MAKALAH
EPISTEMOLOGI
PENGEMBANGAN ILMU PENDIDIKAN
Disusun Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Pendidikan
KELOMPOK 2 :
ENDANG SUPRIHATIN
MASAYU KHALZUM
SUKINI AFIFAH
DOSEN :
SARWADI,M.PdI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MASJID
SYUHADA (STAIMS) YOGYAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami
panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan
Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Salawat dan
salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliau
kita dapat menikmati pencerahan iman dan islam dalam mengarungi samudera
kehidupan ini. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Epistemologi”
dalam rangka memenuhi tugas Filsafat Ilmu.
Makalah ini telah dibuat berdasarkan hasil
diskusi kelompok kami. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan
yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk
memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif
dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua.
Penyusun
Kelompok 2
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...........................................................................
|
i
|
DAFTAR ISI..........................................................................................
|
ii
|
BAB I
PENDAHULUAN......................................................................
|
|
A. LATAR BELAKANG MASALAH...........................................
B. RUMUSAN MASALAH...........................................................
C. TUJUAN PENULISAN.............................................................
|
1
2
2
|
BAB II
PEMBAHASAN.......................................................................
|
|
A. TINJAUAN PUSTAKA............................................................
1.
PENGERTIAN EPISTEMOLOGI................................
2.
KEDUDUKAN EPISTEMOLOGI DALAM ILMU FILSAFAT.....................................................................
3.
DEFINISI PENGETAHUAN........................................
4.
TERJADINYA PENGETAHUAN................................
5.
JENIS-JENIS PENGETAHUAN...................................
6.
ASAL-USUL PENGETAHUAN...................................
7.
PENGERTIAN EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN.......
B. RUANG LINGKUP EPISTEMOLOGI.....................................
C. OBYEK DAN TUJUAN EPISTEMOLOGI..............................
D. PENGARUH EPISTEMOLOGI................................................
E. HUBUNGAN EPISTEMOLOGI DAN ILMU PENGETAHUAN......................................................................
F. PENERAPAN EPISTEMOLOGI DALAM ILMU PENGETAHUAN......................................................................
|
3
3
4
6
7
10
14
17
17
21
22
23
24
|
BAB III
PENUTUP...............................................................................
|
33
|
KESIMPULAN.....................................................................................
|
33
|
DAFTAR
PUSTAKA...........................................................................
|
34
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
MASALAH
Jika mempelajari filsafat ilmu, kita
pasti menjumpai istilah “Epistemologi”. Yang merupakan salah satu cabang ilmu
filsafat. Dan karena Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah).
Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas dan metode,
dan kesahihan pengetahuan. sehingga dalam kesempatan kali ini akan dibahas
lebih lanjut mengenai sumber-sumber epistemologi. Manusia pada dasarnya adalah
makhluk pencari kebenaran.
Manusia tidak pernah puas
dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang
sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap
jawaban-jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya
dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah
kebenaran yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu
kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang
semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk mencari
kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari
dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada sebelumnya
untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga
manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian-penelitian yang bersifat
ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena
itu bersifat statis, tidak kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu
titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi
rasa keingintahuannya terhadap dunianya
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1) Apa yang
dimaksud dengan epistemologi ?
2) Apa saja ruang
lingkup epistemologi ?
3) Apakah landasan epistemologi?
4) Apakah obyek
dan tujuan epistemologi?
5) Apakah pengaruh
epistemologi ?
6) Bagaimana hubungan
epistemologi dengan ilmu pengetahuan ?
7) Bagaimana
peranan epistemologi terhadap perkembangan pengetahuan?
C.
TUJUAN PENULISAN
Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan .
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TINJAUAN
PUSTAKA
1.
PENGERTIAN
EPISTEMOLOGI
Epistomologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat
yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian,
dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai
pengetahuan yang dimiliki.
Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa
Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos”
berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang
pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of
knowledge. Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori
pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan.
Secara terminologi epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan
atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Masalah utama dari epistemologi adalah bagaimana cara
memperoleh pengetahuan, Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan
berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi
artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia mencintai
pengetahuan. Hal ini
menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia
berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah
yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam epistemologi
adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya.
2.
KEDUDUKAN
EPISTEMOLOGI DALAM ILMU FILSAFAF
Ruang lingkup filsafat ada 3 macam, yaitu: Ontologi atau
metafisika yang merupakan filsafat tentang realita, Epistemologi, yaiutu
filsafat tentang ilmu pengetahuan, dan Axiologi, yaitu filsafat tentang nilai. Secara luas dapat dikatan bahwa
epistimologi adalah bagian filsafat yang membahas masalah-masalah pengetahuan.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme, yang berarti
pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti ilmu. Jadi menurut arti katanya,
epistemologi ialah ilmu yang membahas masalah-masalah pengetahuan. Di dalam
Webster New International Dictionary, epistemologi diberi definisi sebagai
berikut: Epistimology is the theory or science the method and grounds of
knowledge, especially with reference to its limits and validity, yang artinya
Epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar
pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas
atau sah berlakunya pengetahuan itu. (Darwis. A. Soelaiman, 2007, hal. 61).
Istilah
Epistemologi banyak dipakai di negeri-negeri Anglo Saxon (Amerika) dan jarang
dipakai di negeri-negeri continental (Eropa). Ahli-ahli filsafat Jerman
menyebutnya Wessenchaftslehre. Sekalipun lingkungan ilmu yang membicarakan
masalah-masalah pengetahuan itu meliputi teori pengetahuan, teori kebenaran dan
logika, tetapi pada umumnya epistemology itu hanya membicarakan tentang teori
pengetahuan dan kebenaran saja.
Epistemologi
atau Filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang
mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai
filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmun pengetahuan
kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat
pengetahuan.
Beberapa
pakar lainnya juga mendefinisikan espitemologi, seperti J.A Niels Mulder
menuturkan, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang watak,
batas-batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan. Jacques Veuger mengemukakan,
epistemology adalah pengetahuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita
miliki tentang pengetahuan kita sendiri bukannya pengetahuan orang lain tentang
pengetahuan kita, atau pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan orang
lain. Pendek kata Epistemologi adalah pengetahuan kita yang mengetahui
pengetahuan kita. Abbas Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa
epistemology adalah bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan
tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari
pengetahuan yang telah terjadi itu. (Surajiyo, 2008, hal. 25).
Dari
beberapa definisi yang tampak di atas bahwa semuanya hampir memiliki pemahaman yang sama.
Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membicarakan tentang terjadinya
pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat,
metode, dan keshahihan pengetahuan. Jadi objek material dari epistemology
adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu.
3.
DEFINISI
PENGETAHUAN
Pengetahuan adalah suatu istilah
yang dipergunakan untuk menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu.
Suatu hal yang menjadi pengetahuannya adalah selalu terdiri dari unsur yang
mengetahui dan yang diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin
diketahuinya.
Oleh karena
itu, pengetahuan selalu menuntut adanya subjek yang mempunyai kesadaran untuk
mengetahui tentang sesuatu dan objek yang merupakan sesuatu yang dihadapinya
sebagai hal ingin diketahuinya. Jadi bisa dikatakan pengetahuan adalah hasil tahu manusia
terhadap sesuatu. Pengetahuan diperlukan sebagai
dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap
hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung
tindakan seseorang.
Pengetahuan itu hanya dikenal dan
ada di dalam pikiran manusia, tanpa pikiran maka pengetahuan tidak akan eksis.
Oleh karena itu keterkaitan antara pengetahuan dan pikiran sesuatu yang kodrati.
(Surajiyo, 2008, hal. 26).
4. TERJADINYA PENGETAHUAN
Masalah terjadinya pengetahuan
adalah masalah yanag sangat ungen untuk dibahas di dalam Epistemologi, sebab
orang akan berbeda pandangan terhadap terjadinya pengetahuan. Terjadinya
pengetahuan dapat bersifat apriori dan aposteriori. Apriori yaitu pengetahuan
yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera
maupun pengalaman batin. Aposteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena
adanya pengalaman. Sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut
John Hospers dalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis
mengemukakan ada enam hal, (Surajiyo. 2008. Hal. 28) diantaranya:
1.
Pengalaman Indera (Sense Experience)
Orang
sering merasa penginderaan merupakan alat yang paling vital dalam memperoleh
pengetahuan. Pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang berupa
alat-alat untuk menangkap objek dari luar diri manusia melalui kekuatan indera.
Kekhilafan akan terjadi apabila ada ketidak normalan antara alat-alat itu. Ibn
Sina mengutip ungkapan filosof terkenal Aristoteles menyatakan bahwa barang
siapa yang kehilangan indra-indranya maka dia tidak mempunyai makrifat dan
pengetahuan. Dengan demikian bahwa indra merupakan sumber dan alat makrifat dan
pengetahuan ialah hal yang sama sekali tidak disangsikan. Hal ini bertolak
belakang dengan perspektif Plato yang berkeyakinan bahwa sumber pengetahuan
hanyalah akal dan rasionalitas, indra-indra lahiriah dan objek-objek fisik sama
sekali tidak bernilai dalam konteks pengetahuan. Dia menyatakan bahwa hal-hal
fisikal hanya bernuansa lahiriah dan tidak menyentuh hakikat sesuatu.
Benda-benda materi adalah realitas-realitas yang pasti sirna, punah, tidak
hakiki, dan tidak abadi.
2. Nalar (Reason)
Nalar
adalah salah satu corak berfikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih
dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. Salah satu tokoh dari paham
ini adalah Plato, seorang filosof Yunani yang dilahirkan di Athena. Plato
berpendapat bahwa untuk memperoleh pengetahuan itu pada hakikatnya adalah
dengan mengingat kembali.
3. Otoritas (Authority)
Otoritas
adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh
kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber pengetahuan, karena kelompoknya
memiliki pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam
pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh dari otoritas ini biasanya tanpa
diuji lagi, karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibaan
tertentu.
4. Intuisi (Intuition)
Intuisi
adalah kemampuan yang ada pada diri manusia berupa proses kejiwaan tanpa suatu
rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan yang berupa
pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan
seketika atau melalui kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya
pengetahuan lebih dahulu. Menurut Mohamad Taufiq dalam sebuah tulisannya
mengatakan bahwa intuisi adalah daya atau kemampauan untuk mengetahui atau
memahami sesuatu tanmpa ada dipelajari terlebih dahulu dan berasal dari hati.
5. Wahyu (Revelation)
Sebagai manusia yang beragama pasti meyakini bahwa wahyu
merupakan sumber ilmu, Karena diyakini bahwa wahyu itu bukanlah buatan manusia
tetapi buatan Tuhan Yang Maha Esa. Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada
nabi-Nya untuk kepentingan ummatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu,
karena ada kepercayaan tentang sesuatu yang disampaikan itu. Wahyu dapat
dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan, karena kita mengenal sesuatu
melalui kepercayaan kita.
6. Keyakinan (Faith) .
Keyakinan
adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui
kepercayaan. Adapun keyakinan itu sangat statis, kecuali ada bukti-bukti yang
akurat dan cocok untuk kepercay
5. JENIS-JENIS PENGETAHUAN
Pengetahuan Menurut Soejono
Soemargono dapat dibagi atas Pengetahuan Non-Ilmiah dan Pengetahuan Ilmiah.
1. Pengetahuan Non-Ilmiah, yang mana
pengetahuan ini adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara
yang tidak termasuk dalam kategori metode ilmiah. Dalam hal ini termasuk juga
pengetahuan yang meskipun dalam babak terakhir direncanakan untuk diolah lebih
lanjut menjadi pengetahuan ilmiah, yang biasanya disebut pengetahuan
pra-ilmiah. Misalnya, pengetahuan orang tentang manfaat rebusan daun jambu biji
untuk mengurangi gejala diare. Secara umum yang dimaksud dengan pengetahuan
non-ilmiah ialah segenap hasil pemahaman manusia mengenai sesuatu objek
tertentu yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini yang cocok
adalah hasil penglihatan dengan mata, hasil pendengaran telinga, hasil
penciuman hidung, hasil pengecapan lidah dan hasil perabaan kulit. Disamping
itu, sering kali di dalamnya juga termasuk hasil-hasil pemahaman yang merupakan
campuran dari hasil inderawi dengan hasil pemikiran secara akali. Juga
pemahaman manusia yang berupa tangkapan-tangkapan terhadap hal-hal yang
biasanya disebut ghaib, misalnya pengetahuan
orang tertentu tentang jin atau makhluk halus di tempat tertentu, keampuhan
pusaka, dan lain-lain. Pengetahuan
non-ilmiah mempunyai ciri-ciri penelitian tidak sistematik, data yang
dikumpulkan dan cara-cara pengumpulan data bersifat subyektif yang sarat dengan
muatan-muatan emosi dan perasaan dari si peneliti. Karena itu pengetahuan
non-ilmiah adalah pengetahuan yang coraknya subyektif.
2. Pengetahuan ilmiah adalah segenap
hasil pemahaman manusia yang diperoleh degan menggunakan metode ilmiah.
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang sudah lebih sempurna karena telah
mempunyai dan memenuhi syarat-syarat tertentu dengan cara berfikir yang khas,
yaitu Metode ilmiah. Jujun S. Suriasumantri menambahkan bahwa metode ilmiah
merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu
merupakan pengetahuan yang didapat lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan
dapat disebut ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya
harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum di dalam apa yang dinamakan
metode ilmiah. (Jujun S. Surisumantri. 1996. Hal. 119).
Secara
etimologi metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan
meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos
(jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri lalu berarti
penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut
sistem/ aturan tertentu. (Surajiyo. 2008. Hal. 35). Jadi, Metode ilmiah adalah
suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Dalam sains
dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan
verifikasi. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya, yang terbanyak
dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan pengamatan. Pelaksanaan
metode ilmiah ini meliputi enam tahap, yaitu:
1) Merumuskan masalah. Masalah adalah sesuatu yang harus
diselesaikan.
2) Mengumpulkan keterangan, yaitu segala informasi yang
mengarah dan dekat pada pemecahan masalah. Sering disebut juga mengkaji teori
atau kajian pustaka.
3) Menyusun hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban
sementara yang disusun berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh selama
observasi atau telaah pustaka.
4) Menguji hipotesis dengan melakukan percobaan atau
penelitian.
5) Mengolah data (hasil) percobaan dengan menggunakan metode statistik untuk
menghasilkan kesimpulan. Hasil penelitian dengan metode ini adalah data yang
objektif, tidak dipengaruhi subyektifitas ilmuwan peneliti dan universal
(dilakukan dimana saja dan oleh siapa saja akan memberikan hasil yang sama).
6) Menguji kesimpulan. Untuk meyakinkan kebenaran
hipotesis melalui hasil percobaan perlu dilakukan uji ulang. Apabila hasil uji
senantiasa mendukung hipotesis maka hipotesis itu bisa menjadi kaidah (hukum)
dan bahkan menjadi teori.
Metode ilmiah didasari oleh sikap ilmiah. Sikap ilmiah
semestinya dimiliki oleh setiap penelitian dan ilmuwan. Adapun sikap ilmiah
yang dimaksud adalah :
1) Rasa ingin tahu
2) Jujur (menerima kenyataan hasil
penelitian dan tidak mengada-ada)
3) Objektif (sesuai fakta yang ada, dan tidak dipengaruhi oleh
perasaan pribadi)
4) Tekun (tidak putus asa)
5) Teliti (tidak ceroboh dan tidak
melakukan kesalahan)
6) Terbuka (mau menerima pendapat
yang benar dari orang
6. ASAL-USUL
PENGETAHUAN
Asal-usul pengetahuan adalah hal
yang harus detahui oleh seseorang. Karena tanpa mengetahui asal-usul
pengetahuanm tersebut, maka kita tidak berangkat dari pemahaman awal munculnya
pengetahuan. Seorang yang berakal tentu ingin mengetahui tidak hanya apa
pengetahuan tetapi juga bagaimana ia muncul. Keinginan ini dimotivasi sebagian
oleh asumsi bahwa penyelidikan asal-usul pengetahuan dapat menjelaskannya. Oleh
karena itu, penyelidikan semacam itu menjadi salah satu tema utama Epistemologi
dari zaman Yunani kuno sampai sekarang. Untuk mendapatkan dari mana pengetahuan
itu muncul bisa dilihat dari aliran-aliran dalam pengetahuan.
Aliran-aliran dalam pengetahuan,
diantaranya adalah:
a.
Rasionalisme
Rasionalisme adalah aliran yang
memandang bahwa yang menjadi dasar pengetahuan adalah akal fikiran manusia.
(Darwis A. Soelaiman. 2007. Hal 68). Pengalaman hanya dapat dipakai untuk
meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Salah satu tokoh aliran aini
adalah Rene Descartes. Beliau memebedakan 3 ide yang ada di dalam diri manusia,
yaitu: 1. Inneate ideas (bawaan yang dibawa manusia sejak lahir), 2.
Adventitious ideas (ide-ide yang berasal dari luar diri manusia), dan 3. Factitious
ideas (ide-ide yang dihasilkan oleh fikiran itu sendiri).
b.
Empirisme
Empirisme tercipta dalam himpunan
sosial pada masyarakat Inggris dan Amerika, sekalipun pandangan ini sebetulnya
sudah ada sejak Aristoteles. Pempirisme tertuju kepada keduniawian. (Darwis A.
Soelaiman. 2007. Hal. 77). Aliran ini berpendapat bahwa empiris atau
pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukan menjadi sumber
pengetahuan, tetapi akal mendapat peran sebagai yang mengolah bahan-bahan yang
diperoleh oleh pengalaman.
c.
Kritisisme
Aliran yang dikenal dengan
kritisisme adalah aliran diintrodusir oleh Iummanuel Kant, seorang filosof
Jerman yang dilahirkan di Konigserg, Prusia Timur, Jerman. Aliran ini memulai
pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber
pengetahuan manusia. (Juhaya S. Praja. 2005. Hal. 114). Pertentangan antara
Rasionalisme dan Empirisme hendak diselesaikan oleh Immanuel Kant dengan kritisismenya.
Salah satu ciri dari kritisisme adalah menjelaskan bahwa pengenalan manusia
atas sesuatu itu diperoleh atas perpeduan antara peranan unsur Anaximenes
priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur
aposteriori yang berasal dari pengalaman.
d.
Positivisme
e. Positivisme berasal dari kata
“positif”. Kata positif di sini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang
berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita pernah boleh
melebihi fakta-fakta. Dengan denikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi
contoh terbaik dalam bidang pengetahuan. Tentu saja, maksud positivisme
berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun
mengutamakan pe
f. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN
Epistemologi pendidikan adalah
filsafat tentang sumber-sumber pendidikan dan seluk-beluk pendidikan. Secara
epistemologi, landasan pendidikan mengacu pada fitrah sebagai dasar
pengembangan dan inovasi pendidikan yang berkarakter, karena pendidikan yang
berkarakter selalu bertolak dari aspek-aspek kemanusiaan. Epistemologi
diperlukan dalam pendidikan antara lain dalam hubungannya dengan dasar
kurikulum yaitu menyangkut materi yang bagaimana serta bagaimana cara
menyampaikan pengetahuan kepada anak didik disekolah. Pertanyaan mengenai
mengapa salah satu mata pelajaran dijadikan pelajaran wajib dan mengapa
pelajaran lain dijadikan sebagai mata pelajaran pilihan juga merupakan
penerapan epistemologi dalam bidang pendidikan. Beberapa contoh lain adalah
menyangkut pertanyaan berikut: metode mana yang paling tepat digunakan dalam
proses pendidikan? Dengan sistem pendidikan yang mana kegiatan pendidikan
dilaksanakan untuk mendapatkan nilai pendidikan yang benar?
B.
RUANG LINGKUP
EPISTEMOLOGI
Landasan epistemologi ilmu disebut
metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang
benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan
lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu
merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut
ilmu yakni tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran
transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya
pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat bergantung pada metode
ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar
pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif. Pengetahuan yang
diperoleh oleh manusia melalui akal, indera mempunyai metode tersendiri dalam
teori pengetahuan,diantaranya adalah:
1.
Metode induktif
Induksi
merupakan suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi
disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Menurut David Hume
(1711-1716), pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal betapa pun besar
jumlahnya, secara logis tak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak
terbatas.
2.
Metode Deduktif
Deduksi merupakan suatu metode yang menyimpulkan
bahwa data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang
runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode
deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu
sendiri.
3.
Metode Positivisme
Metode
ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa
yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia menyampaikan segala uraian
atau persoalan di luar yang ada sebagai fakta.
Menurut Comte perkembangan pemikiran
manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu teologis, metofisis, dan positif.
4.
Metode
Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal
manusia untuk memperoleh pengetahuan sehingga objek yang dihasilkan pun
berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan
intuisi.
5.
Metode Dialektis
Merupakan
metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat.
Rasio atau akal
merupakan instrumen utama untuk memperoleh pengetahuan. Rasio ini telah lama
digunakan manusia untuk memecahkan atau menemukan jawaban atas suatu masalah
pengetahuan. Bahkan ini merupakan cara tertua yang digunakan manusia dalam
wilayah keilmuan. Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio disebut
pendekatan rasional denagn pegertian lain disebut dengan metode deduktif yaang
dikenal denagn silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh Aristoteles[1]
Pada silogisme
ini pengetahuan baru diperoleh melalui kesimpulan deduktif (baik menggunakan
logika deduktif, berpikir deduktif atau metode deduktif), maka harus ada
pengetahuan dan dalil umum yang disebut premis mayor yang menjadi sandaran atau
dasar berpijak dari kesimpulan-kesimpulan khusus. Bertolak dari premis mayor
ini dimunculkan premis minor yang merupakan bagia dari premis mayor. Setelah
itu baru bisa ditarik kesimpulan deduktif. Dismping itu, pendekatan rasiaonal
ini selalu mendayagunakan pemikiran dalam menafsirkan suatu objek berdasarkan
argumentasi-argumentasi yang logis. Jika kita berpedoman bahwa argumentasi yang
benar adalah penjelasan yang memilki kerangka berpikir yang paling meyakinkan,
maka pedoman ini pun tidak mampu memecahkan persoalan, sebab kriteria
penilainya bersifata nisbi dan selalu subjektif. Lagi pula kesimpulan yang
benar menurut alur pemikiran belum tentu benar menurut kenyataan. Seseorang
yang menguasai teori-teori ekonomi belum tentu mampu menghasilkan keuntungan
yang besar, ketika dia mempraktekan teori-teorinya. Padahal teori-teori itu
dibangun menurut alur pemikiran yang benar.
Karena
kelemahan rasionalisme atau metode deduktif inilah, maka memunculkan aliran
empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626). Bacon yakin
mampu membuat kesimpulan umum yang lebih benar, bila kita mengumpulkan fakta
melalui pengamatan langsung, maka dia mengenalkan metode induktif sebagi lawan
dari metode deduktif. Sebagi implikasi dari metode induktif, tentunya Bacon
menolak segala macam kesimpulan yang tidak didasarkan fakta lapangan dan hasil
pengamatan.
C.
OBYEK DAN
TUJUAN EPISTEMOLOGI
Dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan,
sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat,
sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran sedangkan
tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi antara objek
dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang
mengantarkan tercapainya tujuan.
Sebagai sub
sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali
digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut
Jujun S. Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam usaha kita
untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang
mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan
tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang
harus dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa
terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah
sama sekali.[2]
Selanjutnya,
apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “
tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah
saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya
dapat tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk
memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi
yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting
dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan
epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetuhuan.
Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai kita puas
dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal
untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan
sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.[3]
D.
PENGARUH
EPISTEMOLOGI
Sebagai teori pengetahuan ilmiah,
epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidak
jarang temuan ilmu pengetahuan ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu
pengetahuan yang kemudian.
Epistemologi juga membekali daya
kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Penguasaan
epistemologi, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan sangat membantu
seseorang dalam melakuakan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang
diajukan orang lain maupun dirinya sendirinya. Sehingga perkembangan ilmu
pengetahuan relatig mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya.
Secara global epistemologi
berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban sudah tentu dibentuk
oleh teori pengetahuannya. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan
teknologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat strategis dalam merekayasa
pegembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi meskipun teknologi sebagai
penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh ternyata teknologi sebagai
akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
E.
HUBUNGAN
EPISTEMOLOGI DAN ILMU PENGETAHUAN
Epistemologi adalah pengetahuan
sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan salah satu cabang filsafat yang
membahas tentang terjadinya pengetahuan,sumber pengetahuan, asal mula
pengetahuan,metode atau caraa memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran
pengetahuan. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta atau kenyataan dari
sudut pandang mengapa dan bagai mana fakta itu benar yang dapat diverifikasi
atau dibuktikan kebenarannya.
Jadi hubungan epistemologi dengan
pengetahuan adalah
untuk mengembangkan ilmu secara produktif dan bertanggung jawab serta
memberikan suatu gambaran-gambaran umum mengenai kebenaran yang diajarkan dalam
proses pendidikan.
F.
PENERAPAN
EPISTEMOLOGI DALAM ILMU PENGETAHUAN
Epistemologi merupakan cabang
filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a
branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits
of human knowledge) [4]
Epistemologi juga disebut teori
pengetahuan (theory of knowledge). berasal dari kata Yunani
episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan
ilmiah”, dan logos = teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang
filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya
(validitas) pengetahuan. Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah “apakah
ada itu?” sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah “apa yang
dapat saya ketahui?” [5]
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah :
a) Apakah pengetahuan itu ?
b) Bagaimanakah manusia dapat
mengetahui sesuatu ?
c) Darimana pengetahuan
itu dapat diperoleh ?
d) Bagaimanakah validitas
pengetahuan itu dapat dinilai ?
e) Apa perbedaan antara pengetahuan a
priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori
(pengetahuan purna pengalaman) ?
f)
Apa perbedaan di antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan,
kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian? [6]
Untuk membahas, apa itu pengetahuan,
apa saja yang diisebut pengetahuan ilmiah, dengan pengetahuan tidak ilmiah.
Apakah filsafat juga disebut pengatahuan dan bagaimana filsafat ilmu masuk
dalam klasifikasi filsafat atau klasifikasi ilmu ? secara mendalam ditulis pada
Bab tersendiri oleh Martini Djamaris.
Epistemologi dalam tulisan ini
dibatasi pada aspek epistemologi ilmu yang sering disebut dengan metode
ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur dalm mendapatkan pengetahuan
yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode
ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan
pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu
tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah.
Metode, menurut Senn, merupakan
suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang
sistematis. Metodologi ini secara filsafat termasuk dalam apa yang dinamakan
epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita
mendapatkan pengetahuan : apakah sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan
dan ruang lingkup pengetahuan ? apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan
pengetahuan ? sampai tahap mana pengetahuan yang mungin untuk ditangkap manusia
? ( Jujun, S. Suriasumantri : 2000).
Sebagaimana
halnya berpikir yang selalu dilakukan kita sebagai kegiatan mental yang
menghasilkan pengetahuan, maka metode ilmiah merupakan ekspresi cara bekerja
pikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan
mempunyai karakteristik–karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan
ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan
yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah
mencoba membangun tubuh pengetahuannya,( Jujun, S. Suriasumantri : 2000).
Langkah dalam epistemologi ilmu
antara lain berpikir deduktif dan induktif. Berpikir deduktif memberikan sifat
yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan
pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif
pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi
mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara
konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional
kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.
Penjelasan yang bersifat rasional
ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan kesimpulan yang
bersifat final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistik,
maka dimungkinkan disusunnya berbagai penjelasan terhadap suatu objek pemikiran
tertentu.
Proses kegiatan ilmiah, menurut
Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Tentu saja hal ini
membawa kita kepada pertanyaan lain : mengapa manusia mulai mengamati sesuatu ?
Perhatian tersebut dinamakan John Dewey sebagai suatu masalah atau kesukaran
yang dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang
menimbulkan pertanyaan. Dan pertanyaan ini timbul disebabkan oleh adanya kontak
manusia dengan dunia empiris yang menimbulkan berbagai ragam permasalahan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa “ ada masalah” baru ada proses
kegiatan berpikir dan berpikir baru dimulai, dan karena masalah ini
berasal dari dunia empiris, maka proses berpikir tersebut diarahkan pada
pengamatan objek empiris.
Ilmu mulai berkembang pada tahap
ontologis ini, manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu, yang
terlepas dari kekuasaan dunia mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris.
Dalam tahap ontologis ini maka manusia mulai mengambil jarak dari objek
disekitarnya, tidak seperti apa yang terjadi dalam dunia mistis, dimana semua
objek berada dalam kesemestaan yang bersifat difusi dan tidak jelas
batas-batasnya.
Ilmu dimulai dengan fakta dan
diakhiri dengan fakta, Einstein berkata, apa pun juga teori yang menjembatani
antara keduanya. Teori yang dimaksudkan disini adalah penjelasan mengenai
gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut. Teori merupakan suatu
abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan
pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan
rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan,
biar bagaimanapun meyakinkannya, tetap harus didukung oleh fakta empiris untuk
dapat dinyatakan benar.
Disinilah pendekatan rasional
digabungkan dengan pendekatan empiris sebagai langkah-langkah yang sempuna yang
dapat mengkonstruksi pengetahuan ilmiah. Langlah-langkah inilah yang ditelaah
dalam epistemologi ilmu yang juga disebut metode ilmiah. Secara rasional maka
ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara
empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan ynag sesuai dengan fakta atau tidak.
Secara sederhana maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus
memenuhi dua syarat utama yakni : (1) harus konsisten dengan teori-teori
sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan
secara keseluruhan; dan (2) harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori
yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris
tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Jadi logika ilmiah merupakan
gabungan antara logika deduktif dan logika induktif dimana rasionalisme dan
empirisme hidup berdampingan. Oleh sebab itu, maka sebelum teruji kebenarannya
secara empiris semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah
bersifat sementara. Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis.
Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap masalah yang sedang
kita hadapi. Dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban yang benar
maka seorang ilmuwan seakan-akan melakukan suatu “interograsi terhadap alam”.
Hipotesis dalam hubungan ini berfungsi sebagai penunjuk jalan yang memungkinkan
kita untuk mendapatkan jawaban, karena alam itu sendiri membisu dan tidak
responsif terhadap pertanyaan-pertanyaan. Harus kita sadari bahwa hipotesis itu
sendiri merupakan penjelasan yang bersifat sementara yang membantu kita dalam
melakukan penyelidikan. Sering kita temui kesalahpahaman dimana analisis ilmiah
berhenti pada hipotesis ini tanpa upaya selanjutnya untuk melakukan verifikasi
apakah hipotesis ini benar atau tidak. Kecenderugan ini terdapat pada ilmuwan
yang sangat dipengaruhi oleh paham rasionalisme dan melupakan bahwa metode
ilmiah merupakan gabungan dari rasionalisme dan empirisme.
Langkah selanjutnya sesudah
penyusunan hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut dengan
mengkonfrontasikannya dengan dunia fisik yang nyata. Sering sekali dalam hal
ini kita harus melakukan langkah perantara yakni menentukan faktor-faktor apa
yang dapat kita uji dalam rangka melakukan verifikasi terhadap keseluruhan
hipotesis tersebut.
Proses pengujian ini merupakan
pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis Yang diajukan. Fakta -fakta ini
kadang-kadang bersifat sederhana yang dapat kita tangkap secara langsung dengan
panca indera kita. Kadang-kadang kita memerlukan instrumen yang membantu
pancaindera kita umpamanya teleskop dan mikroskop.
Alur berpikir yang tercakup dalam
metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan
tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses
logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah
sebagai berikut :
(1)
Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek
empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor
yang terkait di dalamnya;
(2) Penyusunan kerangka berpikir dlam
pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang
mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk
konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional
berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan
memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan; dan
(3) Perumusan hipotesis yang merupakan
pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipoesis yang diajukan untuk
memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut
atau tidak.
Penarikan kesimpulan yang merupakan
penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima.
Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung
hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses
pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipoteis maka hipotesis itu
ditolak (Jujun, S. Suriasumantri : 2000).
Namun menurut Conny R.
Semiawan:2007: 152, bahwa Konteks peradaban dunia yang melampaui
batas-batas nasional juga ditandai oleh ciri-ciri reseptualidsasi masyarakat.
Apabila peradaban global mengalami era agraris (gelombang ke 1),
era industri (gelombang ke 2), era informatika (gelombang
ke 3), maka era ke empat juga diiringi oleh suatu peradaban baru yang
ditandai oleh respiritualisasi masyarakat (gelombang ke 4).
Kecenderungan global yang mengakibatkan suasana sekuler telah juga
menyadarkan umat manusia dan wawasan dunia. Visi yang dikedepankan, dalam era
ini adalah a deep inner reflection yang ditandai oleh suatu Mind
shift yang bersumber dari suatu authority form within. Ternyata juga
bahwa wawasan dunia yang berubah, yang dilandasi pada disertai kesadaran
bahwa bukan rasio dan logika saja yang menjadi landasan intelektual, melainkan
juga inspirirasi, kreativitas, moral dan intuisi.
Keseluruhan langkah ini harus
ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Meskipun langkah-langkah
ini secara konseptual tersususun dalam urutan yang teratur, dimana langkah yang
satu merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya, namun dalam praktiknya
sering terjadi lompatan-lompatan. Hubungan antara langkah yang satu dengan
langkah yang lainnya tidak terikat secara statis melainkan bersifat dinamis
dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran
melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Sering terjadi bahwa langkah yang
satu bukan saja merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya namun sekaligus
juga merupakan landasan-landasan koreksi bagi langkah yang lain. Dengan jalan ini
diharapkan diprosesnya pengetahuan yang bersifat konsisten dengan
pengetahuan-pengetahuan sebelumnya serta teruji kebenarannya secara empiris.
Dengan metode ilmiah sebagai
paradigma maka ilmu dibandingkan dengan berbagai pengetahuan lainnya dapat
dikatakan berkembang dengan sangat cepat. Salah satu faktor yang mendorong
perkembangan ini adalah faktor sosial dari komunikasi ilmiah dimana penemuan
individual segera dapat diketahui dan dikaji oleh anggota masyarakat
ilmuwan-lainnya (Jujun, S. Suriasumantri : 2000: 119-133).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Epistemologi
secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam
bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi
adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang
pengetahuan.
Objek
epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang
terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Selanjutnya, apakah
yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “ tujuan
epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya
dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat
tahu.”
Metode ilmiah
berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu
pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat
bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong
oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Sebagai teori
pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara
kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Epistemologi juga membekali
daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), h. 53
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1990), h.
105
Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari
metode rasional hingga metode kritik, ( Jakarta: Erlangga 2005), h. 7
Cognition , DC: American
Psychological Association. Washintong
Suparno, Paul. 1997. Filsafat
Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge: Harvard University Press.
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge: Harvard University Press.
[1] Mujammil Qomar, Epistemologi
Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, ( Jakarta:
Erlangga 2005), h. 10
[2] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1990), h. 105
[3] Mujammil Qomar,
epistemologi pendidikan islam: dari metode rasional hingga metode kritik, (
Jakarta: Erlangga 2005), h. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar