Mengenal
Fungsi Niat
Keinginan hati untuk melakukan suatu
amalan, itulah makna daripada niat. Niat merupakan perkara yang amat penting
dalam Islam. Sampai-sampai Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam mengabarkan
bahwa segala amal perbuatan itu tergatung pada niat Si Pelaku. Seorang
mendapatkan buah dari amalannya sesuai keadaan niat dalam hatinya. Dalam sebuah
hadist yang masyhur, disampaikan oleh sahabat Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu,
Nabi shallallahua’laihi wasallam bersabda,
إنما الأ عمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى
“Sesungguhnya amalan itu
tergantung niatnya dan seseorang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia
niatkan” (HR Bukhari & Muslim)
Oleh karenya para ulama memberikan
perhatian cukup besar terhadap perkara niat ini. Sampai-sampai mereka mengarang
sebuah kitab yang hanya membahas permasalahan niat. Sebut saja Abu Bakr bin
Abid Dun-ya rahimahullah, beliau telah mengarang sebuah kitab yang
khusus membahas permasalahan ini. Judulnya Al-ikhlas wan Niyyah (ikhlas
dan niat). Ini menunjukkan bahwa niat tak bisa dipandang sebelah mata. Dan
seorang akan menyadari urgensi niat bila ia mengerti betapa besar fungsi
daripada niat ini.
Apa fungsi niat ?
Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah
menyebutkan dalam kitab beliau Jami’ al-‘ulum wal hikam mengenai fungsi
dari niat, bahwa ada dua fungsi niat:
Pertama, Membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya, atau
membedakan antara ibadah dengan kebiasaan.
Kedua, Membedakan tujuan seseorang dalam beribadah. Jadi apakah
seorang beribadah karena mengharap wajah Allah ataukah ia beribadah karena
selain Allah, seperti mengharapkan pujian manusia.
(Lihat: Jami’ al-‘ulum wal hikam, hal. 67).
(Lihat: Jami’ al-‘ulum wal hikam, hal. 67).
Membedakan antara satu ibadah dengan
ibadah lain. Contohnya, shalat yang dua raka’at itu banyak. Ada shalat yang
wajib dan tak sedikit shalat sunah yang dua raka’at. Kita ambil contoh shalat
qabliyah subuh dengan shalat subuh. Keduanya berjumlah dua raka’at. Tata
caranya pun sama, jumlah ruku’ dan sujudnya juga sama.Sama-sama diawali
takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Lalu apa yang memedakan antara dua
raka’at qabliyah subuh dengan dua raka’at shalat subuh? Itu lah niat yang
membedakan antara keduanya.
Atau membedakan antara ibadah dengan
kebiasaan. Misal, antara mandi junub dengan mandi biasa. Dari segi tatacara
sama; sama-sama mengguyurkan air keseluruh badan. Sama-sama pakai sabun, dan
sama-sama keramas juga. Lalu apa yang membedakan? Niat yang membedakannya.
Jadi
amalan yang pada asalnya hanya kebiasaan bisa bernilai ibadah bila diniati
ibadah.
Kemudian fungsi niat kedua adalah
Membedakan tujuan seseorang dalam beribadah . Pembahasan inilah yang sering
kita kenal dengan istilah ikhlas. Jadi apakah seorang tatkala ia beribadah
ikhlas lillahi ta’ala, atau hanya mengharap perhatian manusia?
Dan kita tahu bahwasannya Allah
ta’ala tidak akan merima amalan seorang hamba melainkan yang dilakukan
karena ikhlas mengharap keridhaan-Nya semata. Karena Allah ta’ala Maha Kaya,
Dia tidak butuh persekutuan dalam peribadatan kepadaNya. Dalam sebuah hadits
qudsi Allah ta’ala berfirman,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku sangat tidak butuh sekutu,
siapa saja yang beramal menyekutukan sesuatu dengan-Ku, maka Aku akan
meninggalkan dia dan syirknya.” (HR. Muslim)
Fungsi niat yang kedua ini pula yang
seringkali dimaksudkan dalam perkataan-perkataan ulama salaf. Seperti perkataan
seorang alim; Abdullah bin Mubarak rahimahullah,
رب عمل صغير تعظمه النية، ورب عمل كبير تصغره النية
“Boleh jadi amalan yang sepele,
menjadi besar pahalanya disebabkan karena niat. Dan boleh jadi amalan yang
besar, menjadi kecil pahalanya karena niat. ”
Jadi dari fungsi niat yang kedua ini
kita dapat menyimpulkan bahwa niat akan mempengaruhi kadar pahala yang
diperoleh seorang hamba. Semakin murni keikhlasannya, semakin besar pahala yang
akan ia dapat. Walau amalan yang ia lakukan ringan. Dan Semakin kecil kadar
keikhlasan seorang hamba; walau amalan yang ia lakukan adalah amalan yang
berpahala besar, namun bila keikhlasan dalam hatinya kecil, maka semakin kecil
pula pahala yang ia peroleh.
Juga perkataan ulama salaf lainnya
seperti Yahya bin Abi Katsir rahimahullah,
تَعَلَّمُوا النِّيَّةَ فَإِنَّهَا أَبلَغُ مِنَ العَمَل
“Pelajarilah niat, karena ia lebih
dahulu sampai di sisi Allah daripada amalan“
Mutharrif bin Abdullah rahimahullah
berkata,
صَلاَحُ القَلبِ بِصَلاَحِ العَمَلِ، وَ صَلاَحُ العَمَلِ
بِصَلاَحِ النِّيَّة
“Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Dan baiknya amalan adalah dengan baiknya niat“
Sufyan Ats Tsauri rahimahullah,
مَا عَالَجتُ شَيئًا أَشَدُّ عَليَّ مِن نِيَّتِي لأَنَّهَا
تَتَقَلَّبُ عَليّ
“Tidak ada sesuatu yang paling berat
untuk saya obati, kecuali masalah niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik
dalam diriku“.
Sedangkan
niat itu sangat tergantung dengan keikhlasan pada Allah. Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta’ala,
وَمَا أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ
وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan
salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al
Bayyinah: 5)
Allah pun
mengetahui segala sesuatu yang ada dalam isi hati hamba. Allah Ta’ala
berfirman,
قُلْ إِن تُخْفُواْ مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ
تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللّهُ وَيَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ
وَاللّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah:
"Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu
melahirkannya, pasti Allah mengetahui". Allah mengetahui apa-apa yang ada
di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu. (QS.Ali Imran : 29 )
Dalam ayat
lainnya, Allah memperingatkan dari bahaya riya’ –yang merupakan lawan dari
ikhlas- dalam firman-Nya,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ
الْخَاسِرِينَ
Dan
sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu.
"Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.(QS.Az-Zumar : 65 )
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى
الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى
تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Allah
Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam
perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku
akan meninggalkannya (maksudnya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan
syiriknya.”[3] An Nawawi mengatakan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’
(tidak ikhlas), itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia
akan mendapatkan dosa.” [Syarh Muslim, An Nawawi, 9/370, Mawqi’ Al Islam.)
Dalam
hadits lainnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سنن أبي داوود ٣١٧٩: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ
عَنْ أَبِي طُوَالَةَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَعْمَرٍ
الْأَنْصَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنْ الدُّنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِي رِيحَهَا
Sunan Abu
Daud 3179: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami Suraij bin An Nu'man telah menceritakan kepada kami
Fulaih dari Abu Thuwalah Abdullah bin Abdurrahman bin Ma'mar Al Anshari dari
Sa'id bin Yasar dari Abu Hurairah ia berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mempelajari suatu ilmu yang
seharusnya karena Allah Azza Wa Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali
untuk mendapatkan sebagian dari dunia, maka ia tidak akan mendapatkan baunya Surga
pada Hari Kiamat."
Dari
gambaran yang dikemukan diatas maka dapatlah difahami bahwa sesungguhnya
melakukan amalan pendekatan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala harus
berlandaskan kepada niat yang ikhlas, dimana seluruh bentuk ibadah itu hanya
semata murni ditujukan terhadap Allah azza wa jalla , dan bersih dari segala
kotoran yang dinamakan syirik.
Pentingnya Niat dalam Belajar
Di antara ibadah yang paling penting
yang mudah mendekatkan seorang hamba pada Allah adalah tholabul ‘ilmi
atau belajar ilmu agama. Sedangkan perkara yang amat penting yang perlu
diperhatikan dan selalu dikoreksi adalah niat dalam belajar. Tidak ada kebaikan
yang diperoleh jika seseorang ketika belajar malah ingin mencari ridho selain
Allah. Oleh karena itu, para ulama sangat memperhatikan niatnya dalam belajar
apakah sudah benar ataukah tidak karena jika tidak ikhlas, maka dapat mencacati
ibadah yang mulia ini.
Sufyan bin
‘Uyainah pernah berkata,
طلبنا هذا العلم لغير الله
فأبى الله أن يكون لغيره
“Kami
menuntut ilmu awalnya berniat mencari ridho selain Allah. Kemudian Allah tidak
ingin jika niatan tersebut kepada selain-Nya.”
Ulama
salaf lainnya berkata,
طلبنا العلم وما لنا فيه
كبير نية ، ثم رزقنا الله النية بعد .أي فكان عاقبته أن صار لله.
“Kami
awalnya dalam menuntut ilmu tidak punya niatan yang kuat. Kemudian Allah
menganuriakan kami niat yang benar setelah itu”. Maksudnya, akhirnya niatan
kami ikhlas karena Allah.
Bagaimanakah
niat yang benar dalam menuntut ilmu?
Syaikh
‘Abdus Salam Asy Syuwai’ir mengatakan bahwa ada tiga perkara yang mesti
dipenuhi agar seseorang disebut memiliki niatan yang benar dalam menuntut ilmu.
1. Menuntut ilmu diniatkan untuk
beribadah kepada Allah dengan benar.
2. Berniat dalam menuntut ilmu untuk
mengajarkan orang lain. Sehingga para ulama seringkali mengatakan bahwa
hendaklah para pria menguasai perkara haid agar bisa nantinya mengajarkan
istri, anak dan saudara perempuannya.
Imam Ahmad ditanya mengenai apa niat
yang benar dalam belajar agama. Beliau menjawab, “Niat yang benar dalam belajar
adalah apabila belajar tersebut diniatkan untuk dapat beribadah pada Allah
dengan benar dan untuk mengajari yang lainnya.”
Dari sini
menunjukkan bahwa niat belajar yang keliru adalah jika ingin menjatuhkan
atau mengalahkan orang lain atau ingin mencari kedudukan mulia di dunia. Anas bin Malik berkata,
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ
يُبَاهِي بِهِ الْعُلَمَاءَ ، أَوْ يُمَارِي بِهِ السُّفَهَاءَ ، أَوْ يَصْرِفُ
أَعْيُنَ النَّاسِ إِلَيْهِ ، تَبَوَّأَ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa menuntut ilmu hanya
ingin digelari ulama, untuk berdebat dengan orang bodoh, supaya dipandang
manusia, maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Hakim
dalam Mustadroknya)
3. Istiqomah atau terus menerus dalam
amal dan menuntut ilmu butuh waktu yang lama (bukan hanya sebentar).
Dalam
belajar itu butuh kesungguhan. Muhammad bin Syihab Az Zuhri berkata,
العلم إذا أعطيته كلك أعطاك
بعضه
“Yang
namanya ilmu, jika engkau memberikan usahamu seluruhnya, ia akan memberikan
padamu sebagian.”
Dalam
hadits riwayat Muslim, Abu Katsir berkata,
لاَ يُسْتَطَاعُ الْعِلْمُ
بِرَاحَةِ الْجِسْمِ
“Ilmu
tidak diperoleh dengan badan yang bersantai-santai.” (HR. Muslim no. 612).
Abu Hilal
Al Asykari (seorang penyair) awalnya sulit menghafalkan bait sya’ir. Kemudian
ia memaksakan dirinya dan berusaha keras, awalnya ia bisa menghafalkan 10 bait.
Karena ia terus berusaha, ia akhirnya bisa menghafalkan 200 bait dalam sehari.
Amalan yang bertujuan untuk mendekatkan diri seseolrang hamba kepada Allah,
hanya dapat diterima bila disertai dua syarat yaitu
1)
Mengikhlaskan amalan untuk Allah
semata yang tidak ada sekutu baginya.
Karena sesuai dengan sabda Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bahwa : “
Sesungguhnya amalan itu hanya akan dinilai bil;a disertai dengan niat. Dan
sesungguhnya masing-masing orang akan mendapatkan pahala sesuai yang dia
niatkan
2)
Mencontoh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam beramal. Mereka yang mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dan dalam
melakukan ibadah itu ia mencontoh Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam,
maka amalannya tersebut akan diterima . Sementara mereka yang kehilangan
keikhlasan dan kehilangan ittiba’ kepada Rasullullah shallallahu’alaihi wa
sallam atau kehilangan salah satu dari keduanya, maka amalannya itu akan
tertolak, sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ
فَجَعَلْنَاهُ هَبَاء مَّنثُورًا.
Dan kami
hadapi segala amal yang mereka kerjakan], lalu kami jadikan amal itu (bagaikan)
debu yang berterbangan.(QS. Al-Furqon: 23)
Allohu a'lam.
Semoga bermanfaat.