Profesionalisme Guru
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhir-akhir ini masalah profesionalisme guru
ramai dibicarakan. Secara factual diakui bahwa terbitnya Undang-Undang Guru dan
Dosen (UUGD) pada dasarnya bertujuan untuk memberdayakan profesi guru melalui
kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik. UUGD yang menuntut
kualifikasi guru minimal berpendidikan D4/S1 membuat para guru, terutama guru
SD, mulai berlomba mencari gelar sarjana. Bagi kebanyakan guru, keinginan untuk
bisa mengikuti sertifikasi menjadi semacam cita-cita. Harapannya, jika mereka
lulus dan mendapat sertifikat pendidik, selain menerima tunjangan fungsional,
maka mereka pun dijanjikan menerima tunjangan profesi yang besarnya satu kali
lipat gaji pokok. Undang-Undang RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN), Undang-Undang RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD)
dan Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
(SNP) menyatakan guru adalah pendidik professional. Untuk itu ia dipersyaratkan
meiliki kualifikasi akademik minimal Sarjana/Diploma IV (S1/D4) yang relevan
dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran.
Pemenuhan persyaratan kualifikasi akademik
minimal S1/D4 dibuktikan dengan ijazah dan persyaratan relevansi mengacu pada
jenjang pendidikan yang dimiliki dan mata pelajaran yang dibina. Misalnya, guru
SD dipersyaratkan lulusan S1/D4 Jurusan/Program studi PGSD/Psikologi/Pendidikan
dan lainnya, sedangkan guru matematika SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK
dipersyaratkan lulusan S1/D4 Jurusan/Program studi matematika atau Pendidikan Matematika.
Pemenuhan persyaratan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran yang
meliputi kompetensi kepribadian, kompetensi pedagogis, kompetensi professional
dan kompetensi social dibuktikan dengan sertifikasi pendidik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dikemukakan rumusan masalah
sebagai berikut:
- Seberapa pentingnya peningkatan profesionalisme guru?
- Bagaimana peranan kompetensi professional guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran?
- Apa saja masalah pengembangan professional guru?
- Apa saja pengaruh kompetensi professional terhadap kualitas belajar siswa?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
- Tujuan penulisan
- Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Profesi Kependidikan.
- Untuk memahami pentingnya peningkatan profesionalisme guru dan peranan kompetensi profesional guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran.
- Untuk menjelaskan masalah pengembangan professional guru dan pengaruh kompetensi professional terhadap kualitas belajar siswa.
- Kegunaan penulisan
- Diharapkan hasil penulisan ini menjadi bahan masukan bagi kegiatan perkuliahan.
- Diharapkan hasil penulisan ini mampu memberikan gambar mengenai profesionalisme guru yakni masalah dan upaya pengembangannya.
- Diharapkan penulisan ini dapat menjadi masukan bagi penulisan selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kompetensi Guru Profesional
Kompetensi merupakan kebulatan penguasaan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang ditampilkan melalui unjuk kerja.
Kepmendiknas No. 045/U/2002 menyebutkan kompetensi sebagai seperangkat tindakan
cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan
pekerjaan tertentu. Jadi kompetensi guru dapat dimaknai sebagai kebulatan
pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berwujud tindakan cerdas dan penuh
tanggung jawab dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran.
Profesionalisme guru adalah kemampuan guru untuk melakukan tugas pokoknya
sebagai pendidik dan pengajar meliputi kemampuan merencanakan, melakukan, dan
melaksanakan evaluasi pembelajaran. Pada prinsipnya setiap guru harus disupervisi
secara periodik dalam melaksanakan tugasnya. Jika jumlah guru cukup banyak,
maka kepala sekolah dapat meminta bantuan wakilnya atau guru senior untuk
melakukan supervisi. Keberhasilan kepala sekolah sebagai supervisor antara lain
dapat ditunjukkan oleh meningkatnya kinerja guru yang ditandai dengan kesadaran
dan keterampilan melaksanakan tugas secara bertanggung jawab.
UUGD dan PP No. 19/2005 menyatakan kompetensi
guru meliputi kompetensi kepribadian, pedagogis, professional, dan social
(Wicoyo, 2007; Direktorat Ketenagaan Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, 2006).
Keempat jenis kompetensi guru beserta subkompetensi dan indicator esensialnya
diuraikan sebagai berikut :
Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan
personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan
bijaksana, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
Secara rinci subkompetensi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
- Subkompetensi kepribadian yang mantap dan stabil memiliki indicator esensial : bertindak sesuai norma hukum; bertindak sesuai norma social, bangga sebagai guru; dan memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai dengan norma.
- Subkompetensi kepribadian yang dewasa memiliki indicator esensial : menampilkan kemandirian dalam bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru.
- Subkompetensi kepribadian yang arif dan bijaksana memiliki indicator esensial : menampilkan tindakan yang didasarkan pada kemanfaatan peserta didik, sekolah, dan masyarakat serta menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak.
- Subkompetensi kepribadian yang berwibawa memiliki indicator esensial : memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan memiliki perilaku yang disegani.
- Subkompetensi akhlak mulia dan dapat menjadi teladan memiliki indicator esensial : bertindak sesuai dengan norma religious (iman dan takwa, jujur, ikhlas, suka menolong), dan memiliki perilaku yang diteladani peserta didik.
Kompetensi Pedagogis
Kompetensi pedagogis meliputi pemahaman
terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi
hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai
potensi yang dimilikinya. Secara rinci setiap subkomponen dijabarkan menjadi
indicator esensial sebagai berikut :
1) Subkompetensi
memahami peserta didik secara mendalam memiliki indicator esensial : memahami
peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip perkembangan kognitif;
memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian; dan
mengidentifikasi bekal-ajar peserta didik.
2) Merancang
pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan
pembelajaran. Subkompetensi ini memiliki indicator esensial : memahami landasan
kependidikan; menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi
pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin
dicapai, dan materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan
strategi yang dipilih.
3) Subkompetensi
melaksanakan pembelajaran memiliki indicator esensial : menata latar (setting)
pembelajaran; dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
4) Subkompetensi
merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran memiliki indicator esensial :
merancang dan melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil
belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode, menganalisis hasil
evaluasi proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery
learning); dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan
kualitas program pembelajaran secara umum.
5) Subkompetensi
mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasi berbagai potensinya, memiliki
indicator esensial : memfasilitasi peserta didik untuk pengembangan berbagai
potensi akademik; dan memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai
potensi non-akademik.
Kompetensi Profesional
Kompetensi professional merupakan penguasaan
materi pembelajaran secara luas dan mendalam, yang mencakup penguasaan materi
kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi
materinya, serta penguasaan terhadap struktur dan metodologi keilmuannya.
setiap subkompetensi tersebut memiliki indiindicatornsial sebagai berikut :
1)
Subkompetensi menguasai substansi keilmuan yang terkait dengan bidang studi
memiliki indicator esensial : memahami materi ajar yang ada dalam kurikulum
sekolah; memahami struktur, konsep dan metode keilmuan yang menaungi atau
koheren dengan materi ajar; memahami hubungan konsep antar mata pelajaran
terkait; dan menerapkan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari.
2)
Subkompetensi menguasai struktur dan metode keilmuan memiliki indicator
esensial : menguasai langkah-langkah penelitian dan kajian kritis untuk
memperdalam pengetahuan/materi bidang studi.
Kompetensi Sosial
Kompetensi social merupakan kemampuan guru
untuk berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Kompetensi ini memiliki subkompetensi dengan indicator esensial sebagai berikut
:
1) Mampu
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik. Subkompetensi inimemiliki indicator esensial : berkomunikasi
secara efektif dengan peserta didik.
2) Mampu
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan sesama pendidik dan tenaga
kependidikan.
3) Mampu
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan orang tua/wali peserta didik
dan masyarakat sekitar.
Perlu dijelaskan bahwa sebenarnya keempat
kompetensi (kepribadian, pedagogis, professional, dan social) tersebut
dalam praktiknya merupakan satu kesatuan yang utuh. Pemilahan tersebut
semata-mata untuk kemudahan memahaminya. Beberapa ahli mengatakan istilah
kompetensi professional sebenarnya merupakan “payung”, karena telah mencakup
semua kompetensi lainnya. Penguasaan materi ajar secara luas dan mendalam lebih
tepat disebut dengan penguasaan bahan ajar (disciplinary content) atau
sering disebut bidang studi keahlian. Hal ini mengacu pandangan yang
menyebutkan bahwa sebagai guru yang berkompeten memiliki :
- Pemahaman terhadap karakteristik peserta didik
- Penguasaan bidang studi, baik dari sisi keilmuan maupun kependidikan
- Kemampuan penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik
- Kemauan dan kemampuan mengembangkan profesionalitas dan kepribadian secara berkelanjutan.
Menurut Suryasubroto (2002) tugas guru dalam
proses pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam tiga kegiatan yaitu :
- menyusun program pengajaran seperti program tahunan pelaksanaan kurikulum, program semester/catur wulan, program satuan pengajaran,
- menyajikan/melaksanakan pengajaran seperti menyampaikan materi, menggunakan metode mengajar, menggunakan media /sumber, mengelola kelas/mengelola interaksi belajar mengajar,
- melaksanakan evaluasi belajar: menganalisis hasil evaluasi belajar, melaporkan hasil evaluasi belajar, dan melaksanakan program perbaikan dan pengayaan.
Secara umum, baik sebagai pekerjaan ataupun
sebagai profesi, guru selalu disebut sebagai salah satu komponen utama
pendidikan yang amat penting (Suparlan, 2006). Guru, siswa, dan kurikulum
merupakan tiga komponen utama dalam sistem pendidikan nasional. Ketiga komponen
pendidikan itu merupakan condition sine quanon´ atau syarat mutlak dalam
proses pendidikan di sekolah.
Melalui mediator guru atau pendidik, siswa
dapat memperoleh menu sajian bahan ajar yang diolah dalam kurikulum nasional
ataupun dalam kurikulum muatan lokal. Guru adalah seseorang yang memiliki tugas
sebagai fasilitator agar siswa dapat belajar dan atau mengembangkan potensi
dasar dan kemampuannya secara optimal, melalui lembaga pendidikan di sekolah,
baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat atau swasta.
Dengan demikian, dalam pandangan umum pendidik
tidak hanya dikenal sebagai guru, pengajar, pelatih, dan pembimbing tetapi juga
sebagai social agent hired by society to help facilitate member of society who
attend schools (Cooper,1986).
Ke depan tuntutan meningkatkan kualitas guru
yang profesional lagi hangat dibicarakan dan diupayakan oleh pemerintah
sekarang. Guru profesional bukan lagi merupakan sosok yang berfungsi sebagai
robot, tetapi merupakan dinamisator yang mengantar potensi-potensi peserta
didik ke arah kerativitas. Tugas seorang guru profesional meliputi tiga bidang
utama :
(1) dalam bidang profesi,
(2) dalam bidang kemanusiaan, dan
(3) dalam bidang kemasyarakatan (Isjoni, 2006).
B. Masalah Pengembangan
Profesional Guru
Bertolak dari prinsip atau persyaratan profesi
guru dapat diidentifikasikan berbagai masalah ( Abimanyu, 2008), sebagai
berikut :
- Seberapa banyak guru kita yang menjadi guru karena bakat, minat, panggilan jiwa dan idealism? Pertanyaan ini sukar dijawab, diperlukan penelitian intensif untuk menjawabnya. Namun, kita dapat mengamati dari berbagai peristiwa, seperti input mahasiswa yang masuk LPTK umumnya mereka yang gagal masuk jurusan ilmu murni, siswa yang prestasinya bagus umumnya tidak mau masuk LPTK, mahasiswa yang masuk LPTK umumnya berasal dari daerah dan jarang barasal dari kota. Mungkin ini ada kaitannya dengan gaji guru yang rendah, sebab setelah UUGD diundangkan peminat calon mahasiswa masuk LPTK makin banyak. Persoalannya adalah bagaimana caranya agar kita memperoleh mahasiswa calon guru yang berbakat, berminat, merasa terpanggil dan mempunyai idealism menjadi guru yang tinggi.
- Seberapa tinggi komitmen guru-guru kita untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia? Umumnya komitmen mereka cukup tinggi. Kalau ada guru yang komitmennya bertentangan dengan komitmen guru pada umumnya, hal ini hanya bersifat kasus saja.
- Masih adakah guru-guru kita yang kualifikasi akademiknya belum S1 atau sarjana, dan latar pendidikannya tidak sesuai dengan bidang tugasnya? Pengamatan sementara menunjukkan bahwa masih banyak guru SD yang belum berijazah S1 bahkan masih ada yang belum berijazah D2. Di jenjang SMP dan SMA, guru yang belum berijazah S1 masih ada tetapi jumlahnya tidak sebanyak guru SD. Sebaliknya di SMP dan SMA masih banyak guru yang mengajarakan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Hal ini umumnya karena kurangnya jumlah guru mata pelajaran disuatu wilayah atau sekolah yang pendidikannya sesuai mata pelajaran yang diajarkan.
- Masih adakan guru kita yang kompetensi tidak sesuai dengan bidang tugasnya? Kompetensi guru yang dimaksud adalah kompetensi pedagogis, kepribadian, professional,dan social. Jawabannya adalah masih ada walaupun jumlahnya tidak banyak. Namun demikian, di tingkat Taman Kanak-Kanak (TK) jumlah guru yang belum memiliki kompetensi itu masih banyak. Hal ini disebabkan oleh makin sadarnya masyarakat akan pentingnya pendidikan prasekolah sehingga masyarakat banyak memasukkan anaknya ke TK. Sebaliknya, jumlah LPTK penyelenggara pendidikan guru TK masih terbatas, sehingga guru TK yang kompeten juga masih kurang.
- Adakah guru yang tidak memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalannya? Diperkirakan masih ada guru yang kurang bertanggung jawab tas tugasnya, walaupun jumlahnya tidak banyak. Mereka itu antara lain : sering pulang lebih cepat atau dating terlambat, tidak mengembalikan PR siswa, tidak membuat persiapan mengajar, dan sebagainya.
- Apakah guru kita memperoleh penghasilan sesuai dengan prestasi kerjanya? Hal yang penting lagi adalah apakah penghasilan itu cukup untuk membiayai hidupnya? Janji UUGD, Pasal 15 Ayat (1) yang akan memberikan penghasilan bagi guru professional yang mencakup gaji pokok, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan tambahan yang terikat dengan tugasnya sebagai guru harus benar-benar ditepati.
- Seberapa jauh guru kita telah memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalannya secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat? Kesempatan itu baru mulai terbuka lebar setelah UUGD diberlakukan, setidaknya bagi guru-guru SD. Hal ini disebabkan oleh berbagai variable yang memengaruhi, seperti : pembiayaan, kesempatan, kebijakan, minat dan motivasi, system penghargaan (reward) dan teknologi pembelajaran yang dapat digunakan untuk belajar sepanjang hayat.
- Apakah guru telah memiliki jaminan perlindungan hukum dalam menjalankan tugas keprofesionalannya? Pasal 41, 42, 43 dan 44 UUGD telah menjanjikan adanya jaminan perlindungan hukum melalui organisasi profesi dengan kode etiknya. Namun, sampai dimana efektifitasnya badan hukum itu dalam menjalankan tugas dan peranannya masih perlu terus ditingkatkan.
- Seberapa jauh peranan organisasi profesi guru (PGRI) dapat mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru? Hingga saat ini peran PGRI yang menonjol masih dalam bidang politik dan organisatoris. Hal ini terbukti dari banyaknya wakil PGRI di DPR dan MPR, sedangkan peranannya dalam misi profesi kiprahnya belum tampak nyata dan belum terlalu melembaga.
Profesi dan Profesionalisasi Keguruan
Guru sebagai profesi perlu diiringi dengan
pemberlakuan aturan profesi keguruan, sehingga akan ada keseimbangan antara hak
dan kewajiban bagi seseorang yang berprofesi guru, antara lain: Indonesia
memerlukan guru yang bukan hanya disebut guru, melainkan guru yang profesional
terhadap profesinya sebagai guru. Aturan profesi keguruan berasal dari dua kata
dasar profesi dan bidang spesifik guru/keguruan.
Secara logik, setiap usaha pengembangan profesi
(professionalization) harus bertolak dari konstruk profesi, untuk kemudian
bergerak ke arah substansi spesifik bidangnya. Diletakkan dalam konteks
pengembangan profesionalisme keguruan, maka setiap pembahasan konstruk profesi
harus diikuti dengan penemukenalan muatan spesifik bidang keguruan. Lebih
khusus lagi, penemukenalan muatan didasarkan pada khalayak sasaran profesi
tersebut. Karena itu, pengembangan profesionalisme guru sekolah dasar atau
madrasah ibtidaiyah akan menyentuh persoalan: (1) sosok profesional secara umum,
(2) sosok profesional guru secara umum, dan (3) sosok profesional guru sekolah
dasar atau madrasah ibtidaiyah.
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang
memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Tak diragukan, guru merupakan pekerjaan dan
sudah menjadi sumber penghasilan bagi begitu banyak orang, serta memerlukan
keahlian berstandar mutu atau norma tertentu. Secara teoretik, ini sejalan
dengan syarat pertama profesi menurut Ritzer (1972), yakni pengetahuan teoretik
(theoretical knowledge). Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata
pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan
teoretik. Sekedar contoh, siapa pun bisa trampil melakukan pertolongan pertama
pada kecelakaan (PPPK), tetapi hanya seorang dokter yang bisa mengakui dan
diakui memiliki pemahaman teoretik tentang kesehatan dan penyakit manusia.Pun
demikian dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa trampil mengajar orang
lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang
bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoretik bidang keahlian
kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui
pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.
Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk pada
kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian menunjuk
pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa
serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada
kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi
sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara
efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta
didik, dan masyarakat sekitar.
Tampaknya, Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti
dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada
cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang
memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa
sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen
sebagai tenaga profesional.
Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan
pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-regulated training and
practice). Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak
demikian dengan profesi. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi
tinggi, yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan
profesional masih diperlukan dan diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar
formal dan berbagai bentuk sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik
profesional. Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik
asosiasi profesi ini bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan
praktik tanpa sertifikasi terkait.
Bila tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan
keguruan, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini.
Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki
derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa
sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi
kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan
profesi keguruan. Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama
sekali tidak bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan
kelas, masih ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang
guru bidang studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai
dengan keputusan rapat dewan guru.
Dalam konteks otoritas profesional tersebut,
tampak berbeda antara otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan
sistem kredit semester, seorang dosen bisa membuat keputusan profesional secara
mandiri dan bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki
bobot mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak
memberikan obat tertentu. Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan
bahkan Rektor, yang bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang
telah dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik
otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian moral
seorang tenaga profesional.
Guru bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang
pedagang yang baik hanya punya satu dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar
mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku
dalam pekerjaan profesional keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga,
yaitu: kewenangan atas klien (authority over clients).
Karena memiliki pendidikan formal dan nonformal
ekstensif, para profesional mengakui dan diakui memilik pengetahuan yang tak
sesiapa pun di luar profesi yang bersangkutan dapat memahami secara penuh
pengetahuan tersebut. Karena pengakuan demikian, maka seorang profesional
melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan, diagnosis masalah, hingga
pengambilan tindakan yang diperlukan beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya.
Seperti seorang dokter yang tidak bisa didikte oleh seorang pasien untuk
memberikan jenis perlakuan dan obat apa, demikian pula tak seorang peserta
didik atau bahkan orangtua mereka yang berhak mendikte materi, metode dan
penilaian seorang guru.
Guru profesional tidak boleh terombang-ambing
oleh selera masyarakat, karena tugas guru membantu dan membuat peserta didik
belajar. Perlu diingat, seorang guru atau dosen memang tidak diharamkan untuk
menyenangkan peserta didik dan mungkin orangtua mereka. Namun demikian, tetap
harus diingat bahwa tugas profesional seorang pendidik adalah membantu peserta
didik belajar (to help the others learn), yang bahkan terlepas dari persoalan
apakah mereka suka atau tidak suka.
Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai
oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi
(community rather than self-interest orientation). Pekerjaan profesional juga
dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain (altruism) dan kemanfaatan bagi
seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun
secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik
profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi.
Adapun karakteristik profesional minimum guru,
berdasarkan sintesis temuan-temuan penelitian, telah dikenal karakteristik
profesional minimum seorang guru, yaitu:
(1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya,
(2)
menguasai secara mendalam
bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya,
(3)
bertanggung jawab memantau
hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi,
(4)
mampu berfikir sistematis
tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan
(5)
menjadi partisipan aktif
masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Secara substantif, sejumlah karakteristik
tersebut sudah terakomodasi dalam peraturan perundang- undangan
yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Beberapa di
antaranya adalah:
(1)
menguasai karakteristik
peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan
intelektual,
(2)
menguasai teori belajar
dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik,
(3)
mengembangkan kurikulum
yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu,
(4)
menyelenggarakan kegiatan
pengembangan yang mendidik,
(5)
memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan
pengembangan yang mendidik, dan
(6)
memfasilitasi pengembangan
potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
Mencermati sejumlah materi sajian dalam
kegiatan pendidikan dan pelatihan guru dalam jabatan ini, tampak jelas bahwa
penekanan yang diberikan pada aspek kompetensi, sedangkan aspek-aspek lain dari
penguatan profesi belum cukup tampak dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan
ini. Karena itu, saya berharap agar sejumlah aspek yang masih tercecer bisa
diagendakan di luar kurikulum tertulis (written curriculum), agar sosok
profesional guru madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar yang dihasilkan merupakan
sosok profesional yang utuh.
Akhirnya, memang masih cukup panjang dan
berliku jalan untuk menegakkan profesi keguruan. Selain keharusan untuk
menuntaskan persyaratan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi, masih ada
tantangan yang lebih berdimensi legal dan moral. Namun demikian, satu atau dua
langkah sudah berhasil dilakukan. Kalau dari perspektif kemauan politik sudah
pengakuan terhadap profesi guru dan dosen sudah diundangkan, maka dari
perspektif guru sendiri juga harus ada usaha untuk senantiasa memantapkan
profesinya.
Kalau transformasi organisasi profesi berhasil
dilakukan, maka letak kendali (locus of control) profesi keguruan, seperti
kewenangan sertifikasi, evaluasi dan pemberian sanksi, juga bergeser dari ranah
politik pemerintah ke ranah profesi keguruan. Karena pergeseran letak kendali
dari pemerintah ke organisasi profesi menyangkut kewenangan dan sumberdaya
untuk sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi, maka persoalan menjadi sangat
berdimensi politik serta sarat dengan konflik kepentingan.
Dari perspektif struktur kekuasaan, mungkinkah para pejabat birokrasi
pendidikan yang masih berkecenderungan senantiasa memperluas bidang kekuasaan,
merelakan terjadinya redefinisi kekuasaan menjadi lebih terbatas? Atau, bisakah
watak birokrasi pendidikan kita yang senantiasa ingin memusatkan kekuasaan pada
sekelompok kecil orang, diubah agar terjadi redistribusi kekuasaan kepada
masyarakat sipil seperti organisasi profesi keguruan?
Dari perspektif kultur masyarakat, bisakah kita
mengubah mentalitas masyarakat berorientasi serba-negara (state-oriented
society) ini menjadi masyarakat yang berorientasi pada jasa nyata dan prestasi
(merit and achievement-oriented society)? Beranikah para guru mengambil-alih
kembali (reclaiming) sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan
kepada negara dan atau pemerintah?
Bila jawaban positif kita berikan, maka sudah
saatnya kita menyiapkan kata perpisahan kepada sertifikasi, akreditasi, dan
evaluasi oleh pemerintah. Sudah saatnya organisasi profesi keguruan melakukan
sertifikasi profesi keguruan. Sudah saatnya akreditasi sekolah dan perguruan
tinggi dilakukan oleh lembaga independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan
keputusan hasil evaluasi peserta didik dilakukan oleh para pendidik
profesional.
C. Pembinaan Guru sebagai Tenaga
Profesional
Penerimaan mahasiswa calon guru di LPTK dan
penerimaan guru CPNS perlu menggunakan alat seleksi yang memungkinkan
diperolehnya mahasiswa atau guru baru yang berbakat, berminat, terpanggil
jiwanya dan beridealisme.
Pengembangan kompetensi kepribadian dan social
Semasa prajabatan
a)
Tugas guru bukan hanya mengajar tetapi juga
mendidik.
b)
Guru hendaknya menjadi
model bagi siswanya dalam keimanan,ketakwaan, dalam akhlak mulia, tanggung
jawab dan kesungguhannya meningkatkan kualitas hasil pendidikan.
c)
Tata tertib dan peraturan yang ada harus
dilaksanakan secara konsekuen.
d)
Dilatih dan dibiasakan bekerja sama secara
kelompok untuk menyelesaikan tugas baik dikampus maupun diluar kampus.
Semasa dalam jabatan
a)
Kegiatan pembinaan iman dan ketakwaan serta
akhlak mulia harus terus diselenggarakan dalam kehidupan keseharian, di sekolah
maupun di luar sekolah.
b)
Peraturan dan tata tertib harus ditegakkan
secara bertanggung jawab.
c)
Kepala sekolah harus menjadi model moral dan
kepribadian dari guru-guru dan guru harus menjadi model bagi siswa-siswanya.
d)
Aspek-aspek berikut hendaknya menjadi tujuan,
isi dan saran penilaian pembinaan kompetensi kepribadian dan social :
- Kedisiplinan (ketaatan mengikuti tata tertib),
- Penampilan (kerapian dan kewajaran),
- Kesntunan berperilaku,
- Kemampuan kerja sama,
- Kemampuan berkomunikasi,
- Komitmen,
- Keteladanan,
- Semangat,
- Empati, dan
- Tanggung jawab.
Pengembangan kompetensi pedagogis dan
professional
1) Memberi
kesempatan bagi guru yang belum berijazah S1 untuk melanjutkan jenjang program
S1, baik melalui program regular tatap muka maupun pembelajaran jarak jauh.
2) Memberi
kesempatan guru mengiuti pelatihan dan seminar tentang pedadogis maupun
professional, baik yang diselenggarakan oleh institusi pendidikan maupun
organisasi kemasyarakatan.
3) Melakukan
penelitian, termasuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk meningkatkan kinerja
mereka sendiri, baik atas inisiatif sendiri maupun berkolaborasi dengan teman
guru bidang studi, atau dosen perguruan tinggi. Untuk dapat melaksanakan PTK,
guru perlu menguasai metodologi penelitian tindakan kelas. Untuk itu perlu
dilakukan pelatihan tentang penelitian tindakan kelas.
4) LPTK sebagai lembaga pendidikan penghasil guru dan dan tenaga kependidikan
harus memberi kesempatan kepada guru untuk mengembangkan kompetensi pedagogis
dan profesionalnya secara berkala mengadakan pelatihan-pelatihan, seminar,
diskusi ilmiah, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Guru profesional seharusnya memiliki empat
kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh
karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan
yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Mereka harus :
- memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme,
- memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya,
- memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya.
- Di samping itu, mereka juga harus mematuhi kode etik profesi,
- memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas,
- memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya,
- memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan,
- memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dan
- memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).
Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan
mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar
belakang pendidikan yang dimilikinya. Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan
sesuai bidang tugas.
Guru profesional seharusnya memiliki empat
kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh
karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan
yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Hal itu terindikasi
dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya
program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi,
pelatihan berkala, dsb.
Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai
he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting
pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus
menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki
sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi
teladan atau role model. Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria
profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah.
Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia
makin menjadi “penganggur terhormat”, dalam arti semakin memiliki banyak waktu
luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal).
Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu “membangun”
manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang
cukup.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penulisan
ini adalah sebagai berikut:
- Perlu adanya pembeberan secara lebih detail lagi mengenai “ Profesionalisme Guru : Masalah & Pengembangannya “, baik itu melalui buku bacaan atau media lainnya sehingga untuk mengkaji lebih dalam bisa semakin mudah.
- Perlu adanya perhatian dan penambahan mengenai sumber-sumber referensi yang dibutuhkan, karena dirasakan sumber dari penulisan ini masih sangat minim.
REFERENSI:
Thalib, Bachri Syamsul. (2010). Psikologi
Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif . Jakarta : Kencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar