Selasa, 23 September 2014

MAKALAH KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN "MENILAI PELAKSANAAN UN DI INDONESIA


MAKALAH KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN

MENILAI PELAKSANAAN UN (UJIAN NASIONAL)  DI INDONESIA 






DISUSUN OLEH :
ENDANG SUPRIHATIN

DOSEN :
SARWADI,M.PdI


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MASJID SYUHADA (STAIMS) YOGYAKARTA
2014



                                           DAFTAR ISI      

KATAPENGANTAR..........................................................................
i
DAFTAR ISI.......................................................................................
ii
BAB I. PENDAHULUAN..................................................................
1
A. Latar Belakang...............................................................................
1
B. Rumusan Masalah...........................................................................
3
BAB II. PEMBAHASAN..................................................................
4
A. Pengertian Ujian Nasional..............................................................
4
B. Dasar Hukum Pelaksanaan UN......................................................
5
C.Permasalahan Ujian Nasional..........................................................
      1.            Kontroversi Ujian Nasional.....................................................
      2.            Standar Kelulusan...................................................................
      3.            Permasalahan Ujian Nasional saat ini.....................................
      4.            Dampak Ujian Nasional kepada siswa saat ini.......................
      5.            Pemerintah belum menyamakan fasilitas yang mendukung pendidikan..............................................................................
6
6
10
11
14

15
BAB III PENUTUP............................................................................
17
A.KESIMPULAN...............................................................................
17
B. SARAN...........................................................................................
18
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................
19
 
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhaanahu wa Ta’ala karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, makalah yang berjudul “ Menilai Pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia”, dapat terealisasi tepat waktu.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
 Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih dan semoga makalah kami dapat bermanfaat bagi kita semua.

                                                                             Penyusun  
Endang Suprihatin




 
BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan salah satu pondasi yang menentukan kemajuan suatu negara. Jika suatu negara mampu memajukan pendidikannya, maka bisa dipastikan negara itu akan menjadi terpandang di kancah internasional. Tolok ukur tinggi-rendahnya pendidikan di Indonesia cenderung dikaitkan dengan pelaksanaan Ujian Nasional. Padahal, jika kita tinjau lebih jauh, sebenarnya pelaksanaan Ujian Nasional tidak lagi mencerminkan sikap kejujuran sebagaimana yang sering dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia. Kejujuran itu menjadi harga yang sangat mahal bagi individu-individu yang ingin lepas dari pendidikannya.
 Dalam dunia pendidikan sebutan UN atau Ujian Nasional tidak asing ditelinga. Karena Ujian Nasional atau Ujian Akhir Nasional kerap menjadi momok bagi siswa tingkat akhir di setiap jenjang pendidikan, baik siswa kelas 6 SD, kelas 3 SMP dan sederajatnya maupun 3 SMA dan sederajatnya. Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) selalu menuai kontroversi. Namun pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M. Nuh menegaskan, UN tetap harus dilaksanakan sebagai sebuah proses evaluasi Pendidikan Nasional. Pelaksanaan ujian nasional walaupun selalu mengalami revisi baik dari segi system evaluasi, pelaksanaan, maupun tata cara  penentuan kelulusan dari tahun ke tahun tetap saja menimbulkan banyak konflik dalam pelaksanaannya. Ujian Nasional seharusnya tidak menjadi satu-satunya tolak ukur kelulusan siswa. Pemerintah selalu berusaha bagaimana cara agar mutu pendidikan di Indonesia menjadi berkualitas namun, ada saja permasalahan-permasalahan tak terduga muncul dalam pelaksanaan ujian nasional tersebut.
 Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan pemerintah dan merupakan bentuk lain daripada EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) yang sebelumnya telah dihapus. Ujian Nasional dijadikan sebagai  alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Tugas para guru di sekolah selain sebagai pendidik  juga mengemban suatu kewajiban untuk memberi penilaian terhadap prestasi belajar siswa.  Dalam penilaian prestasi belajar siswa guru telah melaksanakan ujian berupa tes formatif dan tes sumatif yang nantinya akan dihitung untuk menentukan nilai akhir guna menentukan kelulusan siswa terhadap mata pelajaran yang diikutinya. Dalam jenjang pendidikan SLTP dan SLTA ada banyak mata pelajaran yang dipelajari. Sedangkan UN hanya tiga atau empat mata pelajaran yang sesuai dengan POS UN yang akan diujikan dan sekaligus sebagai syarat kelulusan siswa. Pada dasarnya kita setuju akan usaha-usaha yang dilakukan oleh  pemerintah dalam meningkatkan kualitas anak didik dan sekolah. Sementara nilai ujian nasional (UN) dijadikan sebagai patokan kualitas siswa atau sekolah. Sangat ironis sekali jika seorang siswa dinyatakan lulus atau tidak hanya berdasarkan beberapa mata pelajaran saja seperti : Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa Inggris, Sejarah Nasional dan Geografi Nasional. Bagaimana dengan mata pelajaran lainnya yang tidak diikutkan dalam ujian nasional (UN) ? Untuk apa siswa belajar itu selama tiga tahun? Kenapa nilai mata pelajaran lain tidak turut diperhitungkan sebagai ukuran kelulusan siswa ? Apakah mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian Nasional (UN) merupakan standar untuk menentukan kualitas pendidikan suatu negara ataukah Ujian Nasional (UN) hanyalah keputusan politik? Apakah proposional UN menjadi standar kelulusan siswa? Efektifkah UN sebagai sebuah standar kelulusan siswa? Mungkin ada baiknya pemerintah melakukan pembenahan sebelum melaksanakan UN antara lain penyamaan fasilitas penunjang pendidikan di kota dan di desa dan perlunya persebaran guru-guru berkualitas ke seluruh sekolah, selanjutnya standar penilaian kelulusan UN harus mencakup aspek padagogis (kognitif, psikomotorik dan afektif) secara menyeluruh.

B.RUMUSAN MASALAH
      1.            Apakah pengertian Ujian Nasional dan apa landasan dasar pelaksaan Ujian Nasional ?
      2.            Apakah permasalahan dalam ujian Nasional?
      3.            Bagaimana gambaran penilaian pelaksanaan UN selama ini?







BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Ujian Nasional Ujian Nasional biasa disingkat UN / UNAS adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan.
 Ujian Nasional menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Nasional Tahun 2003/2004 disebutkan bahwa tujuan Ujian Nasional adalah untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik melalui pemberian tes kepada siswa sekolah lanjutan pertama dan sekolah lanjutan atas. Ujian Nasioanal merupakan salah satu bentuk evaluasi belajar pada akhir tahun pelajaran yang diterapkan pada beberapa mata pelajaran yang dianggap penting. Ujian Nasional berfungsi sebagai alat pengendali mutu pendidikan, pendorong peningkatan mutu pendidikan secara nasional, bahan dalam menentukan kelulusan peserta didik dan sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan pada jenjang yang lebih tinggi.
Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan pemerintah dan merupakan bentuk lain daripada EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) yang sebelumnya telah dihapus. Ujian Nasional dijadikan sebagai  alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

B. DASAR HUKUM PELAKSANAAN UN
Dasar hukum pelaksanaan UN dapat dirujuk mulai dari Undang-Undang No. 20Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, hingga ke Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan:
1. Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pasal 58 ayat 2.
2. Peraturan pemerintahNo. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Pasal 63 ayat 1, Pasal 66 ayat 1, Pasal 66 ayat 2, Pasal 66 ayat , Pasal 68, Pasal 69 ayat 1, dan Pasal 69 ayat 3
3. Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 tahun 2011 tentang kriteria kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan dan penyelenggaraan ujian sekolah/madrasah dan ujian nasional.





C. PERMASALAHAN UJIAN NASIONAL
1. Kontroversi Ujian Nasional
Pelaksanaan Ujian Nasional selalu menuai kontroversi karena Ujian Nasional selalu mengalami revisi baik dari segi system evaluasi, pelaksanaan, maupun tata cara penentuan kelulusannya. Dan dari tahun ke tahun tetap saja menimbulkan banyak konflik dalam pelaksanaannya. Ujian Nasional seharusnya tidak menjadi satu-satunya tolak ukur kelulusan siswa. Bagi siswa, ketidak-lulusan adalah cap gagal terbesar, sedangkan kelulusan yang baik adalah kebanggaan bagi dirinya. Bagi sekolah, persentase kelulusan siswa artinya peringkat sekolah yang lebih baik, apresiasi bagi kepala sekolah dan jajarannya, serta implikasi yang menyatakan bahwa sekolah ini merupakan sekolah yang berkualitas. Begitu pula sebaliknya.
Bagi Pemerintah Pusat, Kepala Daerah, Diknas, Kepala Sekolah, Guru, OrangTua, dan Siswa, UN merupakan :
1.      Tolak ukur tingkat efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran, sekaligus mendapatkan gambaran kasar mutu penyelenggaraan pendidikan skala nasional sehingga pengambilan kebijakan untuk tahun berikutnya tepat sasaran
2.       Melatih siswa mandiri, disiplin, jujur dan percaya diri dalam mengambil keputusan yang tepat
3.      Kebanggaan, keberhasilan dan prestasi kerja suatu sekolah atau suatu daerah, jika peserta didiknya dinyatakan lulus 100%
4.      Kebanggaan bagi sekolah jika nilai rata – rata UN tinggi
5.      Kebanggaan bagi siswa jika nilai rata – rata UN tinggi
6.      Penambah nilai dan tidak menghambat siswa untuk lulus 100%.
 Dari ke-enam tujuan inilah yang memicu timbulnya pro dan kontra serta kecurangan sebelum pelaksanaan UN atau pada saat UN berlangsung.
Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya permasalahan Ujian Nasional diIndonesia, yaitu :
a.  Standar nilai kelulusan yang tinggi
Standar kelulusan UN tidak berjalan simetris dengan kualitas pendidikan rata-rata nasional sesungguhnya yang diperoleh dari proses pembelajaran. Walaupun nilai kelulusan sudah digabungkan dengan nilai sekolah tapi masih saja menjadi momok yang menakutkan bagi siswa.
b.Persamaan-persamaan soal-soal ujian nasional yang tidak di dukung oleh hardware dan software yang sama antara sekolah di pedalaman dan di perkotaan. Demikian juga kesulitan yang dialami dalam melaksanakan desentralisasi pendidikan secara nasional.
Contohnya dalam pelaksanaan ujian nasioal, dimana soal-soal ujian disamaratakan baik sekolah yang berada di kota dan di desa. Dan semestinya pihak pemerintah jeli melihat perbedaan antara pendidikan diperkotaan dan pedesaan karena sarana dan prasarana penunjang pendidikan yang baik hanya terdapat di sekolah perkotaan sedangkan sarana dan prasarana yang kurang memadai berada di desa-desa. Demikian juga seharusnya pemerintah tidak menetapkan UN sebagai satu-satunya standar kelulusan. Maka, agar UN bisa menjadi syarat kelulusan, seyogyanya semuanya harus sama rata sama rasa dulu. Semua sekolah harus dibangun sama, semua guru harus memiliki kompetensi yang sama, dan siswa diajari materi yang sama karena sebagaimana diketahui bahwa kondisi masyarakat Indonesia sangat heterogen dengan berbagai macam keragamannya seperti budaya, adat,suku, sumber daya alam dan bahkan sumber daya manusianya. Masing-masing daerah mempunyai kesiapan dan kemampuan yang berbeda dalam pelaksanaan desentralisasi  pendidikan. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan pada kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata system pendidikannnya yang sesuai dengan kondisi objektif didaerahnya. Situasi ini memacu terciptanya pengangguran lulusan akibat tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah. “Ini tentu akan menimbulkan momok‟ bagi pelajar. Bagaimana pelajar yang dipelosok desa  mampu menjawab pertanyaan UN bila standarisasi dan fasilitas pendidikannya tidak memadai? Sementara soal UN distandarkan dari kualitas pendidikan pusat.
c.    Kinerja pengawas ujian nasional yang belum optimal
Kinerja pengawas ujian nasional dikatakan belum optimal dikarenakan terdapatnya pengawas yang ceroboh membagikan lembar soal ujian nasional yang tidak sesuai dengan kode kepada peserta ujian nasional.
 Berdasarkan hasil evaluasi sementara, Ketua Badan Standar Nasional pendidikan (BSNP) Aman Wirakartakusumah menyebutkan, terdapat beberapa hal utama yang menjadi bahan evaluasi untuk pelaksanaan Ujian Nasional tahun depan.
 Aman menyebutkan, salah satu fokus utama evaluasi terkait kekurangan serta soal yang tertukar. "Percetakan sudah memenuhi standar security printing, namun dalam pengepakan soal masih terjadi kesalahan. Sehingga di beberapa daerah terjadi kasus tertukarnya soal. Namun, kekurangan soal bisa diatasi dengan memfotokopinya dengan pengawalan yang ketat," kata Aman di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan(Kemendikbud) Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (19/4/2012).
 Selain soal, Lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) juga menjadi sorotan Aman. Dia menyatakan, terdapat LJUN dengan kualitas kertas tidak sesuai sehingga tidak dapat terbaca oleh alat pemindai. "Ada LJUN yang tidak bisa dibaca alat pemindai. Namun kami bantu agar para siswa tidak merasa dirugikan. Misalnya dengan menyalin jawaban yang sudah mereka isi ke LJUN yang sudah pasti terbaca pemindai (scanneer)‟ ujarnya menjelaskan.
Kemudian, tambahnya, mengenai penggunaan kaset untuk materi listening UN Bahasa Inggris menurut Aman, penggunaan kaset dianggap sudah konvensional. “ Di beberapa tempat sangat sulit untuk menemukan alat pemutar kaset, sehingga harus dicari alternatif yang fleksibel,” tuturnya. Pengawas seharusnya juga jeli terhadap kemungkinan kecurangan atau bocornya jawaban ujian nasional kepada peserta didik.
d.   Terkikisnya nilai kejujuran
 Kejujuran merupakan suatu nilai identitas yang selalu diperjuangkan dan dijaga dalam berjuang menuntut ilmu yang diwariskan dari generasi kegenerasi melalui pendidikan yang tercermin dalam setiap perilaku kehidupan berbangsa. Berdasarkan hal tersebut diatas, sekiranya UN akan tetap dilaksanakan, seyogyanya bukan dijadikan sebagai satu-satunya parameter kelulusan peserta didik, melainkan untuk:
         1.          Melakukan monitoring dan kontroling terhadap standarisasi mutu pendidikan, sehingga dapat terdiagnosa sekolah-sekolah yang dianggap masih berada dibawah mutu standarisasi pendidikan nasional, sehingga dapat dilakukan penelusuruan terhadap hal tersebut berkaitan dengan tenaga pengajar/guru, sarana-prasarana atau siswanya.
Kelulusan siswa ditentukan oleh guru/sekolah dengan memasukkan faktor prestasi selama 3 tahun + etika/moralitas+hasil ujian nasional.
2. UN sebaiknya dijadikan sebagai standarisasi untuk masuk ke jenjang pendidikan lebih lanjut, sebagaimana pernah dilaksanakan pada masa lalu melalui NEM (Nilai Ebtanas Murni) sehingga Nilai UASBN SD sebagai standar seleksi masuk ke jenjang SMP. Nilai UN SMP sebagai standar seleksi masuk ke jenjang SMA. Dan nilai UN SMA digunakan sebagai standar seleksi masuk PT. dengan tetap melakukan monitoring dan kontroling terhadap transparansi dan kredibilitas dan memiliki daya akuntabilitas yang tinggi
3. UN dapat dijadikan sebagai standarisasi untuk mendapatkan akses beasiswa bagi peserta didik yang memiliki prestasi, baik akademik maupun soft skill, sehingga diharapkan dapat menstimulan dan memotivasi bagi peserta didik dan lembaga pendidikan (sekolah).

2. Standar Kelulusan
Standar kriteria kelulusan dalam UAN sudah ditetapkan dalam POS kelulusan UN yaitu 4,25. Artinya  skor di atas 4,25 dinyatan lulus, sedangkan skor di bawah 4, 25 dinyatakan gagal atau tidak lulus. Sebelum tahun 2008, standar kelulusannya adalah 4,01. Batas kelulusan yang digunakan dalam UN adalah menggunakn sistem Penilaian Acuan Patokan (PAP), yakni batas lulus purposif. Sebab hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
1.      pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan;
2.      seleksi masuk jenjang berikutnya;
3.      penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan;
4.      akreditasi satuan pendidikan;
5.      pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan (Permen Diknas No.46 Th 2006).

3.Permasalahan Ujian Nasional saat ini
Permasalahan mengenai UN sebenarnya sudah terjadi saat kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun 2002/2003. UN pada awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Hanya, sementara EBTANAS berlaku pada semua level sekolah, UN hanya pada sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah menengah umum (SMU), madrasah aliyah (MA), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Untuk sekolah dasar (SD), sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah luar biasa setingkat SD (SLB), dan madrasah ibtidaiyah (MI), EBTANAS diganti dengan ujian akhir sekolah. Perdebatan muncul tidak hanya karena kebijakan UN yang digulirkan Departemen Pendidikan Nasional minim sosialisasi dan tertutup, tapi lebih pada hal yang bersifat fundamental secara yuridis dan pedagogis. Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN.
Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
Kedua, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah.
Ketiga, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.
Selain itu, pada penyelenggaraan UAN tahun ajaran 2003/2004, Koalisi Pendidikan menemukan berbagai penyimpangan, dari teknis hingga finansial.
 Pertama, teknik penyelenggaraan. Perlengkapan ujian tidak disediakan secara memadai. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Pada prakteknya, penyelenggara ujian tidak memiliki persiapan peralatan penunjang yang baik.
Kedua, pengawasan. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UAN untuk memastikan tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru dengan sistem silang–pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Namun, pada kenyataannya, terjadi kerja sama antar guru untuk memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek.
Ditinjau dari pemberdayaan guru, UN sama sekali tidak berguna. Otoritas guru untuk merencanakan, menyusun, dan memberikan penilaian kepada siswa-siswanya sebagai bagian integral dari tugasnya telah direbut. Seperti dimasa-masa lalu, guru tetap tidak dipercaya sebagai orang yang mampu melakukannya dengan baik. Akhirnya UN menjadi semacam pusat perhatian dalam proses pembelajaran. Seluruh proses pembelajaran dipusatkan kepada upaya untuk sukses dalam UN, sehingga hakikat proses belajar menjadi terabaikan. Karena guru cenderung kurang kreatif. Guru hanya menerima soal yang berasal dari pusat. Dengan kata lain, guru hanya berkutat pada soal-soal yang berhubungan dengan UN, tidak berfikir bagaimana mengembangkan pembelajaran yang menarik bagi siswa. Sebenarnya gurulah yang mengetahui kemampuan anak didiknya, sehingga apakah anak itu layak lulus atau tidak, yang paling tahu adalah guru. Tetapi guru tidak berdaya sebab fungsinya diambil alih oleh pemerintah. Sekolah dan para guru mengerahkan hampir semua sumberdayanya untuk mengajarkan bagaimana agar lulus UN. Akibatnya mata pelajaran yang tidak diujikan dinomorduakan. Sebenarnya hasil UN tidak menentukan kualitas sekolah, sekalipun masyarakat menilai dari hasil UN-nya. Sebab nilai UN bukan representatif kualitas siswa. Kualitas siswa sebenarnya itu dinilai oleh guru, dari apa yang telah dipelajarinya selama ia belajar di sekolahnya.
Untuk dapat meluluskan siswanya  ada indikasi terjadi rekayasa hasil UN di lapangan. Pembentukan tim sukses oleh guru dan kepala sekolah.
Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika, Bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa.
Ketiga, pembiayaan. Dalam dua kali UAN, penyelenggaraannya dibebankan pada pemerintah pusat dan daerah melalui APBN dan APBD. Artinya, peserta ujian dibebaskan dari biaya mengikuti UAN. Tapi, pada tingkatan sekolah, tidak jelas bagaimana sistem penghitungan dan distribusi dana ujian (baik APBN maupun APBD). Posisi sekolah hanya tinggal menerima alokasi yang sudah ditetapkan oleh penyelenggara di atasnya. Akibatnya, walau menerima dana untuk menyelenggarakan UAN, sekolah menganggap jumlahnya tidak mencukupi, sehingga kemudian membebankannya pada peserta ujian. Caranya dengan menumpangkan pada biaya SPP atau biaya acara perpisahan.

4. Dampak Ujian Nasional kepada para siswa saat ini

Ditinjau dari pemberdayaan siswa, UN kurang memberikan parameter yang maksimal, karena UN tidak representatif. Sebab kelulusan mereka masa hanya ditentukan empat mata pelajaran saja. Jika demikian ketentuan kelulusannya, mengapa mesti buang-buang waktu, biaya dan energi untuk mempelajari mata pelajaran lainnya. Maka hadirnya UN seakan menjadi suatu momok yang sangat menakutkan. Selain itu, orang tua para siswa juga menjadi ikut bingung, bagaimana anaknya dapat lulus. Akhirnya, daripada nanti anaknya tidak lulus, orang tua menambah dengan mengundang guru privat atau mengikuti bimbingan belajar. Bahkan banyak siswa dan orang tua yang sangat ketakutan, sehingga sebelum UN berlangsung, siswa/orang tua mendatangi pendeta/kiai dan orang pintar untuk minta bekal doa/mantra agar lulus, walaupun begitu ternyata banyak siswa juga yang tidak lulus. Mengapa mereka berpikiran seperti itu ? Hal itu menunjukkan bahwa mereka telah kehilangan kepercayaan diri dan memilih jalan pintas. Sebenarnya bagi para siswa UN tidak representatif karena terbukti banyak siswa yang lulus UN, tidak bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. UN tidak bisa dijadikan sebagai standar kelulusan. Karena kemampuan siswa tidak hanya dilihat dari 3-4 mata pelajaran yang di UN-kan dan dinilai secara kognitif saja. Sebab kemampuan siswa dapat dilihat juga dari mata pelajaran lain dan dari segi afektif dan psikomotor.
Standar kelulusan yang ditentukan dalam UN itu secara tidak langsung telah mematikan karakter siswa. Mesti diingat, hasil ujian itu bukan penentu kualitas pendidikan, tetapi hanya sebatas alat ukur saja.

5. Pemerintah belum menyamakan fasilitas yang mendukung pendidikan

Dalam pelaksanaan ujian secara nasional apabila sekedar melihat kualitas siswa secara makro maka hal ini sama sekali tidak adil. Dengan kondisi sekolah Indonesia yang sangat beragam dan lebarnya jurang pemisah (disparitas) mutu pendidikan antara kota dengan desa, sekolah di Papua dengan diluar Papua, sudah pasti akan di dapat hasil yang tidak sama.
Pemerintah seharusnya terlebih dahulu menyamakan fasilitas pendukung pendidikan dan persebaran guru-guru berkualitas ke setiap sekolah. Bila semua proses  yang diperlukan berjalan baik, hal itu akan mendorong pada kualitas yang ingin dicapai.























BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ujian Nasional merupakan suatu sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, dan semestinya ujian nasional harus dijadikan sarana untuk meningkatkan prestasi peserta didik, karena prestasi peserta didik yang baik mencerminkan mutu pendidikan.
 Untuk mencapai mutu pendidikan dan prestasi peserta didik yang baik harus ditempuh secara wajar. Yaitu dengan meningkatkan mutu proses pembelajaran dalam kelas dan mutu program di satuan pendidikan. Bukan melalui kecurangan- kecurangan yang dilakukan setiap sekolah. Ujian Nasional seharusnya tidak hanya menargetkan standar angka- angka yang realistis tetapi juga harus mampu menumbuh kembangkan dan mentransfer benih- benih dan nilai kejujuran pada generasi bangsa. Ditinjau dari efektivitas Ujian Nasional (UN) sebagai standar kelulusan siswa, sebenarnya baik, namun UN tidak efekif sebagai standar kelulusan satu-satunya. Untuk itu pemerintah perlu terlebih dahulu menyamakan fasilitas pendukung pendidikan di kota dan di desa, dan penyebaran guru-guru berkualitas ke seluruh sekolah, setelah itu baru UN dapat digunakan sebagai standar kelulusan siswa.
UN untuk sekarang ini kurang efektif sebagai standar kelulusan, karena tugas guru diambil alih oleh pemerintah, dan UN tidak representative sebagai standat kelulusan siswa karena hanya menguji empat mata pelajaran dan  hanya menilai aspek kognitif.
UN lebih tepat sebagai alat ukur bagi penentuan kualitas pendidikan secara nasional di mata internasional. UN sebagai standar kelulusan belumlah tepat.

B. SARAN
Demikianlah makalah yang kami susun, dan kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini kami banyak kekurangannya baik dari segi penulisan maupun isi, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini. Atas kritik dan sarannya kami mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini bermanfaat bagi sendiri dan bagi kita semua. Amiin.

 

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Abdullah Idi, M. Ed. Sosiologi Pendidikan, jakarta: Rajawali Pers, 2011 http://www.kemdiknas.go.id http://kampus.okezone.com http://badaruddinkamil.blogspot.com Hasbulla, Otonomi Daerah, Jakarta : Rajawali Pers, 2004



Tidak ada komentar:

Posting Komentar