Minggu, 19 Oktober 2014

EPISTEMOLOGI PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN


MAKALAH
EPISTEMOLOGI PENGEMBANGAN ILMU PENDIDIKAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Pendidikan


KELOMPOK 2 :
                                           ENDANG SUPRIHATIN
                                            MASAYU KHALZUM
                                                SUKINI AFIFAH

DOSEN :
SARWADI,M.PdI


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MASJID SYUHADA (STAIMS) YOGYAKARTA
2014





 
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini. Salawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW atas perjuangan beliau kita dapat menikmati pencerahan iman dan islam dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “Epistemologi” dalam rangka memenuhi tugas Filsafat Ilmu.
Makalah ini telah dibuat berdasarkan hasil diskusi kelompok kami. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

                                                                                                                                Penyusun

Kelompok 2



 
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................
i
DAFTAR ISI..........................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................

A.  LATAR BELAKANG MASALAH...........................................
B.     RUMUSAN MASALAH...........................................................
C.     TUJUAN PENULISAN.............................................................
1
2
2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................

A.    TINJAUAN PUSTAKA............................................................
                              1.            PENGERTIAN EPISTEMOLOGI................................
                              2.            KEDUDUKAN EPISTEMOLOGI DALAM ILMU FILSAFAT.....................................................................
                              3.            DEFINISI PENGETAHUAN........................................
                              4.            TERJADINYA PENGETAHUAN................................
                              5.            JENIS-JENIS PENGETAHUAN...................................
                              6.            ASAL-USUL PENGETAHUAN...................................
                              7.            PENGERTIAN EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN.......
B.     RUANG LINGKUP EPISTEMOLOGI.....................................
C.     OBYEK DAN TUJUAN EPISTEMOLOGI..............................
D.    PENGARUH EPISTEMOLOGI................................................
E.     HUBUNGAN EPISTEMOLOGI DAN ILMU PENGETAHUAN......................................................................
F.      PENERAPAN EPISTEMOLOGI DALAM ILMU PENGETAHUAN......................................................................
3
3

4
6
7
10
14
17
17
21
22

23

24
BAB III PENUTUP...............................................................................
33
KESIMPULAN.....................................................................................
33
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................
34




BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH

Jika mempelajari filsafat ilmu, kita pasti menjumpai istilah “Epistemologi”. Yang merupakan salah satu cabang ilmu filsafat. Dan karena Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Epistemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas dan metode, dan kesahihan pengetahuan. sehingga dalam kesempatan kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai sumber-sumber epistemologi. Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran.
 Manusia tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban-jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran  yang bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat  statis, tidak kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunianya

B.     RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1)      Apa yang dimaksud dengan epistemologi ?
2)      Apa saja ruang lingkup epistemologi ?
3)      Apakah landasan epistemologi?
4)      Apakah obyek dan tujuan epistemologi?
5)      Apakah pengaruh epistemologi ?
6)      Bagaimana hubungan epistemologi dengan ilmu pengetahuan ?
7)      Bagaimana peranan epistemologi terhadap perkembangan pengetahuan?
C.     TUJUAN PENULISAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Pendidikan .

                                                                                         


BAB II
PEMBAHASAN

A.    TINJAUAN PUSTAKA
1.      PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Epistomologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Masalah utama dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan, Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya.

2.        KEDUDUKAN EPISTEMOLOGI DALAM ILMU FILSAFAF
Ruang lingkup filsafat ada 3 macam, yaitu: Ontologi atau metafisika yang merupakan filsafat tentang realita, Epistemologi, yaiutu filsafat tentang ilmu pengetahuan, dan Axiologi, yaitu filsafat tentang nilai. Secara luas dapat dikatan bahwa epistimologi adalah bagian filsafat yang membahas masalah-masalah pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti ilmu. Jadi menurut arti katanya, epistemologi ialah ilmu yang membahas masalah-masalah pengetahuan. Di dalam Webster New International Dictionary, epistemologi diberi definisi sebagai berikut: Epistimology is the theory or science the method and grounds of knowledge, especially with reference to its limits and validity, yang artinya Epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu. (Darwis. A. Soelaiman, 2007, hal. 61).
Istilah Epistemologi banyak dipakai di negeri-negeri Anglo Saxon (Amerika) dan jarang dipakai di negeri-negeri continental (Eropa). Ahli-ahli filsafat Jerman menyebutnya Wessenchaftslehre. Sekalipun lingkungan ilmu yang membicarakan masalah-masalah pengetahuan itu meliputi teori pengetahuan, teori kebenaran dan logika, tetapi pada umumnya epistemology itu hanya membicarakan tentang teori pengetahuan dan kebenaran saja.
Epistemologi atau Filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmun pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.
Beberapa pakar lainnya juga mendefinisikan espitemologi, seperti J.A Niels Mulder menuturkan, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang watak, batas-batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan. Jacques Veuger mengemukakan, epistemology adalah pengetahuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan kita sendiri bukannya pengetahuan orang lain tentang pengetahuan kita, atau pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan orang lain. Pendek kata Epistemologi adalah pengetahuan kita yang mengetahui pengetahuan kita. Abbas Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa epistemology adalah bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari pengetahuan yang telah terjadi itu. (Surajiyo, 2008, hal. 25).
Dari beberapa definisi yang tampak di atas bahwa semuanya hampir memiliki pemahaman yang sama. Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan keshahihan pengetahuan. Jadi objek material dari epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu.

3.      DEFINISI PENGETAHUAN
Pengetahuan adalah suatu istilah yang dipergunakan untuk menuturkan apabila seseorang mengenal tentang sesuatu. Suatu hal yang menjadi pengetahuannya adalah selalu terdiri dari unsur yang mengetahui dan yang diketahui serta kesadaran mengenai hal yang ingin diketahuinya.
Oleh karena itu, pengetahuan selalu menuntut adanya subjek yang mempunyai kesadaran untuk mengetahui tentang sesuatu dan objek yang merupakan sesuatu yang dihadapinya sebagai hal ingin diketahuinya. Jadi bisa dikatakan pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang.
Pengetahuan itu hanya dikenal dan ada di dalam pikiran manusia, tanpa pikiran maka pengetahuan tidak akan eksis. Oleh karena itu keterkaitan antara pengetahuan dan pikiran sesuatu yang kodrati. (Surajiyo, 2008, hal. 26).
4.         TERJADINYA PENGETAHUAN
Masalah terjadinya pengetahuan adalah masalah yanag sangat ungen untuk dibahas di dalam Epistemologi, sebab orang akan berbeda pandangan terhadap terjadinya pengetahuan. Terjadinya pengetahuan dapat bersifat apriori dan aposteriori. Apriori yaitu pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman batin. Aposteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman. Sebagai alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut John Hospers dalam bukunya An Introduction to Philosophical Analysis mengemukakan ada enam hal, (Surajiyo. 2008. Hal. 28) diantaranya:
1.      Pengalaman Indera (Sense Experience)
Orang sering merasa penginderaan merupakan alat yang paling vital dalam memperoleh pengetahuan. Pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang berupa alat-alat untuk menangkap objek dari luar diri manusia melalui kekuatan indera. Kekhilafan akan terjadi apabila ada ketidak normalan antara alat-alat itu. Ibn Sina mengutip ungkapan filosof terkenal Aristoteles menyatakan bahwa barang siapa yang kehilangan indra-indranya maka dia tidak mempunyai makrifat dan pengetahuan. Dengan demikian bahwa indra merupakan sumber dan alat makrifat dan pengetahuan ialah hal yang sama sekali tidak disangsikan. Hal ini bertolak belakang dengan perspektif Plato yang berkeyakinan bahwa sumber pengetahuan hanyalah akal dan rasionalitas, indra-indra lahiriah dan objek-objek fisik sama sekali tidak bernilai dalam konteks pengetahuan. Dia menyatakan bahwa hal-hal fisikal hanya bernuansa lahiriah dan tidak menyentuh hakikat sesuatu. Benda-benda materi adalah realitas-realitas yang pasti sirna, punah, tidak hakiki, dan tidak abadi.
2.      Nalar (Reason)
Nalar adalah salah satu corak berfikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. Salah satu tokoh dari paham ini adalah Plato, seorang filosof Yunani yang dilahirkan di Athena. Plato berpendapat bahwa untuk memperoleh pengetahuan itu pada hakikatnya adalah dengan mengingat kembali.
3.      Otoritas (Authority)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber pengetahuan, karena kelompoknya memiliki pengetahuan melalui seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuannya. Pengetahuan yang diperoleh dari otoritas ini biasanya tanpa diuji lagi, karena orang yang telah menyampaikannya mempunyai kewibaan tertentu.
4.      Intuisi (Intuition)
Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia berupa proses kejiwaan tanpa suatu rangsangan atau stimulus mampu untuk membuat pernyataan yang berupa pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi tidak dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan karena pengetahuan ini muncul tanpa adanya pengetahuan lebih dahulu. Menurut Mohamad Taufiq dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa intuisi adalah daya atau kemampauan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanmpa ada dipelajari terlebih dahulu dan berasal dari hati.
5.      Wahyu (Revelation)
Sebagai manusia yang beragama pasti meyakini bahwa wahyu merupakan sumber ilmu, Karena diyakini bahwa wahyu itu bukanlah buatan manusia tetapi buatan Tuhan Yang Maha Esa. Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada nabi-Nya untuk kepentingan ummatnya. Kita mempunyai pengetahuan melalui wahyu, karena ada kepercayaan tentang sesuatu yang disampaikan itu. Wahyu dapat dikatakan sebagai salah satu sumber pengetahuan, karena kita mengenal sesuatu melalui kepercayaan kita.
6.      Keyakinan (Faith) .
Keyakinan adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Adapun keyakinan itu sangat statis, kecuali ada bukti-bukti yang akurat dan cocok untuk kepercay
5.      JENIS-JENIS PENGETAHUAN
Pengetahuan Menurut Soejono Soemargono dapat dibagi atas Pengetahuan Non-Ilmiah dan Pengetahuan Ilmiah.
1.      Pengetahuan Non-Ilmiah, yang mana pengetahuan ini adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara yang tidak termasuk dalam kategori metode ilmiah. Dalam hal ini termasuk juga pengetahuan yang meskipun dalam babak terakhir direncanakan untuk diolah lebih lanjut menjadi pengetahuan ilmiah, yang biasanya disebut pengetahuan pra-ilmiah. Misalnya, pengetahuan orang tentang manfaat rebusan daun jambu biji untuk mengurangi gejala diare. Secara umum yang dimaksud dengan pengetahuan non-ilmiah ialah segenap hasil pemahaman manusia mengenai sesuatu objek tertentu yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini yang cocok adalah hasil penglihatan dengan mata, hasil pendengaran telinga, hasil penciuman hidung, hasil pengecapan lidah dan hasil perabaan kulit. Disamping itu, sering kali di dalamnya juga termasuk hasil-hasil pemahaman yang merupakan campuran dari hasil inderawi dengan hasil pemikiran secara akali. Juga pemahaman manusia yang berupa tangkapan-tangkapan terhadap hal-hal yang biasanya disebut ghaib, misalnya pengetahuan orang tertentu tentang jin atau makhluk halus di tempat tertentu, keampuhan pusaka, dan lain-lain. Pengetahuan non-ilmiah mempunyai ciri-ciri penelitian tidak sistematik, data yang dikumpulkan dan cara-cara pengumpulan data bersifat subyektif yang sarat dengan muatan-muatan emosi dan perasaan dari si peneliti. Karena itu pengetahuan non-ilmiah adalah pengetahuan yang coraknya subyektif.
2.      Pengetahuan ilmiah adalah segenap hasil pemahaman manusia yang diperoleh degan menggunakan metode ilmiah. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang sudah lebih sempurna karena telah mempunyai dan memenuhi syarat-syarat tertentu dengan cara berfikir yang khas, yaitu Metode ilmiah. Jujun S. Suriasumantri menambahkan bahwa metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapat lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum di dalam apa yang dinamakan metode ilmiah. (Jujun S. Surisumantri. 1996. Hal. 119).
Secara etimologi metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri lalu berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, uraian ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem/ aturan tertentu. (Surajiyo. 2008. Hal. 35). Jadi, Metode ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Dalam sains dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedangkan dalam ilmu-ilmu sosial dan budaya, yang terbanyak dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan pengamatan. Pelaksanaan metode ilmiah ini meliputi enam tahap, yaitu:
1)      Merumuskan masalah. Masalah adalah sesuatu yang harus diselesaikan.
2)      Mengumpulkan keterangan, yaitu segala informasi yang mengarah dan dekat pada pemecahan masalah. Sering disebut juga mengkaji teori atau kajian pustaka.
3)      Menyusun hipotesis. Hipotesis merupakan jawaban sementara yang disusun berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh selama observasi atau telaah pustaka.
4)      Menguji hipotesis dengan melakukan percobaan atau penelitian.
5)  Mengolah data (hasil) percobaan dengan menggunakan metode statistik untuk menghasilkan kesimpulan. Hasil penelitian dengan metode ini adalah data yang objektif, tidak dipengaruhi subyektifitas ilmuwan peneliti dan universal (dilakukan dimana saja dan oleh siapa saja akan memberikan hasil yang sama).
6)    Menguji kesimpulan. Untuk meyakinkan kebenaran hipotesis melalui hasil percobaan perlu dilakukan uji ulang. Apabila hasil uji senantiasa mendukung hipotesis maka hipotesis itu bisa menjadi kaidah (hukum) dan bahkan menjadi teori.
Metode ilmiah didasari oleh sikap ilmiah. Sikap ilmiah semestinya dimiliki oleh setiap penelitian dan ilmuwan. Adapun sikap ilmiah yang dimaksud adalah :
1)      Rasa ingin tahu
2)      Jujur (menerima kenyataan hasil penelitian dan tidak mengada-ada)
3)     Objektif (sesuai fakta yang ada, dan tidak dipengaruhi oleh perasaan pribadi)
4)      Tekun (tidak putus asa)
5)      Teliti (tidak ceroboh dan tidak melakukan kesalahan)
6)       Terbuka (mau menerima pendapat yang benar dari orang
6.  ASAL-USUL PENGETAHUAN
Asal-usul pengetahuan adalah hal yang harus detahui oleh seseorang. Karena tanpa mengetahui asal-usul pengetahuanm tersebut, maka kita tidak berangkat dari pemahaman awal munculnya pengetahuan. Seorang yang berakal tentu ingin mengetahui tidak hanya apa pengetahuan tetapi juga bagaimana ia muncul. Keinginan ini dimotivasi sebagian oleh asumsi bahwa penyelidikan asal-usul pengetahuan dapat menjelaskannya. Oleh karena itu, penyelidikan semacam itu menjadi salah satu tema utama Epistemologi dari zaman Yunani kuno sampai sekarang. Untuk mendapatkan dari mana pengetahuan itu muncul bisa dilihat dari aliran-aliran dalam pengetahuan.
Aliran-aliran dalam pengetahuan, diantaranya adalah:
a.       Rasionalisme
Rasionalisme adalah aliran yang memandang bahwa yang menjadi dasar pengetahuan adalah akal fikiran manusia. (Darwis A. Soelaiman. 2007. Hal 68). Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Salah satu tokoh aliran aini adalah Rene Descartes. Beliau memebedakan 3 ide yang ada di dalam diri manusia, yaitu: 1. Inneate ideas (bawaan yang dibawa manusia sejak lahir), 2. Adventitious ideas (ide-ide yang berasal dari luar diri manusia), dan 3. Factitious ideas (ide-ide yang dihasilkan oleh fikiran itu sendiri).
b.      Empirisme
Empirisme tercipta dalam himpunan sosial pada masyarakat Inggris dan Amerika, sekalipun pandangan ini sebetulnya sudah ada sejak Aristoteles. Pempirisme tertuju kepada keduniawian. (Darwis A. Soelaiman. 2007. Hal. 77). Aliran ini berpendapat bahwa empiris atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Akal bukan menjadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat peran sebagai yang mengolah bahan-bahan yang diperoleh oleh pengalaman.
c.       Kritisisme
Aliran yang dikenal dengan kritisisme adalah aliran diintrodusir oleh Iummanuel Kant, seorang filosof Jerman yang dilahirkan di Konigserg, Prusia Timur, Jerman. Aliran ini memulai pelajarannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. (Juhaya S. Praja. 2005. Hal. 114). Pertentangan antara Rasionalisme dan Empirisme hendak diselesaikan oleh Immanuel Kant dengan kritisismenya. Salah satu ciri dari kritisisme adalah menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpeduan antara peranan unsur Anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur aposteriori yang berasal dari pengalaman.
d.      Positivisme
e.       Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif di sini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan denikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh terbaik dalam bidang pengetahuan. Tentu saja, maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pe
f.       PENGERTIAN EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN
Epistemologi pendidikan adalah filsafat tentang sumber-sumber pendidikan dan seluk-beluk pendidikan. Secara epistemologi, landasan pendidikan mengacu pada fitrah sebagai dasar pengembangan dan inovasi pendidikan yang berkarakter, karena pendidikan yang berkarakter selalu bertolak dari aspek-aspek kemanusiaan. Epistemologi diperlukan dalam pendidikan antara lain dalam hubungannya dengan dasar kurikulum yaitu menyangkut materi yang bagaimana serta bagaimana cara menyampaikan pengetahuan kepada anak didik disekolah. Pertanyaan mengenai mengapa salah satu mata pelajaran dijadikan pelajaran wajib dan mengapa pelajaran lain dijadikan sebagai mata pelajaran pilihan juga merupakan penerapan epistemologi dalam bidang pendidikan. Beberapa contoh lain adalah menyangkut pertanyaan berikut: metode mana yang paling tepat digunakan dalam proses pendidikan? Dengan sistem pendidikan yang mana kegiatan pendidikan dilaksanakan untuk mendapatkan nilai pendidikan yang benar?
B.     RUANG LINGKUP EPISTEMOLOGI
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yakni tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan  sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif. Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan,diantaranya adalah:
1.       Metode induktif
Induksi merupakan suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Menurut David Hume (1711-1716), pernyataan yang berdasarkan observasi tunggal betapa pun besar jumlahnya, secara logis tak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak terbatas.
2.       Metode Deduktif
Deduksi merupakan  suatu metode yang menyimpulkan bahwa data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri.
3.       Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia menyampaikan segala uraian atau persoalan di luar yang ada sebagai fakta.
Menurut Comte perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap yaitu teologis, metofisis, dan positif.
4.       Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan sehingga objek yang dihasilkan pun berbeda-beda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi.
5.       Metode Dialektis
Merupakan metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat.
Rasio atau akal merupakan instrumen utama untuk memperoleh pengetahuan. Rasio ini telah lama digunakan manusia untuk memecahkan atau menemukan jawaban atas suatu masalah pengetahuan. Bahkan ini merupakan cara tertua yang digunakan manusia dalam wilayah keilmuan. Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan rasional denagn pegertian lain disebut dengan metode deduktif yaang dikenal denagn silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh Aristoteles[1]
Pada silogisme ini pengetahuan baru diperoleh melalui kesimpulan deduktif (baik menggunakan logika deduktif, berpikir deduktif atau metode deduktif), maka harus ada pengetahuan dan dalil umum yang disebut premis mayor yang menjadi sandaran atau dasar berpijak dari kesimpulan-kesimpulan khusus. Bertolak dari premis mayor ini dimunculkan premis minor yang merupakan bagia dari premis mayor. Setelah itu baru bisa ditarik kesimpulan deduktif. Dismping itu, pendekatan rasiaonal ini selalu mendayagunakan pemikiran dalam menafsirkan suatu objek berdasarkan argumentasi-argumentasi yang logis. Jika kita berpedoman bahwa argumentasi yang benar adalah penjelasan yang memilki kerangka berpikir yang paling meyakinkan, maka pedoman ini pun tidak mampu memecahkan persoalan, sebab kriteria penilainya bersifata nisbi dan selalu subjektif. Lagi pula kesimpulan yang benar menurut alur pemikiran belum tentu benar menurut kenyataan. Seseorang yang menguasai teori-teori ekonomi belum tentu mampu menghasilkan keuntungan yang besar, ketika dia mempraktekan teori-teorinya. Padahal teori-teori itu dibangun menurut alur pemikiran yang benar.
Karena kelemahan rasionalisme atau metode deduktif inilah, maka memunculkan aliran empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626). Bacon yakin mampu membuat kesimpulan umum yang lebih benar, bila kita mengumpulkan fakta melalui pengamatan langsung, maka dia mengenalkan metode induktif sebagi lawan dari metode deduktif. Sebagi implikasi dari metode induktif, tentunya Bacon menolak segala macam kesimpulan yang tidak didasarkan fakta lapangan dan hasil pengamatan.
C.     OBYEK DAN TUJUAN EPISTEMOLOGI
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran sedangkan tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda,  tetapi antara objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.[2]
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “ tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai kita puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.[3]
D.    PENGARUH EPISTEMOLOGI
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu pengetahuan ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian.
Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan sangat membantu seseorang dalam melakuakan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang diajukan orang lain maupun dirinya sendirinya. Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan relatig mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya.
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat strategis dalam merekayasa pegembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi. 
E.     HUBUNGAN EPISTEMOLOGI DAN ILMU PENGETAHUAN
Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan,sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan,metode atau caraa memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan. Aspek epistemologi adalah kebenaran fakta atau kenyataan dari sudut pandang mengapa dan bagai mana fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kebenarannya.
Jadi hubungan epistemologi dengan pengetahuan adalah untuk mengembangkan ilmu secara produktif dan bertanggung jawab serta memberikan suatu gambaran-gambaran umum mengenai kebenaran yang diajarkan dalam proses pendidikan.
F.      PENERAPAN EPISTEMOLOGI DALAM ILMU PENGETAHUAN
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge[4]
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge).   berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilmiah”, dan logos = teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan. Dalam metafisika, pertanyaan pokoknya adalah “apakah ada itu?” sedangkan dalam epistemologi pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?” [5]
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah :
a)      Apakah pengetahuan itu ?
b)      Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu ?
c)       Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh ?
d)      Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai ?
e)    Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) ?
f)     Apa perbedaan di antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian? [6]
Untuk membahas, apa itu pengetahuan, apa saja yang diisebut pengetahuan ilmiah, dengan pengetahuan tidak ilmiah. Apakah filsafat juga disebut pengatahuan dan bagaimana filsafat ilmu masuk dalam klasifikasi filsafat atau klasifikasi ilmu ? secara mendalam ditulis pada Bab tersendiri oleh Martini Djamaris.
Epistemologi dalam tulisan ini dibatasi pada aspek epistemologi ilmu yang sering disebut dengan metode ilmiah.  Metode ilmiah merupakan prosedur dalm mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan dengan metode ilmiah.
Metode, menurut Senn, merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Metodologi ini secara filsafat termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan : apakah sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan ? apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan ? sampai tahap mana pengetahuan yang mungin untuk ditangkap manusia ? ( Jujun, S. Suriasumantri : 2000).
Sebagaimana halnya berpikir yang selalu dilakukan kita sebagai  kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan, maka metode ilmiah merupakan ekspresi cara bekerja pikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik–karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba membangun tubuh pengetahuannya,( Jujun, S. Suriasumantri : 2000).
Langkah dalam epistemologi ilmu antara lain berpikir deduktif dan induktif. Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.
Penjelasan yang bersifat rasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan kesimpulan yang bersifat final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistik, maka dimungkinkan disusunnya berbagai penjelasan terhadap suatu objek pemikiran tertentu.
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain : mengapa manusia mulai mengamati sesuatu ? Perhatian tersebut dinamakan John Dewey sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan. Dan pertanyaan ini timbul disebabkan oleh adanya kontak manusia dengan dunia empiris yang menimbulkan berbagai ragam permasalahan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa “ ada masalah”  baru ada  proses kegiatan berpikir dan  berpikir baru  dimulai, dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris, maka proses berpikir tersebut diarahkan pada pengamatan objek empiris.
Ilmu mulai berkembang pada tahap ontologis ini, manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu, yang terlepas dari kekuasaan dunia mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris. Dalam tahap ontologis ini maka manusia mulai mengambil jarak dari objek disekitarnya, tidak seperti apa yang terjadi dalam dunia mistis, dimana semua objek berada dalam kesemestaan yang bersifat difusi dan tidak jelas batas-batasnya.
Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, Einstein berkata, apa pun juga teori yang menjembatani antara keduanya. Teori yang dimaksudkan disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.  Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar bagaimanapun meyakinkannya, tetap harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
Disinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris sebagai langkah-langkah yang sempuna yang dapat mengkonstruksi pengetahuan ilmiah. Langlah-langkah inilah yang ditelaah dalam epistemologi ilmu yang juga disebut metode ilmiah. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan ynag sesuai dengan fakta atau tidak. Secara sederhana maka hal ini berarti bahwa semua teori ilmiah  harus memenuhi dua syarat utama yakni : (1) harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan; dan (2) harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah. Jadi logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif dimana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan. Oleh sebab itu, maka sebelum teruji kebenarannya secara empiris semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya hanyalah bersifat sementara. Penjelasan sementara ini biasanya disebut hipotesis. Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara terhadap masalah yang sedang kita hadapi. Dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban yang benar maka seorang ilmuwan seakan-akan melakukan suatu “interograsi terhadap alam”. Hipotesis dalam hubungan ini berfungsi sebagai penunjuk jalan yang memungkinkan kita untuk mendapatkan jawaban, karena alam itu sendiri membisu dan tidak responsif terhadap pertanyaan-pertanyaan. Harus kita sadari bahwa hipotesis itu sendiri merupakan penjelasan yang bersifat sementara yang membantu kita dalam melakukan penyelidikan. Sering kita temui kesalahpahaman dimana analisis ilmiah berhenti pada hipotesis ini tanpa upaya selanjutnya untuk melakukan verifikasi apakah hipotesis ini benar atau tidak. Kecenderugan ini terdapat pada ilmuwan yang sangat dipengaruhi oleh paham rasionalisme dan melupakan bahwa metode ilmiah merupakan gabungan dari rasionalisme dan empirisme.
Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut dengan mengkonfrontasikannya dengan dunia fisik yang nyata. Sering sekali dalam hal ini kita harus melakukan langkah perantara yakni menentukan faktor-faktor apa yang dapat kita uji dalam rangka melakukan verifikasi terhadap keseluruhan hipotesis tersebut.
Proses pengujian ini merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis Yang diajukan. Fakta -fakta ini kadang-kadang bersifat sederhana yang dapat kita tangkap secara langsung dengan panca indera kita. Kadang-kadang kita memerlukan instrumen yang membantu pancaindera kita umpamanya teleskop dan mikroskop.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :
(1)   Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya;
(2)   Penyusunan kerangka berpikir dlam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan; dan
(3)   Perumusan hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipoesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipoteis maka hipotesis itu ditolak (Jujun, S. Suriasumantri : 2000).
Namun menurut Conny R. Semiawan:2007: 152,  bahwa  Konteks peradaban dunia yang melampaui batas-batas nasional juga ditandai oleh ciri-ciri reseptualidsasi masyarakat.  Apabila peradaban global mengalami era agraris (gelombang ke 1),  era industri (gelombang ke 2), era informatika (gelombang  ke 3), maka era ke empat juga diiringi oleh suatu peradaban baru yang ditandai oleh respiritualisasi  masyarakat (gelombang  ke 4). Kecenderungan global yang mengakibatkan suasana sekuler  telah juga menyadarkan umat manusia dan wawasan dunia. Visi yang dikedepankan, dalam era ini adalah a deep inner reflection yang ditandai oleh suatu Mind shift yang bersumber dari suatu authority form within. Ternyata juga bahwa wawasan dunia yang berubah, yang dilandasi pada  disertai kesadaran bahwa bukan rasio dan logika saja yang menjadi landasan intelektual, melainkan juga inspirirasi, kreativitas, moral dan intuisi.
Keseluruhan langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Meskipun langkah-langkah ini secara konseptual tersususun dalam urutan yang teratur, dimana langkah yang satu merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya, namun dalam praktiknya sering terjadi lompatan-lompatan. Hubungan antara langkah yang satu dengan langkah yang lainnya tidak terikat secara statis melainkan bersifat dinamis dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Sering terjadi bahwa langkah yang satu bukan saja merupakan landasan bagi langkah yang berikutnya namun sekaligus juga merupakan landasan-landasan koreksi bagi langkah yang lain. Dengan jalan ini diharapkan diprosesnya pengetahuan yang bersifat konsisten dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya serta teruji kebenarannya secara empiris.
Dengan metode ilmiah sebagai paradigma maka ilmu dibandingkan dengan berbagai pengetahuan lainnya dapat dikatakan berkembang dengan sangat cepat. Salah satu faktor yang mendorong perkembangan ini adalah faktor sosial dari komunikasi ilmiah dimana penemuan individual segera dapat diketahui dan dikaji oleh anggota masyarakat ilmuwan-lainnya (Jujun, S. Suriasumantri : 2000:  119-133).

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “ tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan  sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada.




DAFTAR PUSTAKA

Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 53
 Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari metode rasional hingga metode kritik, ( Jakarta: Erlangga 2005), h. 7
Cognition , DC: American Psychological Association. Washintong
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Society. Cambridge: Harvard University Press.





[1] Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, ( Jakarta: Erlangga 2005), h. 10
[2] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1990), h. 105
[3] Mujammil Qomar, epistemologi pendidikan islam: dari metode rasional hingga metode kritik, ( Jakarta: Erlangga 2005), h. 7





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar