFESIONALISME GURU



Profesionalisme Guru
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Akhir-akhir ini masalah profesionalisme guru ramai dibicarakan. Secara factual diakui bahwa terbitnya Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) pada dasarnya bertujuan untuk memberdayakan profesi guru melalui kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. UUGD yang menuntut kualifikasi guru minimal berpendidikan D4/S1 membuat para guru, terutama guru SD, mulai berlomba mencari gelar sarjana. Bagi kebanyakan guru, keinginan untuk bisa mengikuti sertifikasi menjadi semacam cita-cita. Harapannya, jika mereka lulus dan mendapat sertifikat pendidik, selain menerima tunjangan fungsional, maka mereka pun dijanjikan menerima tunjangan profesi yang besarnya satu kali lipat gaji pokok. Undang-Undang RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), Undang-Undang RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) dan Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) menyatakan guru adalah pendidik professional. Untuk itu ia dipersyaratkan meiliki kualifikasi akademik minimal Sarjana/Diploma IV (S1/D4) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran.
Pemenuhan persyaratan kualifikasi akademik minimal S1/D4 dibuktikan dengan ijazah dan persyaratan relevansi mengacu pada jenjang pendidikan yang dimiliki dan mata pelajaran yang dibina. Misalnya, guru SD dipersyaratkan lulusan S1/D4 Jurusan/Program studi PGSD/Psikologi/Pendidikan dan lainnya, sedangkan guru matematika SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK dipersyaratkan lulusan S1/D4 Jurusan/Program studi matematika atau Pendidikan Matematika. Pemenuhan persyaratan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogis, kompetensi professional dan kompetensi social dibuktikan dengan sertifikasi pendidik.


B.   Rumusan Masalah
       Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
  1. Seberapa pentingnya peningkatan profesionalisme guru?
  2. Bagaimana peranan kompetensi professional guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran?
  3. Apa saja masalah pengembangan professional guru?
  4. Apa saja pengaruh kompetensi professional terhadap kualitas belajar siswa?
C.  Tujuan dan Kegunaan Penulisan
  • Tujuan penulisan
  1. Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Profesi Kependidikan.
  2. Untuk memahami pentingnya peningkatan profesionalisme guru dan peranan kompetensi profesional guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.
  3. Untuk menjelaskan masalah pengembangan professional guru dan pengaruh kompetensi professional terhadap kualitas belajar siswa.
  • Kegunaan penulisan
  1. Diharapkan hasil penulisan ini menjadi bahan masukan bagi kegiatan perkuliahan.
  2. Diharapkan hasil penulisan  ini mampu memberikan gambar mengenai profesionalisme guru yakni masalah dan upaya pengembangannya.
  3. Diharapkan penulisan ini dapat menjadi masukan bagi penulisan selanjutnya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.   Kompetensi Guru Profesional
Kompetensi merupakan kebulatan penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang ditampilkan melalui unjuk kerja. Kepmendiknas No. 045/U/2002 menyebutkan kompetensi sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. Jadi kompetensi guru dapat dimaknai sebagai kebulatan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berwujud tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran.
Profesionalisme guru adalah kemampuan guru untuk melakukan tugas pokoknya sebagai pendidik dan pengajar meliputi kemampuan merencanakan, melakukan, dan melaksanakan evaluasi pembelajaran. Pada prinsipnya setiap guru harus disupervisi secara periodik dalam melaksanakan tugasnya. Jika jumlah guru cukup banyak, maka kepala sekolah dapat meminta bantuan wakilnya atau guru senior untuk melakukan supervisi. Keberhasilan kepala sekolah sebagai supervisor antara lain dapat ditunjukkan oleh meningkatnya kinerja guru yang ditandai dengan kesadaran dan keterampilan melaksanakan tugas secara bertanggung jawab.
UUGD dan PP No. 19/2005 menyatakan kompetensi guru meliputi kompetensi kepribadian, pedagogis, professional, dan social (Wicoyo, 2007; Direktorat Ketenagaan Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, 2006). Keempat jenis kompetensi guru beserta subkompetensi dan indicator esensialnya diuraikan sebagai berikut :
Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Secara rinci subkompetensi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
  1. Subkompetensi kepribadian yang mantap dan stabil memiliki indicator esensial : bertindak sesuai norma hukum; bertindak sesuai norma social, bangga sebagai guru; dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma.
  2. Subkompetensi kepribadian yang dewasa memiliki indicator esensial : menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru.
  3. Subkompetensi kepribadian yang arif dan bijaksana memiliki indicator esensial : menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
  4. Subkompetensi kepribadian yang berwibawa memiliki indicator esensial : memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani.
  5. Subkompetensi akhlak mulia dan dapat menjadi teladan memiliki indicator esensial : bertindak sesuai dengan norma religious (iman dan takwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik. 
Kompetensi Pedagogis
Kompetensi pedagogis meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensi yang dimilikinya. Secara rinci setiap subkomponen dijabarkan menjadi indicator esensial sebagai berikut :
1)  Subkompetensi memahami peserta didik secara mendalam memiliki indicator esensial : memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif; memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian; dan mengidentifikasi bekal-ajar peserta didik.
2)   Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran. Subkompetensi ini memiliki indicator esensial : memahami landasan kependidikan; menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.
3)  Subkompetensi melaksanakan pembelajaran memiliki indicator esensial : menata latar (setting) pembelajaran; dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
4)  Subkompetensi merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran memiliki indicator esensial : merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode, menganalisis hasil evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery learning); dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum.
5)   Subkompetensi mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensinya, memiliki indicator esensial : memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik; dan memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi non-akademik.
 Kompetensi Profesional
Kompetensi professional merupakan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya. setiap subkompetensi tersebut memiliki indiindicatornsial sebagai berikut :
1)   Subkompetensi menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi memiliki indicator esensial : memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi atau koheren dengan materi ajar; memahami hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; dan menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari.
2)   Subkompetensi menguasai struktur dan metode keilmuan memiliki indicator esensial : menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.
Kompetensi Sosial
Kompetensi social merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Kompetensi ini memiliki subkompetensi dengan indicator esensial sebagai berikut :
1) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. Subkompetensi inimemiliki indicator esensial : berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik.
2) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga kependidikan.
3) Mampu berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar.
Perlu dijelaskan bahwa sebenarnya keempat kompetensi  (kepribadian, pedagogis, professional, dan social) tersebut dalam praktiknya merupakan satu kesatuan yang utuh. Pemilahan tersebut semata-mata untuk kemudahan memahaminya. Beberapa ahli mengatakan istilah kompetensi professional sebenarnya merupakan “payung”, karena telah mencakup semua kompetensi lainnya. Penguasaan materi ajar secara luas dan mendalam lebih tepat disebut dengan penguasaan bahan ajar (disciplinary content) atau sering disebut bidang studi keahlian. Hal ini mengacu pandangan yang menyebutkan bahwa sebagai guru yang berkompeten memiliki :
  1. Pemahaman terhadap karakteristik peserta didik
  2. Penguasaan bidang studi, baik dari sisi keilmuan maupun kependidikan
  3. Kemampuan penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik
  4. Kemauan dan kemampuan mengembangkan profesionalitas dan kepribadian secara berkelanjutan.
Menurut Suryasubroto (2002) tugas guru dalam proses pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam tiga kegiatan yaitu :
  1. menyusun program pengajaran seperti program tahunan pelaksanaan kurikulum, program semester/catur wulan, program satuan pengajaran,
  2. menyajikan/melaksanakan pengajaran seperti menyampaikan materi, menggunakan metode mengajar, menggunakan media /sumber, mengelola kelas/mengelola interaksi belajar mengajar,
  3. melaksanakan evaluasi belajar: menganalisis hasil evaluasi belajar, melaporkan hasil evaluasi belajar, dan melaksanakan program perbaikan dan pengayaan.
Secara umum, baik sebagai pekerjaan ataupun sebagai profesi, guru selalu disebut sebagai salah satu komponen utama pendidikan yang amat penting (Suparlan, 2006). Guru, siswa, dan kurikulum merupakan tiga komponen utama dalam sistem pendidikan nasional. Ketiga komponen pendidikan itu merupakan condition sine quanon´ atau syarat mutlak dalam proses pendidikan di sekolah.
Melalui mediator guru atau pendidik, siswa dapat memperoleh menu sajian bahan ajar yang diolah dalam kurikulum nasional ataupun dalam kurikulum muatan lokal. Guru adalah seseorang yang memiliki tugas sebagai fasilitator agar siswa dapat belajar dan atau mengembangkan potensi dasar dan kemampuannya secara optimal, melalui lembaga pendidikan di sekolah, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat atau swasta.
Dengan demikian, dalam pandangan umum pendidik tidak hanya dikenal sebagai guru, pengajar, pelatih, dan pembimbing tetapi juga sebagai social agent hired by society to help facilitate member of society who attend schools (Cooper,1986).
Ke depan tuntutan meningkatkan kualitas guru yang profesional lagi hangat dibicarakan dan diupayakan oleh pemerintah sekarang. Guru profesional bukan lagi merupakan sosok yang berfungsi sebagai robot, tetapi merupakan dinamisator yang mengantar potensi-potensi peserta didik ke arah kerativitas. Tugas seorang guru profesional meliputi tiga bidang utama :
(1) dalam bidang profesi,
(2) dalam bidang kemanusiaan, dan
(3) dalam bidang kemasyarakatan (Isjoni, 2006).
B.    Masalah Pengembangan Profesional Guru
Bertolak dari prinsip atau persyaratan profesi guru dapat diidentifikasikan berbagai masalah ( Abimanyu, 2008), sebagai berikut :
  1. Seberapa banyak guru kita yang menjadi guru karena bakat, minat, panggilan jiwa dan idealism? Pertanyaan ini sukar dijawab, diperlukan penelitian intensif untuk menjawabnya. Namun, kita dapat mengamati dari berbagai peristiwa, seperti input mahasiswa yang masuk LPTK umumnya mereka yang gagal masuk jurusan ilmu murni, siswa yang prestasinya bagus umumnya tidak mau masuk LPTK, mahasiswa yang masuk LPTK umumnya berasal dari daerah dan jarang barasal dari kota. Mungkin ini ada kaitannya dengan gaji guru yang rendah, sebab setelah UUGD diundangkan peminat calon mahasiswa masuk LPTK makin banyak. Persoalannya adalah bagaimana caranya agar kita memperoleh mahasiswa calon guru yang berbakat, berminat, merasa terpanggil dan mempunyai idealism menjadi guru yang tinggi.
  2.  Seberapa tinggi komitmen guru-guru kita untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia? Umumnya komitmen mereka cukup tinggi. Kalau ada guru yang komitmennya bertentangan dengan komitmen guru pada umumnya, hal ini hanya bersifat kasus saja.
  3.  Masih adakah guru-guru kita yang kualifikasi akademiknya belum S1 atau sarjana, dan latar pendidikannya tidak sesuai dengan bidang tugasnya? Pengamatan sementara menunjukkan bahwa masih banyak guru SD yang belum berijazah S1 bahkan masih ada yang belum berijazah D2. Di jenjang SMP dan SMA, guru yang belum berijazah S1 masih ada tetapi jumlahnya tidak sebanyak guru SD. Sebaliknya di SMP dan SMA masih banyak guru yang mengajarakan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Hal ini umumnya karena kurangnya jumlah guru mata pelajaran disuatu wilayah atau sekolah yang pendidikannya sesuai mata pelajaran yang diajarkan.
  4.  Masih adakan guru kita yang kompetensi tidak sesuai dengan bidang tugasnya? Kompetensi guru yang dimaksud adalah kompetensi pedagogis, kepribadian, professional,dan social. Jawabannya adalah masih ada walaupun jumlahnya tidak banyak. Namun demikian, di tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) jumlah guru yang belum memiliki kompetensi itu masih banyak. Hal ini disebabkan oleh makin sadarnya masyarakat akan pentingnya pendidikan prasekolah sehingga masyarakat banyak memasukkan anaknya ke TK. Sebaliknya, jumlah LPTK penyelenggara pendidikan guru TK masih terbatas, sehingga guru TK yang kompeten juga masih kurang.
  5.  Adakah guru yang tidak memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalannya? Diperkirakan masih ada guru yang kurang bertanggung jawab tas tugasnya, walaupun jumlahnya tidak banyak. Mereka itu antara lain : sering pulang lebih cepat atau dating terlambat, tidak mengembalikan PR siswa, tidak membuat persiapan mengajar, dan sebagainya.
  6.  Apakah guru kita memperoleh penghasilan sesuai dengan prestasi kerjanya? Hal yang penting lagi adalah apakah penghasilan itu cukup untuk membiayai hidupnya? Janji UUGD, Pasal 15 Ayat (1) yang akan memberikan penghasilan bagi guru professional yang mencakup gaji pokok, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan tambahan yang terikat dengan tugasnya sebagai guru harus benar-benar ditepati.
  7.  Seberapa jauh guru kita telah memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalannya secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat? Kesempatan itu baru mulai terbuka lebar setelah UUGD diberlakukan, setidaknya bagi guru-guru SD. Hal ini disebabkan oleh berbagai variable yang memengaruhi, seperti : pembiayaan, kesempatan, kebijakan, minat dan motivasi, system penghargaan (reward) dan teknologi pembelajaran yang dapat digunakan untuk belajar sepanjang hayat.
  8.  Apakah guru telah memiliki jaminan perlindungan hukum dalam menjalankan tugas keprofesionalannya? Pasal 41, 42, 43 dan 44 UUGD telah menjanjikan adanya jaminan perlindungan hukum melalui organisasi profesi dengan kode etiknya. Namun, sampai dimana efektifitasnya badan hukum itu dalam menjalankan tugas dan peranannya masih perlu terus ditingkatkan.
  9.  Seberapa jauh peranan organisasi profesi guru (PGRI) dapat mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru? Hingga saat ini peran PGRI yang menonjol masih dalam bidang politik dan organisatoris. Hal ini terbukti dari banyaknya wakil PGRI di DPR dan MPR, sedangkan peranannya dalam misi profesi kiprahnya belum tampak nyata dan belum terlalu melembaga.
Profesi dan Profesionalisasi Keguruan
Guru sebagai profesi perlu diiringi dengan pemberlakuan aturan profesi keguruan, sehingga akan ada keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seseorang yang berprofesi guru, antara lain: Indonesia memerlukan guru yang bukan hanya disebut guru, melainkan guru yang profesional terhadap profesinya sebagai guru. Aturan profesi keguruan berasal dari dua kata dasar profesi dan bidang spesifik guru/keguruan.
Secara logik, setiap usaha pengembangan profesi (professionalization) harus bertolak dari konstruk profesi, untuk kemudian bergerak ke arah substansi spesifik bidangnya. Diletakkan dalam konteks pengembangan profesionalisme keguruan, maka setiap pembahasan konstruk profesi harus diikuti dengan penemukenalan muatan spesifik bidang keguruan. Lebih khusus lagi, penemukenalan muatan didasarkan pada khalayak sasaran profesi tersebut. Karena itu, pengembangan profesionalisme guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah akan menyentuh persoalan: (1) sosok profesional secara umum, (2) sosok profesional guru secara umum, dan (3) sosok profesional guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Tak diragukan, guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi begitu banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma tertentu. Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama profesi menurut Ritzer (1972), yakni pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik. Sekedar contoh, siapa pun bisa trampil melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK), tetapi hanya seorang dokter yang bisa mengakui dan diakui memiliki pemahaman teoretik tentang kesehatan dan penyakit manusia.Pun demikian dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa trampil mengajar orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoretik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.
Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Tampaknya, Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-regulated training and practice). Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan profesi. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan dan diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik asosiasi profesi ini bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa sertifikasi terkait.
Bila tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan. Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru bidang studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan keputusan rapat dewan guru.
Dalam konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang dosen bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak memberikan obat tertentu. Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan bahkan Rektor, yang bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian moral seorang tenaga profesional.
Guru bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik hanya punya satu dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas klien (authority over clients).
Karena memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para profesional mengakui dan diakui memilik pengetahuan yang tak sesiapa pun di luar profesi yang bersangkutan dapat memahami secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan demikian, maka seorang profesional melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan, diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat apa, demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang berhak mendikte materi, metode dan penilaian seorang guru.
Guru profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas guru membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu diingat, seorang guru atau dosen memang tidak diharamkan untuk menyenangkan peserta didik dan mungkin orangtua mereka. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa tugas profesional seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar (to help the others learn), yang bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka suka atau tidak suka.
Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi (community rather than self-interest orientation). Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain (altruism) dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi.
Adapun karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan penelitian, telah dikenal karakteristik profesional minimum seorang guru, yaitu:
(1)      mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
(2)      menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya,
(3)      bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi,
(4)      mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan
(5)      menjadi partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Secara substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-   undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Beberapa di antaranya adalah:
(1)               menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual,
(2)               menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik,
(3)               mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu,
(4)               menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik,
(5)               memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan
(6)                memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
Mencermati sejumlah materi sajian dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan guru dalam jabatan ini, tampak jelas bahwa penekanan yang diberikan pada aspek kompetensi, sedangkan aspek-aspek lain dari penguatan profesi belum cukup tampak dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan ini. Karena itu, saya berharap agar sejumlah aspek yang masih tercecer bisa diagendakan di luar kurikulum tertulis (written curriculum), agar sosok profesional guru madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar yang dihasilkan merupakan sosok profesional yang utuh.
Akhirnya, memang masih cukup panjang dan berliku jalan untuk menegakkan profesi keguruan. Selain keharusan untuk menuntaskan persyaratan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi, masih ada tantangan yang lebih berdimensi legal dan moral. Namun demikian, satu atau dua langkah sudah berhasil dilakukan. Kalau dari perspektif kemauan politik sudah pengakuan terhadap profesi guru dan dosen sudah diundangkan, maka dari perspektif guru sendiri juga harus ada usaha untuk senantiasa memantapkan profesinya.
Kalau transformasi organisasi profesi berhasil dilakukan, maka letak kendali (locus of control) profesi keguruan, seperti kewenangan sertifikasi, evaluasi dan pemberian sanksi, juga bergeser dari ranah politik pemerintah ke ranah profesi keguruan. Karena pergeseran letak kendali dari pemerintah ke organisasi profesi menyangkut kewenangan dan sumberdaya untuk sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi, maka persoalan menjadi sangat berdimensi politik serta sarat dengan konflik kepentingan.
Dari perspektif struktur kekuasaan, mungkinkah para pejabat birokrasi pendidikan yang masih berkecenderungan senantiasa memperluas bidang kekuasaan, merelakan terjadinya redefinisi kekuasaan menjadi lebih terbatas? Atau, bisakah watak birokrasi pendidikan kita yang senantiasa ingin memusatkan kekuasaan pada sekelompok kecil orang, diubah agar terjadi redistribusi kekuasaan kepada masyarakat sipil seperti organisasi profesi keguruan?
Dari perspektif kultur masyarakat, bisakah kita mengubah mentalitas masyarakat berorientasi serba-negara (state-oriented society) ini menjadi masyarakat yang berorientasi pada jasa nyata dan prestasi (merit and achievement-oriented society)? Beranikah para guru mengambil-alih kembali (reclaiming) sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan kepada negara dan atau pemerintah?
Bila jawaban positif kita berikan, maka sudah saatnya kita menyiapkan kata perpisahan kepada sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi oleh pemerintah. Sudah saatnya organisasi profesi keguruan melakukan sertifikasi profesi keguruan. Sudah saatnya akreditasi sekolah dan perguruan tinggi dilakukan oleh lembaga independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan keputusan hasil evaluasi peserta didik dilakukan oleh para pendidik profesional.
C.   Pembinaan Guru sebagai Tenaga Profesional
Penerimaan mahasiswa calon guru di LPTK dan penerimaan guru CPNS perlu menggunakan alat seleksi yang memungkinkan diperolehnya mahasiswa atau guru baru yang berbakat, berminat, terpanggil jiwanya dan beridealisme.
Pengembangan kompetensi kepribadian dan social
Semasa prajabatan
a)         Tugas guru bukan hanya mengajar tetapi juga mendidik.
b)         Guru hendaknya menjadi model bagi siswanya dalam keimanan,ketakwaan, dalam akhlak mulia, tanggung jawab dan kesungguhannya meningkatkan kualitas hasil pendidikan.
c)         Tata tertib dan peraturan yang ada harus dilaksanakan secara konsekuen.
d)        Dilatih dan dibiasakan bekerja sama secara kelompok untuk menyelesaikan tugas baik dikampus maupun diluar kampus.
Semasa dalam jabatan
a)            Kegiatan pembinaan iman dan ketakwaan serta akhlak mulia harus terus diselenggarakan dalam kehidupan keseharian, di sekolah maupun di luar sekolah.
b)            Peraturan dan tata tertib harus ditegakkan secara bertanggung jawab.
c)            Kepala sekolah harus menjadi model moral dan kepribadian dari guru-guru dan guru harus menjadi model bagi siswa-siswanya.
d)           Aspek-aspek berikut hendaknya menjadi tujuan, isi dan saran penilaian pembinaan kompetensi kepribadian dan social :
  • Kedisiplinan (ketaatan mengikuti tata tertib),
  • Penampilan (kerapian dan kewajaran),
  • Kesntunan berperilaku,
  • Kemampuan kerja sama,
  • Kemampuan berkomunikasi,
  • Komitmen,
  • Keteladanan,
  • Semangat,
  • Empati, dan
  • Tanggung jawab.
Pengembangan kompetensi pedagogis dan professional
1)      Memberi kesempatan bagi guru yang belum berijazah S1 untuk melanjutkan jenjang program S1, baik melalui program regular tatap muka maupun pembelajaran jarak jauh.
2)      Memberi kesempatan guru mengiuti pelatihan dan seminar tentang pedadogis maupun professional, baik yang diselenggarakan oleh institusi pendidikan maupun organisasi kemasyarakatan.
3)      Melakukan penelitian, termasuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk meningkatkan kinerja mereka sendiri, baik atas inisiatif sendiri maupun berkolaborasi dengan teman guru bidang studi, atau dosen perguruan tinggi. Untuk dapat melaksanakan PTK, guru perlu menguasai metodologi penelitian tindakan kelas. Untuk itu perlu dilakukan pelatihan tentang penelitian tindakan kelas.
4)      LPTK sebagai lembaga pendidikan penghasil guru dan dan tenaga kependidikan harus memberi kesempatan kepada guru untuk mengembangkan kompetensi pedagogis dan profesionalnya secara berkala mengadakan pelatihan-pelatihan, seminar, diskusi ilmiah, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Mereka harus :
  1. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme,
  2. memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya,
  3. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
  4. Di samping itu, mereka juga harus mematuhi kode etik profesi,
  5. memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas,
  6. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya,
  7. memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan,
  8. memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dan
  9. memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).
Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas.
Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.
Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model. Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi “penganggur terhormat”, dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal). Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu “membangun” manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.
B.    Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penulisan ini adalah sebagai berikut:
  1. Perlu adanya pembeberan secara lebih detail lagi mengenai “ Profesionalisme Guru : Masalah & Pengembangannya “, baik itu melalui buku bacaan atau media lainnya sehingga untuk mengkaji lebih dalam bisa semakin mudah.
  2. Perlu adanya perhatian dan penambahan mengenai sumber-sumber referensi yang dibutuhkan, karena dirasakan sumber dari penulisan ini masih sangat minim.




REFERENSI:
Thalib, Bachri Syamsul. (2010). Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif . Jakarta : Kencana.















Tidak ada komentar:

Posting Komentar