Selasa, 23 September 2014

MAKALAH PESANTREN SEBAGAI CHANGE OF AGENT


MAKALAH
PESANTREN SEBAGAI AGEN PERUBAHAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
KAPITA SELEKTA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



 





Disusun oleh :
ENDANG SUPRIHATIN

Dosen :
SARWADI, M.Pd.I


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MASJID SYUHADA (STAIMS)
 YOGYAKARTA
 2014 
 
BAB I
PENDAHULUAN

1.      LATAR BELAKANG MASALAH

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia tidak saja memiliki peran strategis dalam aspek pencerahan keilmuan. Namun ia juga merupakan lembaga pemberdayaan layaknya lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang ada di Indonesia saat ini. Itu artinya pondok pesantren merupakan LSM tertua di Indonesia. Dengan demikian, multi peran pesantren tersebut memberikan harapan pesantren sebagai agen perubahan (agent of change), baik dalam aspek keilmuan, sosial, budaya, dan pemberdayaan ekonomi. Tidak berlebihan kiranya obsesi tersebut karena pesantren memiliki komponen-komponen bagi ekspektasi terhadap terjadinya perubahan tersebut. Berbagai komponen tersebut adalah diantaranya posisi kiai yang memiliki karisma, budaya keilmuan yang selalu menuntut nilai-nilai idealisme, dan kemampuan memobilisasi massa untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat terhadap suatu program. Sayangnya di beberapa pondok pesantren belakangan komponen-komponen tersebut telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu bagi kepentingan hegemoni politik nasional. Posisi yang sangat strategis dari pesantren tersebut akan menjadi optimal peran sertanya manakala mampu menyelaraskan dinamika pembangunan bangsa apabila pesantren memiliki standarisasi mutu pendidikan sekaligus membekali para santri ketika kembali ke masyarakat melalui program life skill. Sudah barang tentu pendidikan pondok pesantren yang mengajarkan Islam secara komprehensif menjadikan santri mampu mensinergikan realita dinamika masyarakat secara bijaksana. Mustahil dengan materi dan pola pengajaran pondok pesantren menjadikan alumninya bersikap ekslusif. Sejarah mencatat bahwa pondok pesantren memiliki andil yang sangat besar bagi terwujudnya harmonisasi kehidupan. Metode dakwah para Wali yang sangat bijak menjadi mindset pola dakwah dan pemberdayaan masyarakat di Nusantara ini. Hal ini disebabkan materi pengajaran pondok pesantren tidak saja mengajarkan secara tekstual alquran dan hadis, namun juga dibekali dengan ilmu-ilmu pendukung untuk memahami Islam secara komprehensif. Sebut saja misalnya tarikh-tasyrik (sejarah dan hikmah diturunkannya sebuah syari’at), nahwu-balaghah (bahasa dan sastra Arab), asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya alquran), asbabul wurud (latar belakang timbulnya hadis), ushul fiqh (metode pengambilan hukum), mantiq (logika) dan sederet khazanah ilmu yang mendukung integrasi intelektualitas muslim. Belum lagi adanya interaksi sosial yang dibangun antar santri selama bertahun-tahun mondok di pesantren memberi pengaruh bagi tumbuhnya kecerdasan emosional santri. Tanpa melalui teori-teori psikologi modern, santri telah secara tidak langsung diajarkan nilai-nilai empati, tanggung jawab, kejujuran, kesabaran, dan konsistensi, yang itu semua merupakan pilar-pilar kecerdasan emosi seseorang.

2.      RUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan latar belakang di atas,maka yang menjadi perumusan masalah di dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan pesantren dan jenis-jenisnya ?
2.Bagaimana sejarah perkembangan pesantren dan modernisasinya ?
3.Bagaimana peran pesantren sebagai agen perubahan ?
4.Bagaimana peran pesantren dalam pemberdayaan umat ?
5.Bagaimana peran pesantren dalam pemberdayaan masyarakat ?

3.      TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1.Pesantren dan sejarah perkembangannya
2.Jenis-jenis pesantren
3.Perkembangan pesantren saat ini
4.Peran pesantren sebagai agen perubahan
5.Peran pesantren dalam pemberdayaan umat dan masyarakat.























BAB II
PEMBAHASAN

A.    PONDOK PESANTREN
A. PENGERTIAN PONDOK PESANTREN

Kata pondok berasal dari funduq (bahasa Arab) yang artinya ruang tidur, asrama atau wisma sederhana, karena pondok memang sebagai tempat penampungan sederhana dari para pelajar/santri yang jauh dari tempat asalnya (Zamahsyari Dhofir, 1982: 18). Menurut Manfred dalam Ziemek (1986) kata pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran -an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut Geertz pengertian pesantren diturunkan dari bahasa India Shastri yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis, maksudnya pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis. Dia menganggap bahwa pesantren dimodifikasi dari para Hindu (Wahjoetomo, 1997: 70).
Dalam istilah lain dikatakan pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فُنْدُوْقٌ) yang berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.
Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Dalam kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun Pondok pesantren secara definitif tidak dapat diberikan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren.

B.  JENIS- JENIS PONDOK PESANTREN

Jenis-jenis Pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat antara lain adalah :
1.      Pondok pesantren salaf (tradisional), Pesantren salaf menurut Zamakhsyari Dhofier, adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (salaf) sebagai inti pendidikan. Sedangkan sistem madrasah ditetapkan hanya untuk memudahkan sistem sorogan, yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Sistem pengajaran pesantren salaf memang lebih sering menerapkan model sorogan dan wetonan. Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang berarti waktu. Disebut demikian karena pengajian model ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang biasanya dilaksanakan setelah mengerjakan shalat fardhu.
2.      Pesantren khalaf adalah lembaga pesantren yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum seperti; MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA/SMK dan bahkan PT dalam lingkungannya (Depag, 2003: 87). Dengan demikian pesantren modern merupakan pendidikan pesantren yang diperbaharui atau dimodernkan pada segi-segi tertentu untuk disesuaikan dengan sistem sekolah.
Sedangkan menurut Mas’ud dkk, ada beberapa tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
1.      Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang, seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur, beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang, Jawa tengah dan lain-lain.
2.      Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajarannya, namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
3.      Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adalah contohnya.

Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang terbanyak jumlahnya.


C.  SEJARAH PESANTREN

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia.Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam.Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa.
Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana.Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai.Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan .Para santri selanjutnya mempopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal kemana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Walisongo.
Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam.Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjejelan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran social.Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian masyarakat (society-based curriculum.Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya.
Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi.Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah.Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU.Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.

D. PERANAN PESANTREN

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudain dikenal dengan nama Pondok Pesantren.Bahkan dalam catatan Howard M. federspiel- salaseorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh dan Palembang (Sumatra), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah meng hasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.
Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting di Indonesia dan negara-negara lainnya yang penduduknya banyak memeluk agama Islam. Alumni pondok pesantren umumnya telah bertebaran di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa alumnus pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal antara lain:
Dr. Hidayat Nurwahid (mantan Ketua MPR RI)
Dr. Din Syamsuddin (Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
KH. Abdurrahman Wahid, salah seorang kyai yang terkenal, adalah mantan Presiden Republik Indonesia. Ia adalah putra KH. Wahid Hasyim, seorang kyai yang juga tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dan pernah dua kali menjabat Menteri Agama di Indonesia. Sementara kakeknya adalah KH. Hasyim Asy'ari, seorang pahlawan nasional Indonesia dan pendiri Nahdlatul Ulama, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Sekarang sendiri Pondok Pesantren atau yang lebih akrab telah menjadikan dirinya masyarakat sebagai tempat pencetak insan - insan muda cendekia baik ,ilmu agama,di akhlaq,maupun ilmu sosial. Di tengah masyarakat sendiri warga pondok pesantren juga menjadi panutan masyarakat,baik dalam ucapan,maupun perilaku.


E.  MODERNISASI PESANTREN
Sebab-sebab terjadinya moderenisasi Pesantren daiantaranya:
1.   Pertama, munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” sebagai isu sentral yang mulai di tadaruskan sejak tahun 1900. Maka sejak saat tiu perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemukan sebagai wancana public.
2.   Kedua: kian mengemukannya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda.
3.   Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim untuk memperbaharui organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi.
4.   Keempat, dorongan kaum Muslim untuk memperbaharui sistem pendidikan Islam. Salasatu dan keempat itulah, menurut Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam untuk melakukan perubahan Islam di Indonesia.

B.     PERAN PESANTREN MASA KINI
A.    AKAR SEJARAH PESANTREN

Realitas bangsa Indonesia menunjukkan pada 2 (dua) hal yang signifikan. Pertama, penyebaran penduduk Indonesia terkonsentrasi di daerah pedesaan. Kedua, mayoritas penduduk Indonesia terdiri dari komunitas muslim. Terkait dengan realitas diatas, maka berbicara tentang pemberdayaan masyarakat dalam konteks Indonesia, keberadaan dan peran pesantren tidak dapat dikesampingkan.
Lembaga keagamaan yang memiliki karakteristik khas Indonesia ini secara substansial merupakan institusi keagamaan yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Pesantren tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat, dengan posisinya sebagai institusi yang berperan melakukan transformasi sosial bagi masyarakat yang ada di lingkungannya.
Dalam konteks kekinian, ijtihad pesantren untuk mengembangan ilmu keislaman “tradisional” dengan bingkai ahlu sunnah wal jamaah dan moralitas luhur, cenderung dicurigai dan sering diasosiasikan dengan predikat yang dapat menimbulkan kesalahpahaman, seperti fundamentalisme, ekstrimisme, radikalisme dan bahkan terorisme.
Dalam kaitan ini maka sungguh merupakan tantangan dan panggilan bagi pesantren untuk meluruskan pembiasan terhadap eksistensi pesantren dari stigmatisasi negatif diatas. Pesantren harus kembali menekankan karakter dasarnya sebagai lembaga keagamaan dengan karakteristik yang pluralis, berwatak kerakyatan dan kebangsaan. Pada tataran inilah sejatinya terletak peran dan sumbangsih konkret dunia pesantren dalam memberdayakan masyarakat dan membangun solidaritas kebangsaan.
Dalam konteks ini, pesantren yang memiliki pengaruh kuat di kalangan masyarakat, khususnya di daerah pedesan, dapat mengaktualisasikan kembali peran sejarahnya dalam proses nation building, melalui upaya membangkitkan kembali semangat republik untuk membentengi karakter “keindonesiaan” yang menjadi bagian integral dari falsafah bangsa.
Sejak  awal  pesantren  telah  menunjukkan  perannya  secara nyata dalam proses pembentukan dan pembangunan bangsa (nation-building), baik ketika masa penjajahan kolonial, menjelang kemerdekaan dan paska kemerdekaan sampai sekarang.
Pada masa penjajahan, kaum santri (baca : pesantren) berjuang dengan gigih dan tanpa pamrih untuk membebaskan rakyat dan negeri ini dari penjajahan bangsa kolonial. Kepemimpinan tradisional dalam masyarakat pedesaan, khususnya kaum santri, berada di tangan para kyai yang secara tradisi mempunyai kedudukan sebagai pelindung masyarakat dan penyebar agama. Para kyai inilah yang memimpin para santri dan masyarakat pedesaan memberontak terhadap kekuasaan kolonial pada abad XIX.
Pada saat menjelang kemerdekaan, ketika akan ditetapkan dasar negara, elite pesantren dengan legowo dan berjiwa besar, menerima usulan masyarakat Indonesia dari Indonesia  Timur, yang notabene non-muslim, agar tidak mencantumkan “Piagam Jakarta” sebagai dasar negara. Fakta sejarah ini menunjukkan bagaimana kalangan santri pada waktu itu telah memiliki wawasan kebangsaan yang patut diteladani, demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Setelah masa kemerdekaan, pesantren ikut berperan aktif dalam mengisi kemerdekaan dengan memposisikan sebagai “benteng moral” bangsa yang berusaha mengikis habis warisan-warisan budaya kolonial. Bahkan dalam memerangi paham komunisme di Indonesia, pesantren terlibat secara fisik melawan PKI dengan varian-variannya.
Sejalan dengan perkembangan jaman, peran pesantren sebagai agen perubahan dalam realitas sosial mengalami reposisi dan reaktualisasi. Pesantren dengan tokoh sentralnya para kyai tidak lagi hanya terbatas melakukan proses rekonstruksi tatanan sosial dan budaya, tetapi juga terlibat dalam proses rekonstruksi tatanan politik di negeri ini. Karenanya tidak mengherankan jika banyak bermunculan tokoh-tokoh dengan latar belakang pesantren dalam skala nasional, sesuai dengan back ground sosio kultural dan kapabilitasnya. Tokoh dengan latar belakang pesantren, ikut berperan aktif dalam berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara

B.     PERAN PESANTREN SEBAGAI AGEN PERUBAHAN

Sejak kehadirannya sebagai institusi keagamaan di daerah pedesaan, pesantren mendedikasikan pengabdiannya kepada masyarakat pedesaan secara sederhana. Pengabdian tersebut diwujudkan dalam bentuk pelayanan yang bersifat keagamaan kepada masyarakat. Kehadiran pesantren pada awalnya menjadi tempat sosialisasi anak-anak dan remaja, sekaligus tempat belajar agama. Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial, yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral keagamaan. Pada perkembangannya peran pesantren dikembangkan kepada upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks seperti ini, pendidikan di pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi sosial.
Kiprah pesantren menjadi salah satu alternatif dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia. Pada akhir dasa warsa 70-an dan dekade 80-an, pesantren melakukan kegiatan yang secara substantif fokus pada kebutuhan riil masyarakat, seperti pengembangan ekonomi, pelestarian lingkungan, atau pemanfaatan teknologi alternatif yang tepat guna.
Proses transformasi sosial yang diperankan pesantren di lingkungan masyarakat ini, sampai derajat tertentu telah mampu menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat tentang arti kehidupan dan membangun pemahaman masyarakat terhadap persoalan konkret yang mereka hadapi, sehingga masyarakat lebih siap dan berdaya dalam menyikapi kehidupan dengan segala kompleksitas persoalannya. Pesantren mampu hadir sebagai agen pembaharu, di tengah lingkungan masyarakatnya.
Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pesantren relatif memberikan makna substansial, karena pesantren telah memperkenalkan “proses” ketimbang sekedar “hasil”. Hal yang lebih esensial, pesantren telah menumbuhkembangkan nilai-nilai ketimbang hal-hal yang bersifat materiil. Pengabdian pesantren kepada masyarakat lingkungannya ini merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dianut pesantren.
Nilai pokok yang selama ini berkembang dalam dunia pesantren adalah “kehidupan diyakini sebagai ibadah”. Dengan demikian, kehidupan duniawi disubordinasikan dalam rangkuman nilai-nilai ilahi yang dianut sebagai sumber nilai tertinggi. Dari nilai pokok ini berkembang nilai-nilai luhur yang lain, seperti keikhlasan, kesederhanaan, atau kemandirian. Nilai-nilai ini merupakan dasar yang dijadikan landasan pesantren dalam pendidikan dan pengembangan masyarakat, yang pada tahap selanjutnya dikembangkan sebagai nilai yang perlu menjadi anutan masyarakat luas.
Pada sisi yang lain, pesantren tampaknya belum sepenuhnya dapat membumikan nilai-nilai akhalqul qarimah sebagai bagian intrinsik keberagaman masyarakat. Ini terindikasi dari merebaknya kekerasan dan kejahatan yang sebagian pelakunya memiliki “hubungan” dengan pesantren. Padahal, hakekatnya pemberdayaan masyarakat dalam perspektif pesantren merupakan upaya pengembangan masyarakat yang muaranya menjadikan masyarakat yang berkeadaban, mandiri, dan sejahtera sesuai nilai dan ajaran Islam yang menjadi anutan pesantren. Bahkan, pesantren sesuai peran historisnya dapat mengaktualisasikan proses internalisasi nilai-nilai kebangsaan, baik di kalangan santri maupun masyarakat di lingkungannya.

C.     PESANTREN DALAM PROSES NATION BUILDING
Kesadaran berbangsa sudah terbangun jauh sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di dalam negeri, kesadaran berbangsa ditandai dengan munculnya gerakan kebangsaan yang direpresentasikan dengan berdirinya perhimpunan kebangsaan seperti Budi Utomo (1908).
Mendahului gerakan kebangsaan yang cikal bakalnya adalah Budi Utomo, pada awal abad XX kaum santri berhasil menghimpun kekuatan dalam masyarakat untuk melancarkan gerakan guna melakukan perubahan dalam masyarakat pribumi. Gerakan perubahan yang dimotori oleh Serikat Islam (SI) telah mengubah sifat tatanan ekonomi, hubungan sosial, kehidupan agama, dan politik. Kemunculan SI yang kemudian menjadi organisasi massa, merupakan puncak pertama mobilisasi massa sebagai basis kekuatan sosial politik umat Islam Indonesia. Tidak kalah pentingnya dengan kemunculan Budi Utomo sebagai gerakan kebangsaan di Tanah Air, para pelajar dan mahasiswa Indonesia di luar negeri juga menyatakan kesadaran berbangsanya dengan membentuk Perhimpunan Indonesia (1908).
Kesadaran berbangsa semakin mengkristal, ketika para pemuda Indonesia sepakat untuk mengekspresikan sikap kebangsaannya melalui Kongres Pemuda yang menghasilkan pernyataan Sumpah Pemuda (1928). Gerakan kebangsaan yang mengerucut dengan komitmen Sumpah Pemuda menjadi rintisan dan penegasan akan tujuan utama kesadaran berbangsa, yaitu melahirkan bangsa Indonesia yang menegara di wilayah yang menjadi tanah airnya.
Dari uraian ini dapat ditarik benang merah tentang wawasan kebangsaan, yaitu cara pandang bangsa tentang diri dan lingkungannya, disertai oleh falsafah cita-cita dan tujuan nasional atau ideologinya serta kemungkinan penyesuaian di dunia yang dinamis (terus berubah). Bila ditinjau dari proses terbentuknya, maka wawasan kebangsaan Indonesia merupakan cara pandang bangsa Indonesia yang timbul karena kesadaran diri serta tempaan sejarah. Cara pandang bangsa Indonesia ini mengandung nilai-nilai yang saling menguatkan. Pertama, pengorbanan, yaitu kesediaan mereduksi berbagai kepentingan sendiri (pribadi, daerah, golongan, dan sebagainya) untuk lebih mengedepankan kepentingan bersama. Kedua, kesederajatan, yaitu kesediaan mengambil peran yang sama dalam perjuangan mewujudkan cita-cita bersama (mencapai taraf kehidupan yang lebih sejahtera). Nilai ini juga mendorong sikap untuk mengambil peran dalam penciptakan perdamaian abadi di dunia, diantara bangsa-bangsa. Ketiga, kekeluargaan, yaitu kesediaan untuk menjalin hubungan harmonis antar kelompok masyarakat bangsa dan antar bangsa yang saling membutuhkan, tanpa harus mengorbankan eksistensi kultural ataupun kepentingan nasional.
Membahas pengembangan character building dalam konteks pesantren, maka peran historis pesantren dalam proses nation building menjadi modal utama untuk mengaktualisasikan peran kekinian dunia pesantren dalam proses character building.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri. Sepanjang sejarah yang dilaluinya, pesantren terus menekuni pendidikan dan menjadikannya sebagai fokus kegiatan. Pendidikan model pesantren diarahkan sebagai proses penanaman nilai-nilai dan perluasan wawasan serta kemampuan santri, sehingga para santri benar-benar tercerahkan.
Dalam perspektif Islam, pengertian pendidikan semacam itu telah menemukan kerangka acuan yang jelas sebagaimana sabda Rasulullah : “Wa ma bu’itstu illa liutammima makarima al-akhlaq”. Untuk memahaminya secara utuh, hadis tersebut perlu dikaitkan dengan Al Qur’an surat Al-Anbiya’ (21) : 107 dimana Allah berfirman : “Wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-alamin”. Berdasar dua rujukan otentik ini, pendidikan Islam harus dapat mengembangkan manusia sebagai makhluk yang memiliki moralitas terhadap Allah, terhadap dirinya, lingkungannya, dan alam keseluruhan. Pesantren sebagai lembaga keagamaan Islam memiliki tugas untuk meletakkan konsep pendidikan dalam kerangka nilai-nilai tersebut.
Kontektualisasi dari nilai moralitas terhadap diri dan lingkungannya jika ditarik pada tataran kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta merujuk pada peran sejarah pesantren dalam proses nation building, akan menjadikan modal bagi pesantren untuk mengembangkan peran sosial politik pesantren dalam proses character building.
Hal mendasar dalam proses character building ini adalah meletakkan wawasan kebangsaan pada setiap individu warga negara sesuai dengan pemahaman masing-masing. Dalam fungsinya sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang bersifat transformatif, pesantren dapat mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai kebangsaan pada santri dan masyarakat di lingkungannya, dengan menggunakan pendekatan dari khazanah keilmuan pesantren.
Konsep dasar dari wawasan kebangsaan yang meliputi persatuan dan kesatuan; bhineka tunggal ika; kebangsaan; negara kebangsaan; negara kepulauan; dan geopolitik, perlu dirujukkan pada prinsip-prinsip Islam seperti tawhid (keesaan Tuhan), ukhuwah (persaudaraan), musawah (persamaan), ‘adl (keadilan), tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleransi), ta’addud (kemajemukan) dan tawassuth (moderat), atau dirujukkan pada khazanah ilmu keislaman.
Dengan demikian, pengembangan character building akan memiliki pijakan teologis yang kuat, sehingga pesantren bersama semua elemen di dalamnya akan terlibat secara aktif untuk membumikan nilai-nilai kebangsaan ke dalam komunitas santri dan masyarakat di lingkungan pesantren, tanpa harus meninggalkan kewajiban utamanya sebagai lembaga pendidikan agama.

D.    PESANTREN DALAM PEMBERDAYAAN UMMAT

Kelahiran pondok pesantren di tanah air, tidak dapat dipisahkan dari sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Kehadiran pondok pesantren sampai saat ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi umat Islam. Pada awal berdirinya, pondok pesantren umumnya sangat sederhana. Sistem yang lazim digunakan dalam proses pembelajaran adalah wetonan, sorogan dan bandongan. Akan tetapi, sejak 1970-an bersamaan dengan program modernisasi pondok pesantren, mulai membuka diri untuk mempelajari pelajaran umum. Pada mulanya, tujuan utama pondok pesantren adalah menyiapkan santri untuk mendalami ilmu pengetahuan agama (tafaqqul fi al-din). Dewasa ini, pertumbuhan dan penyebaran pesantren sangat pesat. Dengan menjamurnya pondok pesantren yang penyuguhkan spesialisasi kajian baik tradisional ataupun modern, membawa dampak positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di negeri ini. Kehadiran pondok pesantreen telah nyata membantu pemerintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di samping itu, pesantren telah menawarkan jenis pendidikan alternatif bagi pengembangan pendidikan nasional. Sejak awal berdirinya pondok pesantren dikenal sebagai lembaga pengkaderan ulama, tempat pengajaran ilmu agama, dan memelihara tradisi Islam. Fungsi ini semakin berkembang akibat tuntutan pembangunan nasional yang mengharuskan pesantren terlibat di dalamnya. Kini, di abad ke-21, sebagaimana disebut orang abad milenium, peran pondok pesantren bukan saja sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga keagamaan dan lembaga sosial. Peran pesantren pun melebar menjadi agen perubahan dan pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran bila sekarang, pemerintah atau lembaga sosial kemasyarakatan menginginkan pondok pesantren menjadi pusat pemberdayaan masyarakat, melalui berbagai kegiatan yang sangat menunjang untuk menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi yang tinggi.

Tantangan globalisasi

Di tengah terpaan arus globalisasi, para pakar ramai menyatakan bahwa dunia akan semakin kompleks dan saling ketergantungan. Dikatakan pula bahwa perubahan yang akan terjadi dalam bentuknon-linear, tidak bersambung, dan tidak bisa diramalkan. Masa depan merupakan suatu ketidaksinambungan. Kita memerlukan pemikiran ulang dan rekayasa ulang terhadap masa depan yang akan dilewati. Kita berani tampil dengan pemikiran yang terbuka dan meninggalkan cara-cara lama yang tidak produktif. The road stop here where we go next? Semua pernyataan tersebut menggambarkan bahwa dunia akan kekurangsiapan dan sekaligus sebagai dorongan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi globalisasi.
Fenomena globalisasi banyak melahirkan sifat individualisme dan pola hidup materialistik yang kian mengental. Di sinilah keunikan pondok pesantren masih konsisten dengan menyuguhkan suatu sistem pendidikan yang mampu menjembatani kebutuhan fisik (jasmani) dan kebutuhan mental spiritual(rohani) manusia.
Eksistensi pondok pesantren dalam menyikapi perkembangan zaman, tentunya memiliki komitmen untuk tetap menyuguhkan pola pendidikan yang mampu melahirkan sumber daya manusia (SDM) yang handal. Kekuatan otak (berpikir), hati (keimanan) dan tangan (keterampilan), merupakan modal utama untuk membentuk pribadi santri yang mampu menyeimbangi perkembangan zaman. Berbagai kegiatan keterampilan dalam bentuk pelatihan/work-shop (daurah) yang lebih memperdalam ilmu pengethuan dan keterampilan kerja adalah upaya untuk menambah wawasan santri di bidang ilmu sosial, budaya dan ilmu praktis, merupakan salah satu terobosan konkret untuk mempersiapkan individu santri di lingkungan masyarakat.
Dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks di lingkungan masyarakat, maka pondok pesantren harus berani tampil dan mengembangkan dirinya sebagai pusat keunggulan. Pondok pesantren tidak hanya mendidik santri agar memiliki ketangguhan jiwa (taqwimu al-nufus), jalan hidup yang lurus, budi pekerti yang mulia, tetapi juga santri yang dibekali dengan berbagai disiplin ilmu keterampilan lainnya, guna dapat diwujudkan dan mengembangkan segenap kualitas yang dimilikinya.
Untuk mencapai tujuan di atas, para santri harus dibekali nilai-nilai keislaman yang dipadukan dengan keterampilan. Pembekalan ilmu dan keterampilan dapat ditempuh dengan mempelajari tradisi ilmu pengetahuan agama dan penggalian dari teknologi keterampilan umum. Karena, tradisi keilmuan dan kebudayaan Islam sangat kaya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sayyid Kuthub; “Yang benar, bahwasannya agama (Islam) bukan mengganti ilmu dan kebudayaan, bahkan bukan pula musuh ilmu dan kebudayaan. Padahal, agama Islam merupakan bingkai ilmu dan kebudayaan poros/sumbu untuk ilmu kebudayaan, begitu pula sebagai metode ilmu dan kebudayaan dan membatasi bingkai dan poros yang mampu memberi hukum (peraturan) bagi segala masalah kehidupan”.
Mencermati karakteristik umat Islam serta kecenderungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa yang akan datang, disertai dengan perkembangan kebudayaan, maka pilihan format pondok pesantren lebih menekankan kepada ilmu pengetahuan alam. Maka keberadaan pondok pesantren sangat optimis sebagai alternatif pendidikan. Sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Chistoper J. Lucas, “Pesantren menyimpan kekuatan yang sangat luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan dapat memberi informasi yang berharga dalam mempersiapkan kebutuhan yang inti untuk menghadapi masa depan.
Di sinilah peran pesantren perlu ditingkatkan. Tuntutan globalisasi tidak mungkin dihindari. Salah satu langkah yang bijak adalah mempersiapkan pesantren tidak “ketinggalan kereta” agar tidak kalah dalam persaingan. Pada tataran ini masih banyak pembenahan dan perbaikan yang harus dilakukan oleh pondok pesantren. Paling tidak tiga hal yang mesti digarap oleh pondok pesantren yang sesuai dengan jati dirinya.
Pertama, pesantren sebagai lembaga pendidikan pengkaderan ulama. Fungsi ini tetap harus melekat pada pesantren, karena pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang melahirkan ulama. Namun demikian, tuntutan modernisasi dan globalisasi mengharuskan ulama memiliki kemampuan lebih, kapasitas intelektual yang memadai, wawasan, akses pengetahuan dan informasi yang cukup serta responsif terhadap perkembangan dan perubahan.
Kedua, pesantren sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan khusus agama Islam.Pada tatanan ini, pesantren masih dianggap lemah dalam penguasaan ilmu dan metodologi. Pesantren hanya mengajarkan ilmu agama dalam arti transfer of knowledge. Karena pesantren harus jelas memiliki potensi sebagai “lahan” pengembangan ilmu agama.
Ketiga, dunia pesantren harus mampu menempatkan dirinya sebagai transformasi, motivator, dan inovator. Kehadiran pesantren dewasa ini telah memainkan perannya sebagai fungsi itu meskipun boleh dikata dalam taraf yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Sebagai salah satu komponen masyarakat, pesantren memiliki kekuatan dan “daya tawar” untuk melakukan perubahan-perubahan yang berarti.
Dari zaman ke zaman, generasi ke generasi peran pondok pesantren melalui fungsi dan tugas santri adalah memperjuangkan tegaknya nilai-nilai religius serta berjihad mentransformasikannya ke dalam proses pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Tujuan yang dimaksud adalah agar kehidupan masyarakat berada dalam kondisi berimbang (balanced) antara aspek dunia dan ukhrawi.
Berdasarkan pendekatan sistemik dan religi di atas, tentunya diakui bahwa peranan pondok pesantren harus sanggup membangun idividu santri untuk membangun kelompok (sosial) yang memiliki potensi kuat dalam mengisi pembangunan negeri ini. Dengan konsepsi yang demikian itu, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang ideal, terutama, karena di dalamnya memuat konsep pendidikan yang integralistik, pragmatik, dan mempunyai akar budaya yang sangat kental di lingkungan masyarakat.

E.     PESANTREN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pesantren adalah sebuah komunitas peradaban dan sering dipandang sebelah mata karena lebih banyak mengurusi soal ukhrowiyah yang tidak diimbangi dengan duniawiyah. Pesantren menjadi tempat untuk pembinaan moral-spiritual, kesalehan seseorang dan pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam. Sering pula dicerca sebagai pusat kehidupan fatalis, karena memproduksi kehidupan zuhud yang mengabaikan dunia materi. Padahal yang dilakukan oleh orang pesantren itu merupakan sebuah kesederhanaan dan kesahajaan dalam menaungi sebuah kehidupan di dunia dan berusaha ”menabung” untuk menggapai akhiratnya.
Dan sekarang sebuah anggapan itu sudah agak bergeser. Alumni-alumni pesantren sudah biasa “beradaptasi” dengan dunia luar, mulai berkecimpung di dunia pendidikan, politik, sosial-budaya, kewirausahaan dan lain sebagainya.
Keberadaan pesantren di tengah-tengah masyarakat mempunyai makna sangat strategis, apalagi jika pesantren ini memiliki lembaga pendidikan umum (baca: formal). Lembaga pesantren yang berakar pada masyarakat, merupakan kekuatan tersendiri dalam membangkitkan semangat dan gairah masyarakat untuk meraih kemajuan menuju ke arah kehidupan yang makin sejahtera. Apalagi dalam menghadapi era globalisasi yang berdampak kepada berbagai perubahan terutama di bidang ekonomi maupun sosial-budaya, dan perlu juga memperhatikan gerakan pesantren dalam mengapresiasikan arus globalisasi dan modernisasi yang berlangsung demikian kuatnya saat ini.
Arus globalisasi dan modernisasi merupakan proses transformasi yang tak mungkin bisa dihindari, maka semua kelompok masyarakat termasuk masyarakat pesantren harus siap menghadapinya dan perlu menanggapi dampak-dampaknya secara terbuka dan secara kritis. Karena pesantren memiliki ciri khas yang kuat pada jiwa masyarakatnya serta dasar-dasar keagamaan dan tradisi menjadikan pesantren memiliki kekuatan resistensi terhadap pengaruh-pengaruh budaya dari luar. Pesantren dianggap sebagai “benteng” nilai-nilai dasar di masyarakat terhadap intervensi budaya asing. Dari sinilah pentingnya keterkaitan pesantren dengan masyarakatnya yang tercermin dalam ikatan tradisi dan budaya yang kuat dan membentuk pola hubungan fungsional dan saling mengisi antara keduanya. Interaksi sosial-budaya yang mendalam antara pesantren dan masyarakat di sekitarnya itu terlihat dalam hal keagamaan, pendidikan, kegiatan sosial dan perekonomian.
Oleh karena itu pesantren membutuhkan gerakan pembaharuan yang progresif terhadap segala bidang, terutama dalam menghadapi permasalahan sosial-kemasyarakatan. Dan pesantren mestinya memberikan diversifikasi (penganekaragaman) keilmuan unggulan khusus atau keahlian praktis tertentu. Artinya, pesantren perlu membuat satu keunggulan tertentu keahlian praktis lainnya misalnya keahlian ilmu umum dan keahlian praktis lainnya.
Pesantren memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Hal ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Dan sebagian yang lain sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual di pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fiddin (pendalaman dan penguasaan ilmu agama) yakni dengan melestarikan ajaran agama Islam serta mengikutkannya pada konteks sosial-budaya.
Untuk mentransformasikan pesantren berperan dalam pemberdayaan masyarakat, maka perlunya langkah-langkah khusus yang dilakukan oleh lembaga tertentu dalam memproduksi santri-santri sebagai “Agent of Change” yang peka terhadap arus modernisasi dan masalah sosial-budaya.

Tantangan Zaman: Sumber Daya Manusia dan Perekonomian Masyarakat

Tantangan terbesar dalam menghadapi globalisasi dan modernisasi adalah pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi. Dalam kehidupan telah terjadi transformasi di semua segi terutama sosial dan budaya yang sangat cepat dan mendasar pada semua aspek kehidupan manusia. Berbagai perubahan tersebut menuntut sikap mental yang kuat, efisiensi, produktivitas hidup dan peran serta masyarakat.
SDM yang berkualitas dan tangguh mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dan mengatasi ekses-eksesnya. Perkembangan SDM akan dengan sendirinya terjadi sebagai hasil dari interaksi antara pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial budaya termasuk kedalaman pengamalan ajaran dan nilai-nilai agama serta perkembangan modernisasi dan teknologi tentunya. Dalam hal ini pembangunan ekonomi tidak secara otomatis berpengaruh peningkatan kualitas SDM. Namun perkembangan SDM yang berkualitas dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Dua hal tersebut (SDM dan pertumbuhan ekonomi) harus diarahkan pada pembentukan kepribadian, etika dan spritual. Sehingga ada perimbangan antara keduniawian dan keagamaan. Dengan perkataan lain pesantren harus dapat turut mewujudkan manusia yang IMTAQ (beriman dan bertaqwa), yang berilmu dan beramal dan juga manusia modern peka terhadap realitas sosial kekinian. Dan itu sesuai dengan kaidah ”al muhafadotu ’ala qodimish sholih wal akhdu bi jadidil ashlah” (memelihara perkara lama yang baik dan mengambil perkara baru yang lebih baik).
Peningkatan SDM merupakan tuntutan yang wajib dilakukan oleh umat manusia. Di dalam Islam pun sudah ada dalilnya yang berbunyi: ”mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang islam laki-laki dan perempuan”. Hal ini menunjukkan sampai kapanpun dalam mengikuti perkembangan zaman globalisasi dan modernisasi harus diikuti pula kesadaran ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya, agar kemampuan untuk bersaing dapat dilaksanakan oleh pesantren. Dan penguasaan ilmu pengetahuan itu merupakan pencerminan dari kehidupan budaya modern dan sekaligus amanat keagamaan, maka tradisi pesantren yang menanamkan etos keilmuan kepada para santri harus dihidupkan kembali, dan tentunya dengan membuka diri kepada ilmu pengetahuan, teknologi, dan pola kehidupan modern.
Kemudian masalah perekonomian menjadi langkah penting bagi pesantren dalam mengorganisir masyarakat. Mengingat dalam arus ’pasar bebas’, masyarakat dituntut untuk berkompetisi hidup dalam melanjutkan kehidupannya. Era globalisasi telah meruntuhkan kekuatan ekonomi masyarakat kecil karena dominasi monopoli pelaku pasar yang sudah menguasai hampir di seluruh pelosok desa. Maka pemberdayaan masyarakat melalui kesejahteraan dan kemandirian ekonomi perlu digerakkan. Pesantren diharapkan mampu menjadi ”pioner perubahan” itu yang kemudian membentuk sebuah gerakan yang praksis di masyarakat. Dalam pengembangan ekonomi juga diperlukan keahlian-keahlian khusus untuk diterapkan meliputi: manusia yang berjiwa sosial, intrepreneurship, bangunan jaringan (baik untuk perdagangan/wirausaha, permodalan dan pemasaran). Masyarakat, khususnya bagi pesantren harus bisa melepaskan diri dari belenggu ”pasar modernisasi” dan lingkaran ekonomi sudah tidak merakyat lagi bagi rakyat kecil.
Dan ada beberapa langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan yakni: keilmuan, jiwa kewirausahaan dan etos kerja/kemandirian.
Keilmuan, dalam hal ini keilmuan agama dan pengetahuan umum seperti yang telah disampaikan tadi. Ajaran agama merupakan pemupukan nilai-nilai spiritual untuk tetap teguh dalam menjalankan agama di kala moderinisasi sudah merasuk pada wilayah jati diri manusia. Sedangkan pengetahuan-pengetahuan keilmuan umum dalam perkembangan zaman terus meningkat dan setiap manusia harus bisa mengikutinya. Dan SDM inilah yang menjadi kunci dari peradaban manusia itu sendiri. Maka diharuskan hidup secara serasi dalam kemodernan dengan tetap setia kepada ajaran agama.
Jiwa Kewirausahaan, etos kewirausahaan dijadikan bagi penumbuhan dan motivasi dalam melakukan kegiatan ekonomi. Gerakan-gerakannya adalah membangun wirausaha bangsa kita sendiri, terutama dari kalangan pesantren dan masyarakatnya. Serta dapat menumbuhkan pengusaha-pengusaha yang tangguh yang mampu bersaing baik di pasar internasional apalagi di pasar lokal itu sendiri.
Pesantren diharapkan dapat melahirkan wirausahawan yang dapat mengisi lapisan-lapisan usaha kecil dan menengah yang handal dan mandiri. Sebenarnya yang diperlukan hanyalah menghidupkan kembali tradisi yang kuat di masa lampau dengan penyesuaian pada kondisi masa kini dan pada tantangan masa depan.
Etos Kerja dan kemandirian, kenyataannya, dalam masyarakat kita etos kerja ini belum sepenuhnya membudaya. Artinya, budaya kerja sebagian masyarakat kita tidak sesuai untuk kehidupan modern. Pesantren, dimulai dengan lingkungannya sendiri, harus menggugah masyarakat untuk membangun budaya kerja yang sesuai dan menjadi tuntutan kehidupan modern. Sedangkan waktu adalah faktor yang paling menentukan dan merupakan sumber daya yang paling berharga. Budaya modern menuntut seseorang untuk hidup mandiri, apalagi suasana persaingan yang sangat keras dalam zaman modern ini memaksa setiap orang untuk memiliki kompetensi tertentu agar bisa bersaing dan dan bermartabat di tengah-tengah masyarakat. Hanya pribadi-pribadi yang punya watak kemandirian saja bisa hidup dalam masyarakat yang makin sarat dengan persaingan.
Dengan demikian, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghadapi segala tantangan, mampu mengambil keputusan sendiri, mempunyai kemandirian, memiliki budaya kerja keras dan daya tahan yang kuat, serta mampu menentukan apa yang terbaik bagi dirinya.
Masyarakat saat ini tidak hanya saja membutuhkan sebuah fatwa atau dalil-dalil yang menyegarkan, tapi juga membutuhkan solusi konkrit dan praksis atas segala permasalahan yang ada. Era keterbukaan dan persaingan bebas sudah dengan cepatnya masuk ke dalam lapisan masyarakat. Kalau tidak menyiapkan diri untuk ”memberdayakan” masyarakat maka akan ikut tergerus dan lenyap oleh zaman itu sendiri. Hanya dengan komitmen dan pengorganisiran masyarakatlah yang sanggup membentengi diri dari itu semua, dan pesantren juga sebagai salah satu harapan masyarakat untuk ikut andil di dalamnya.
Jadi perlunya ”Tri Dharma Pesantren” yakni: pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Hal ini sebagai langkah integrasinya pesantren dalam memerankan fungsinya di masyarakat luas. Sehingga pesantren tidak hanya melahirkan agamawan saja, tetapi juga agamawan yang ”luwes”-inklusif, mempunyai jiwa sosial-kemasyarakatan serta kepribadian mandiri dan intrepreneurship.
Dan pada akhirnya ini sebagai langkah kecil pesantren dalam menghadapi pergerakan zaman. Semoga bermanfaat bagi masyarakat dan pesantren tentunya sebagai pencetak santri-santri yang bermasyarakat. Amin!





















BAB III
KESIMPULAN

Kehadiran pesantren pada awalnya menjadi tempat sosialisasi anak-anak dan remaja, sekaligus tempat belajar agama. Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial, yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral keagamaan. Pada perkembangannya peran pesantren dikembangkan kepada upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks seperti ini, pendidikan di pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi sosial.Kiprah pesantren menjadi salah satu alternatif dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia.
Pesantren sejatinya memiliki potensi besar dalam mengembangkan character building. Peran historis pesantren dalam proses nation building, menjadi modal utama bagi dunia pesantren untuk kembali mengambil peran sosial politik dalam proses character building.
Penanaman kesadaran pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam komunitas santri dan masyarakat di lingkungan pesantren, akan memberikan arti penting pada proses character building. Setidaknya,  peran pesantren dalam memberikan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada santri dan lingkungannya, akan meletakkan proses pengembangan character building pada track yang tepat.
Dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks di lingkungan masyarakat, maka pondok pesantren harus berani tampil dan mengembangkan dirinya sebagai pusat keunggulan. Pondok pesantren tidak hanya mendidik santri agar memiliki ketangguhan jiwa (taqwimu al-nufus), jalan hidup yang lurus, budi pekerti yang mulia, tetapi juga santri yang dibekali dengan berbagai disiplin ilmu keterampilan lainnya, guna dapat diwujudkan dan mengembangkan segenap kualitas yang dimilikinya.
Dari zaman ke zaman, generasi ke generasi peran pondok pesantren melalui fungsi dan tugas santri adalah memperjuangkan tegaknya nilai-nilai religius serta berjihad mentransformasikannya ke dalam proses pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Tujuan yang dimaksud adalah agar kehidupan masyarakat berada dalam kondisi berimbang (balanced) antara aspek dunia dan ukhrawi
Pesantren dianggap sebagai “benteng” nilai-nilai dasar di masyarakat terhadap intervensi budaya asing. Dari sinilah pentingnya keterkaitan pesantren dengan masyarakatnya yang tercermin dalam ikatan tradisi dan budaya yang kuat dan membentuk pola hubungan fungsional dan saling mengisi antara keduanya. Hal ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Dan sebagian yang lain sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat



DAFTAR PUSTAKA

A. Halim, Rr.Suhartini, dkk, Manajemen Pesantren, Yogyakarta; Pustaka Pesantren,
Kelompok Penerbit LKiS, 2005,
1199
Achmad Faozan, “Pondok Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi”, Ibda’: Jurnal Studi
Islam dan Budaya, Vol 4, No. 1, 2006
Adi Sasono, Pengantar dalam Muhammadiyah dan Pemberdayaaan
Masyarkat,Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1995
Billah dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah.
Jakarta: P3M, 1985
Claude Levi-Strauss, Antropologi Struktural, terj, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005
Damihartini dan Jahi sebagaimana dikutip dalam Nuhfil Hanani, “Peranan
Kelembagaan dalam Pengembangan Agribisnis”, Pamator, Volume 2 Nomor 1.
2005.
Data diperoleh dari pengurus Pondok Pesantren Darul Falah, 07 September 2012
Data diperoleh dari wawancara dengan Ust. Saiful Bakri Wakil Ketua Ponpes Darul
Falah Pusat, 07 September 2012 .
Fahmi Saifuddin, “Pesantren dan Penguatan Basis Pedesaan” dalam Saifullah Ma’shum,
Dinamika Pesantren (Telaah Kritis Keberadaan Pesantren Saat Ini), Jakarta:
Al-Hamidiyah, 1998
Koentjaraningrat, Metode-metode Anthtropologi dalam Penjelidikan-Penjelidikan
Masjarakat dan Kebudayaan di Indonesia; Sebuah Ichtisar, Djakarta,
Penerbitan Universitas, 1958
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta, UI-Press, 1987
L.L. Bernard, The field and Methods of Sociology, New York, Rinehart and Company
Inc, 1934
Moh. Nazir, Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.
Nawari. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Oleh Pesantren.
Depok: Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2006.
Susilo Martoyo dalam A Halim, Rr Suhatini, dkk, Manajemen Pesantren, Yogyakarta;
Pustaka Pesantren, 2005
Syahid Widi Nugroho, Peran Pondok Pesantren Dalam Pembangunan Desa. Depok:
Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2005
William A Lessa and Evon Z Vogt, Reader in Comparative Religion; An Antropologi
Approach, New York; Harper and Row Publishers, 1979,
Ziemek Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, Jakarta; P3M, 1986


Tidak ada komentar:

Posting Komentar