MAKALAH KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN
MENILAI PELAKSANAAN UN (UJIAN NASIONAL) DI INDONESIA
DISUSUN OLEH :
ENDANG SUPRIHATIN
DOSEN :
SARWADI,M.PdI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MASJID
SYUHADA (STAIMS) YOGYAKARTA
2014
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR..........................................................................
|
i
|
DAFTAR ISI.......................................................................................
|
ii
|
BAB I. PENDAHULUAN..................................................................
|
1
|
A. Latar Belakang...............................................................................
|
1
|
B. Rumusan Masalah...........................................................................
|
3
|
BAB II. PEMBAHASAN..................................................................
|
4
|
A. Pengertian Ujian Nasional..............................................................
|
4
|
B. Dasar Hukum Pelaksanaan UN......................................................
|
5
|
C.Permasalahan
Ujian Nasional..........................................................
1.
Kontroversi Ujian Nasional.....................................................
2.
Standar
Kelulusan...................................................................
3.
Permasalahan Ujian Nasional saat
ini.....................................
4.
Dampak Ujian Nasional kepada siswa saat ini.......................
5.
Pemerintah belum menyamakan fasilitas yang
mendukung
pendidikan..............................................................................
|
6
6
10
11
14
15
|
BAB III
PENUTUP............................................................................
|
17
|
A.KESIMPULAN...............................................................................
|
17
|
B. SARAN...........................................................................................
|
18
|
DAFTAR
PUSTAKA.........................................................................
|
19
|
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah
Subhaanahu wa Ta’ala karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, makalah yang
berjudul “ Menilai Pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia”, dapat terealisasi
tepat waktu.
Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam. Kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan
makalah ini. Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih dan semoga makalah kami
dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Penyusun
Endang Suprihatin
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan salah satu
pondasi yang menentukan kemajuan suatu negara.
Jika suatu negara mampu memajukan pendidikannya, maka bisa dipastikan negara itu akan menjadi terpandang
di kancah internasional. Tolok ukur tinggi-rendahnya pendidikan di Indonesia cenderung
dikaitkan dengan pelaksanaan Ujian Nasional. Padahal, jika kita
tinjau lebih jauh, sebenarnya pelaksanaan Ujian Nasional tidak lagi mencerminkan
sikap kejujuran sebagaimana yang sering dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.
Kejujuran itu menjadi harga yang
sangat mahal bagi individu-individu yang ingin lepas dari pendidikannya.
Dalam dunia pendidikan sebutan UN atau Ujian
Nasional tidak asing ditelinga. Karena Ujian Nasional atau Ujian Akhir Nasional
kerap menjadi momok bagi siswa tingkat akhir di setiap jenjang pendidikan, baik
siswa kelas 6 SD, kelas 3 SMP dan sederajatnya maupun 3 SMA dan sederajatnya. Pelaksanaan
Ujian Nasional (UN) selalu menuai kontroversi. Namun pemerintah melalui Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) M. Nuh menegaskan, UN tetap harus
dilaksanakan sebagai sebuah proses evaluasi Pendidikan Nasional. Pelaksanaan
ujian nasional walaupun selalu mengalami revisi baik dari segi system evaluasi,
pelaksanaan, maupun tata cara penentuan
kelulusan dari tahun ke tahun tetap saja menimbulkan banyak konflik dalam pelaksanaannya.
Ujian Nasional seharusnya tidak menjadi satu-satunya tolak ukur kelulusan
siswa. Pemerintah selalu berusaha bagaimana cara agar mutu pendidikan di
Indonesia menjadi berkualitas namun, ada saja permasalahan-permasalahan tak
terduga muncul dalam pelaksanaan ujian nasional tersebut.
Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu alat evaluasi yang
dikeluarkan pemerintah dan merupakan
bentuk lain daripada EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) yang sebelumnya telah dihapus. Ujian Nasional dijadikan
sebagai alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat
pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Tugas para guru di sekolah selain sebagai pendidik juga mengemban suatu
kewajiban untuk memberi
penilaian terhadap prestasi belajar siswa. Dalam penilaian prestasi
belajar siswa guru telah melaksanakan ujian berupa tes formatif dan tes sumatif
yang nantinya akan dihitung untuk menentukan nilai akhir guna menentukan
kelulusan siswa terhadap mata pelajaran yang diikutinya. Dalam jenjang
pendidikan SLTP dan SLTA ada banyak mata pelajaran yang dipelajari. Sedangkan
UN hanya tiga atau empat mata pelajaran yang sesuai dengan POS UN yang akan
diujikan dan sekaligus sebagai syarat kelulusan siswa. Pada dasarnya kita
setuju akan usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan
kualitas anak didik dan sekolah. Sementara nilai ujian nasional (UN) dijadikan
sebagai patokan kualitas siswa atau sekolah. Sangat ironis sekali jika seorang
siswa dinyatakan lulus atau tidak hanya berdasarkan beberapa mata pelajaran
saja seperti :
Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu
Pengetahuan Alam, Bahasa Inggris, Sejarah Nasional dan Geografi Nasional.
Bagaimana dengan mata pelajaran lainnya yang tidak diikutkan dalam ujian
nasional (UN) ? Untuk
apa siswa belajar itu selama tiga tahun? Kenapa nilai mata pelajaran lain tidak
turut diperhitungkan sebagai ukuran kelulusan siswa ? Apakah mata pelajaran yang diujikan
dalam Ujian Nasional (UN) merupakan standar untuk
menentukan kualitas pendidikan suatu negara ataukah Ujian Nasional (UN) hanyalah keputusan politik? Apakah proposional UN menjadi standar kelulusan siswa?
Efektifkah UN sebagai sebuah standar kelulusan siswa? Mungkin
ada baiknya pemerintah melakukan pembenahan sebelum melaksanakan UN antara lain
penyamaan fasilitas penunjang pendidikan di kota dan di desa dan perlunya
persebaran guru-guru berkualitas ke seluruh sekolah, selanjutnya standar
penilaian kelulusan UN harus mencakup aspek padagogis (kognitif, psikomotorik
dan afektif) secara menyeluruh.
B.RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah pengertian Ujian Nasional dan apa landasan dasar pelaksaan Ujian Nasional ?
2.
Apakah permasalahan dalam ujian Nasional?
3.
Bagaimana
gambaran penilaian pelaksanaan
UN selama ini?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Ujian Nasional Ujian Nasional biasa disingkat
UN / UNAS adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan
mutu tingkat pendidikan antar
daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara
nasional dilakukan evaluasi sebagai
bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh,
transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan
proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan.
Ujian Nasional menurut Keputusan Menteri
Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Nasional Tahun 2003/2004
disebutkan bahwa tujuan Ujian Nasional adalah untuk mengukur pencapaian hasil
belajar peserta didik melalui pemberian tes kepada siswa sekolah lanjutan pertama
dan sekolah lanjutan atas. Ujian Nasioanal merupakan salah satu bentuk evaluasi
belajar pada akhir tahun pelajaran yang diterapkan pada beberapa mata pelajaran
yang dianggap penting. Ujian
Nasional berfungsi sebagai alat
pengendali mutu pendidikan, pendorong peningkatan mutu pendidikan secara nasional, bahan dalam menentukan
kelulusan peserta didik dan sebagai bahan pertimbangan dalam seleksi penerimaan pada jenjang yang
lebih tinggi.
Ujian Nasional (UN) merupakan salah
satu alat evaluasi yang dikeluarkan pemerintah dan merupakan bentuk lain daripada
EBTANAS (Evaluasi
Belajar Tahap Akhir Nasional) yang sebelumnya telah dihapus. Ujian Nasional dijadikan
sebagai alat ukur yang sesuai untuk mengukur tingkat
pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
B. DASAR HUKUM PELAKSANAAN UN
Dasar hukum pelaksanaan UN dapat
dirujuk mulai dari Undang-Undang No. 20Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, hingga ke Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan:
1. Undang-Undang
No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Pasal 58 ayat 2.
2. Peraturan pemerintahNo. 19 tahun
2005 tentang standar nasional pendidikan. Pasal 63 ayat 1, Pasal 66 ayat 1,
Pasal 66 ayat 2, Pasal 66 ayat , Pasal 68, Pasal 69 ayat 1, dan Pasal 69 ayat 3
3. Peraturan Menteri Pendidikan dan kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 59 tahun 2011 tentang kriteria kelulusan peserta didik dari
satuan pendidikan dan penyelenggaraan ujian sekolah/madrasah dan ujian
nasional.
C. PERMASALAHAN UJIAN NASIONAL
1. Kontroversi Ujian Nasional
Pelaksanaan
Ujian Nasional selalu menuai kontroversi karena Ujian Nasional selalu mengalami
revisi baik dari segi system evaluasi, pelaksanaan, maupun tata cara penentuan
kelulusannya. Dan dari tahun ke tahun tetap saja menimbulkan banyak konflik
dalam pelaksanaannya. Ujian Nasional seharusnya tidak menjadi satu-satunya
tolak ukur kelulusan siswa. Bagi siswa, ketidak-lulusan adalah cap gagal
terbesar, sedangkan kelulusan yang baik adalah kebanggaan bagi dirinya. Bagi
sekolah, persentase kelulusan siswa artinya peringkat sekolah yang lebih baik,
apresiasi bagi kepala sekolah dan jajarannya, serta implikasi yang menyatakan
bahwa sekolah ini merupakan sekolah yang berkualitas. Begitu pula sebaliknya.
Bagi Pemerintah Pusat, Kepala
Daerah, Diknas, Kepala Sekolah, Guru, OrangTua, dan Siswa, UN merupakan :
1.
Tolak ukur
tingkat efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran, sekaligus mendapatkan
gambaran kasar mutu penyelenggaraan pendidikan skala nasional sehingga
pengambilan kebijakan untuk tahun berikutnya tepat sasaran
2.
Melatih siswa mandiri, disiplin, jujur dan percaya diri
dalam mengambil keputusan yang tepat
3.
Kebanggaan, keberhasilan dan prestasi kerja suatu sekolah
atau suatu daerah, jika peserta didiknya dinyatakan lulus 100%
4.
Kebanggaan bagi sekolah jika nilai rata – rata UN tinggi
5.
Kebanggaan bagi siswa jika nilai rata – rata UN tinggi
6.
Penambah nilai
dan tidak menghambat siswa untuk lulus 100%.
Dari ke-enam tujuan inilah yang memicu
timbulnya pro dan kontra serta kecurangan sebelum pelaksanaan UN atau pada saat
UN berlangsung.
Faktor- faktor
yang mempengaruhi terjadinya permasalahan Ujian Nasional diIndonesia, yaitu :
a. Standar nilai kelulusan yang tinggi
Standar kelulusan UN tidak berjalan simetris dengan kualitas
pendidikan rata-rata nasional sesungguhnya yang diperoleh dari proses
pembelajaran. Walaupun nilai kelulusan
sudah digabungkan dengan nilai sekolah tapi masih saja menjadi momok yang menakutkan bagi siswa.
b.Persamaan-persamaan soal-soal ujian nasional
yang tidak di dukung oleh hardware dan software yang sama antara sekolah di
pedalaman dan di perkotaan. Demikian juga kesulitan yang dialami dalam
melaksanakan desentralisasi pendidikan secara nasional.
Contohnya dalam pelaksanaan ujian
nasioal, dimana soal-soal ujian disamaratakan baik sekolah yang berada di kota
dan di desa. Dan semestinya pihak pemerintah jeli melihat perbedaan antara
pendidikan diperkotaan dan pedesaan karena sarana dan prasarana penunjang
pendidikan yang baik hanya terdapat di sekolah perkotaan sedangkan sarana dan
prasarana yang kurang memadai berada di desa-desa. Demikian juga seharusnya pemerintah tidak
menetapkan UN sebagai satu-satunya standar kelulusan. Maka, agar UN
bisa menjadi syarat kelulusan, seyogyanya semuanya harus sama rata sama rasa
dulu. Semua sekolah harus dibangun sama, semua
guru harus memiliki kompetensi yang sama, dan siswa diajari materi yang sama karena sebagaimana diketahui bahwa kondisi masyarakat Indonesia sangat heterogen dengan
berbagai macam keragamannya seperti budaya, adat,suku, sumber daya alam dan
bahkan sumber daya manusianya. Masing-masing daerah mempunyai kesiapan dan kemampuan
yang berbeda dalam pelaksanaan desentralisasi
pendidikan. Permasalahan relevansi pendidikan selama ini diarahkan pada
kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah
untuk menata system pendidikannnya yang sesuai dengan kondisi objektif didaerahnya. Situasi ini memacu
terciptanya pengangguran lulusan
akibat tidak relevannya kurikulum dengan kondisi daerah. “Ini tentu akan menimbulkan “momok‟ bagi pelajar. Bagaimana
pelajar yang dipelosok desa mampu menjawab pertanyaan UN bila standarisasi dan fasilitas
pendidikannya tidak memadai? Sementara soal UN distandarkan dari kualitas pendidikan
pusat.
c.
Kinerja pengawas ujian nasional yang belum optimal
Kinerja pengawas ujian nasional dikatakan belum optimal
dikarenakan terdapatnya pengawas yang ceroboh
membagikan lembar soal ujian nasional yang tidak sesuai dengan kode kepada peserta ujian nasional.
Berdasarkan hasil evaluasi sementara, Ketua
Badan Standar Nasional pendidikan (BSNP) Aman Wirakartakusumah menyebutkan,
terdapat beberapa hal utama yang menjadi bahan evaluasi untuk pelaksanaan Ujian
Nasional tahun depan.
Aman menyebutkan, salah satu fokus utama evaluasi terkait
kekurangan serta soal yang
tertukar. "Percetakan sudah memenuhi standar security printing, namun
dalam pengepakan soal masih terjadi
kesalahan. Sehingga di beberapa daerah terjadi kasus tertukarnya soal. Namun, kekurangan
soal bisa diatasi dengan memfotokopinya dengan pengawalan yang ketat," kata Aman di Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan(Kemendikbud) Senayan, Jakarta Selatan, Kamis
(19/4/2012).
Selain soal, Lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN) juga
menjadi sorotan Aman. Dia menyatakan, terdapat LJUN dengan kualitas kertas
tidak sesuai sehingga tidak dapat terbaca oleh alat pemindai. "Ada LJUN yang tidak bisa
dibaca alat pemindai. Namun kami
bantu agar para siswa tidak merasa dirugikan. Misalnya dengan menyalin jawaban yang sudah mereka isi ke LJUN yang
sudah pasti terbaca pemindai (scanneer)‟ ujarnya
menjelaskan.
Kemudian, tambahnya, mengenai penggunaan kaset untuk materi
listening UN Bahasa
Inggris menurut
Aman, penggunaan kaset dianggap sudah konvensional. “ Di beberapa tempat sangat sulit untuk
menemukan alat pemutar kaset, sehingga harus dicari alternatif yang fleksibel,”
tuturnya. Pengawas seharusnya juga jeli
terhadap kemungkinan kecurangan atau bocornya jawaban
ujian nasional kepada peserta didik.
d.
Terkikisnya
nilai kejujuran
Kejujuran merupakan suatu nilai identitas yang
selalu diperjuangkan dan dijaga dalam berjuang menuntut ilmu yang diwariskan
dari generasi kegenerasi melalui pendidikan yang tercermin dalam setiap
perilaku kehidupan berbangsa. Berdasarkan hal tersebut diatas, sekiranya UN
akan tetap dilaksanakan, seyogyanya bukan dijadikan sebagai satu-satunya
parameter kelulusan peserta didik, melainkan untuk:
1.
Melakukan monitoring dan kontroling terhadap standarisasi
mutu pendidikan, sehingga
dapat terdiagnosa sekolah-sekolah yang dianggap masih berada dibawah mutu standarisasi pendidikan nasional,
sehingga dapat
dilakukan penelusuruan terhadap hal tersebut berkaitan dengan tenaga pengajar/guru, sarana-prasarana atau
siswanya.
Kelulusan siswa ditentukan oleh
guru/sekolah dengan memasukkan faktor prestasi selama 3 tahun + etika/moralitas+hasil ujian nasional.
2. UN sebaiknya
dijadikan sebagai standarisasi untuk masuk ke jenjang pendidikan lebih lanjut,
sebagaimana pernah dilaksanakan pada masa lalu melalui NEM (Nilai Ebtanas
Murni) sehingga Nilai UASBN SD sebagai standar seleksi masuk ke jenjang SMP. Nilai UN SMP sebagai standar seleksi
masuk ke jenjang SMA. Dan nilai UN SMA digunakan sebagai standar seleksi masuk PT. dengan tetap
melakukan monitoring dan kontroling
terhadap transparansi
dan kredibilitas dan memiliki daya akuntabilitas
yang tinggi
3. UN dapat
dijadikan sebagai standarisasi untuk mendapatkan akses beasiswa bagi peserta
didik yang memiliki prestasi, baik akademik maupun soft skill, sehingga diharapkan
dapat menstimulan dan memotivasi bagi peserta didik dan lembaga pendidikan (sekolah).
2. Standar Kelulusan
Standar kriteria kelulusan dalam UAN sudah ditetapkan dalam
POS kelulusan UN yaitu 4,25. Artinya skor di atas 4,25 dinyatan lulus,
sedangkan skor di bawah 4, 25 dinyatakan gagal atau tidak lulus. Sebelum tahun 2008, standar kelulusannya
adalah 4,01. Batas
kelulusan yang digunakan dalam UN adalah menggunakn sistem Penilaian Acuan Patokan (PAP), yakni batas lulus
purposif. Sebab hasil UN digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
1. pemetaan mutu satuan dan/atau
program pendidikan;
2. seleksi masuk jenjang berikutnya;
3. penentuan kelulusan peserta didik
dari suatu satuan pendidikan;
4. akreditasi satuan pendidikan;
5. pembinaan dan pemberian bantuan
kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan (Permen Diknas
No.46 Th 2006).
3.Permasalahan Ujian Nasional saat ini
Permasalahan mengenai UN sebenarnya sudah terjadi
saat kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun 2002/2003. UN pada awalnya
bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan Evaluasi Belajar
Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Hanya, sementara EBTANAS berlaku pada semua
level sekolah, UN hanya pada sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), madrasah
tsanawiyah (MTs), sekolah menengah umum (SMU), madrasah aliyah (MA), dan
sekolah menengah kejuruan (SMK). Untuk sekolah dasar (SD), sekolah dasar luar
biasa (SDLB), sekolah luar biasa setingkat SD (SLB), dan madrasah ibtidaiyah
(MI), EBTANAS
diganti dengan ujian akhir sekolah. Perdebatan muncul tidak hanya karena
kebijakan UN yang digulirkan Departemen Pendidikan Nasional minim sosialisasi
dan tertutup, tapi lebih pada hal yang bersifat fundamental secara yuridis dan
pedagogis. Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat
penyimpangan dengan digulirkannya UN.
Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan
peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan
(psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu
aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan
sebagai penentu kelulusan.
Kedua, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang
diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada
tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun
2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang
tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan
di sekolah.
Ketiga, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN
memboroskan biaya. Selain
itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana
UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas
pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan
(korupsi) dana UN.
Selain itu, pada penyelenggaraan UAN tahun ajaran 2003/2004,
Koalisi Pendidikan menemukan berbagai penyimpangan, dari teknis hingga
finansial.
Pertama, teknik penyelenggaraan.
Perlengkapan ujian tidak disediakan secara memadai. Misalnya, dalam mata
pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening.
Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar
(tape dan earphone). Pada prakteknya, penyelenggara ujian tidak memiliki
persiapan peralatan penunjang yang baik.
Kedua,
pengawasan. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting
dalam UAN untuk memastikan tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh
peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru dengan sistem
silang–pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi dari sekolah
lain. Namun, pada
kenyataannya, terjadi kerja sama antar guru untuk memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek.
Ditinjau dari pemberdayaan guru, UN sama sekali tidak
berguna. Otoritas guru untuk merencanakan, menyusun, dan memberikan penilaian
kepada siswa-siswanya sebagai bagian integral dari tugasnya telah direbut.
Seperti dimasa-masa lalu, guru tetap tidak dipercaya sebagai orang yang mampu
melakukannya dengan baik. Akhirnya UN menjadi semacam pusat perhatian dalam
proses pembelajaran. Seluruh proses pembelajaran dipusatkan kepada upaya untuk
sukses dalam UN, sehingga hakikat proses belajar menjadi terabaikan. Karena
guru cenderung kurang kreatif. Guru hanya menerima soal yang berasal dari
pusat. Dengan kata lain, guru hanya berkutat pada soal-soal yang berhubungan
dengan UN, tidak berfikir bagaimana mengembangkan pembelajaran yang menarik
bagi siswa. Sebenarnya gurulah yang mengetahui kemampuan anak didiknya, sehingga apakah
anak itu layak lulus atau tidak, yang paling tahu adalah guru. Tetapi guru
tidak berdaya sebab fungsinya diambil alih oleh pemerintah. Sekolah dan para
guru mengerahkan hampir semua sumberdayanya untuk mengajarkan bagaimana agar
lulus UN. Akibatnya mata pelajaran yang tidak diujikan dinomorduakan.
Sebenarnya hasil UN tidak menentukan kualitas sekolah, sekalipun masyarakat
menilai dari hasil UN-nya. Sebab nilai UN bukan representatif kualitas siswa.
Kualitas siswa sebenarnya itu dinilai oleh guru, dari apa yang telah
dipelajarinya selama ia belajar di sekolahnya.
Untuk dapat meluluskan siswanya ada indikasi terjadi
rekayasa hasil UN di lapangan. Pembentukan tim sukses oleh guru dan kepala
sekolah.
Kasus di beberapa sekolah, guru,
terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika, Bahasa
Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada
siswa. Selain itu, pada tingkat
penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk
menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim
untuk membetulkan jawaban-jawaban siswa.
Ketiga, pembiayaan. Dalam dua kali UAN, penyelenggaraannya
dibebankan pada pemerintah pusat dan daerah melalui APBN dan APBD. Artinya,
peserta ujian dibebaskan dari biaya mengikuti UAN. Tapi, pada tingkatan
sekolah, tidak jelas bagaimana sistem penghitungan dan distribusi dana ujian
(baik APBN maupun APBD). Posisi sekolah hanya tinggal menerima alokasi yang
sudah ditetapkan oleh penyelenggara di atasnya. Akibatnya, walau menerima dana
untuk menyelenggarakan UAN, sekolah menganggap jumlahnya tidak mencukupi, sehingga
kemudian membebankannya pada peserta ujian. Caranya dengan menumpangkan pada
biaya SPP atau biaya acara perpisahan.
4. Dampak
Ujian Nasional kepada para siswa saat ini
Ditinjau dari pemberdayaan siswa, UN kurang
memberikan parameter yang maksimal, karena
UN tidak representatif. Sebab kelulusan mereka masa hanya ditentukan empat mata
pelajaran saja. Jika demikian
ketentuan kelulusannya, mengapa mesti buang-buang
waktu, biaya dan energi untuk mempelajari mata pelajaran lainnya. Maka hadirnya UN seakan menjadi suatu momok yang sangat
menakutkan. Selain itu, orang tua para siswa juga menjadi ikut bingung,
bagaimana anaknya dapat lulus. Akhirnya, daripada nanti anaknya tidak lulus, orang tua menambah
dengan mengundang guru privat atau mengikuti bimbingan belajar. Bahkan banyak siswa dan orang tua yang sangat ketakutan, sehingga sebelum UN berlangsung, siswa/orang
tua mendatangi pendeta/kiai dan orang pintar untuk minta
bekal doa/mantra agar lulus, walaupun begitu ternyata banyak siswa juga yang tidak lulus. Mengapa mereka
berpikiran seperti itu ? Hal itu
menunjukkan bahwa mereka telah kehilangan kepercayaan diri dan memilih jalan
pintas. Sebenarnya bagi para siswa UN tidak representatif karena terbukti
banyak siswa yang lulus UN, tidak bisa mengaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. UN tidak bisa dijadikan sebagai standar kelulusan. Karena
kemampuan siswa tidak hanya dilihat dari 3-4 mata pelajaran yang di UN-kan dan
dinilai secara kognitif saja. Sebab kemampuan siswa dapat dilihat juga dari
mata pelajaran lain dan dari segi afektif dan psikomotor.
Standar kelulusan yang ditentukan dalam UN itu secara tidak
langsung telah mematikan karakter siswa. Mesti diingat, hasil ujian itu bukan
penentu kualitas pendidikan, tetapi hanya sebatas alat ukur saja.
5. Pemerintah
belum menyamakan fasilitas yang mendukung pendidikan
Dalam pelaksanaan ujian secara nasional apabila sekedar melihat kualitas siswa secara makro maka hal ini sama sekali tidak adil. Dengan
kondisi sekolah Indonesia yang sangat beragam dan lebarnya jurang pemisah
(disparitas) mutu pendidikan antara kota dengan desa, sekolah di Papua dengan
diluar Papua, sudah pasti akan di dapat hasil yang tidak sama.
Pemerintah seharusnya terlebih dahulu menyamakan fasilitas
pendukung pendidikan dan persebaran guru-guru berkualitas ke setiap sekolah.
Bila semua proses yang diperlukan berjalan baik, hal itu akan mendorong
pada kualitas yang ingin dicapai.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ujian Nasional merupakan suatu sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan
persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian
Pendidikan, dan semestinya ujian nasional harus dijadikan sarana untuk meningkatkan prestasi
peserta didik, karena
prestasi peserta didik yang baik
mencerminkan mutu pendidikan.
Untuk mencapai mutu
pendidikan dan prestasi peserta
didik yang baik harus ditempuh secara wajar. Yaitu dengan meningkatkan mutu proses pembelajaran dalam kelas dan
mutu program di satuan pendidikan. Bukan melalui kecurangan- kecurangan yang dilakukan setiap sekolah. Ujian
Nasional seharusnya tidak hanya
menargetkan standar angka- angka yang realistis tetapi juga harus mampu menumbuh kembangkan dan mentransfer
benih- benih dan nilai kejujuran pada generasi bangsa. Ditinjau
dari efektivitas Ujian Nasional (UN) sebagai standar kelulusan siswa,
sebenarnya baik, namun UN tidak efekif sebagai standar kelulusan satu-satunya. Untuk itu pemerintah perlu
terlebih dahulu menyamakan fasilitas pendukung pendidikan di kota dan di desa,
dan penyebaran guru-guru berkualitas ke seluruh sekolah, setelah itu baru UN
dapat digunakan sebagai standar kelulusan siswa.
UN untuk sekarang ini kurang efektif sebagai standar kelulusan, karena tugas guru
diambil alih oleh pemerintah, dan UN tidak representative sebagai standat
kelulusan siswa karena hanya menguji empat mata pelajaran dan hanya
menilai aspek kognitif.
UN lebih tepat sebagai alat ukur bagi penentuan kualitas
pendidikan secara nasional di mata internasional. UN sebagai standar kelulusan
belumlah tepat.
B. SARAN
Demikianlah
makalah yang kami susun, dan kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
kami banyak kekurangannya baik dari segi penulisan maupun isi, oleh karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya makalah ini.
Atas kritik dan sarannya kami
mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini bermanfaat bagi sendiri dan bagi kita semua. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Abdullah Idi, M. Ed. Sosiologi Pendidikan,
jakarta: Rajawali Pers, 2011 http://www.kemdiknas.go.id
http://kampus.okezone.com http://badaruddinkamil.blogspot.com Hasbulla, Otonomi
Daerah, Jakarta : Rajawali Pers, 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar