MAKALAH
PESANTREN
SEBAGAI AGEN PERUBAHAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DISUSUN
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
KAPITA
SELEKTA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Disusun
oleh :
ENDANG
SUPRIHATIN
Dosen :
SARWADI, M.Pd.I
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM MASJID SYUHADA (STAIMS)
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG MASALAH
Pondok pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia tidak saja memiliki peran
strategis dalam aspek pencerahan keilmuan. Namun ia juga merupakan lembaga
pemberdayaan layaknya lembaga swadaya masyarakat (LSM)
yang ada di Indonesia saat ini. Itu artinya pondok pesantren merupakan LSM tertua di Indonesia. Dengan demikian, multi peran
pesantren tersebut memberikan harapan pesantren sebagai agen perubahan (agent
of change), baik dalam aspek keilmuan, sosial, budaya, dan pemberdayaan
ekonomi. Tidak berlebihan kiranya obsesi tersebut karena pesantren memiliki
komponen-komponen bagi ekspektasi terhadap terjadinya perubahan tersebut. Berbagai komponen tersebut adalah
diantaranya posisi kiai yang memiliki karisma, budaya keilmuan yang selalu
menuntut nilai-nilai idealisme, dan kemampuan memobilisasi massa untuk
menumbuhkan partisipasi masyarakat terhadap suatu program. Sayangnya di
beberapa pondok pesantren belakangan komponen-komponen tersebut telah dimanfaatkan
oleh pihak-pihak tertentu bagi kepentingan hegemoni politik nasional. Posisi
yang sangat strategis dari pesantren tersebut akan menjadi optimal peran sertanya manakala mampu menyelaraskan
dinamika pembangunan bangsa apabila pesantren memiliki standarisasi mutu
pendidikan sekaligus membekali para santri ketika kembali ke masyarakat melalui
program life skill. Sudah barang tentu pendidikan pondok pesantren yang
mengajarkan Islam secara komprehensif menjadikan santri mampu mensinergikan
realita dinamika masyarakat secara bijaksana. Mustahil dengan materi dan pola
pengajaran pondok pesantren menjadikan alumninya bersikap ekslusif. Sejarah
mencatat bahwa pondok pesantren memiliki andil yang sangat besar bagi
terwujudnya harmonisasi kehidupan. Metode dakwah para Wali yang sangat bijak
menjadi mindset pola dakwah dan pemberdayaan masyarakat di Nusantara ini. Hal
ini disebabkan materi pengajaran pondok pesantren tidak saja mengajarkan secara
tekstual alquran dan hadis, namun juga dibekali dengan ilmu-ilmu pendukung
untuk memahami Islam secara komprehensif. Sebut saja misalnya tarikh-tasyrik
(sejarah dan hikmah diturunkannya sebuah syari’at), nahwu-balaghah
(bahasa dan sastra Arab), asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya alquran), asbabul
wurud (latar belakang timbulnya hadis), ushul fiqh (metode
pengambilan hukum), mantiq (logika) dan sederet khazanah ilmu yang
mendukung integrasi intelektualitas muslim. Belum lagi adanya interaksi sosial
yang dibangun antar santri selama bertahun-tahun mondok di pesantren memberi pengaruh
bagi tumbuhnya kecerdasan emosional santri. Tanpa melalui teori-teori psikologi
modern, santri telah secara tidak langsung diajarkan nilai-nilai empati,
tanggung jawab, kejujuran, kesabaran, dan konsistensi, yang itu semua merupakan
pilar-pilar kecerdasan emosi seseorang.
2.
RUMUSAN MASALAH
Sehubungan
dengan latar belakang di atas,maka yang menjadi perumusan masalah di dalam
makalah ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan pesantren dan jenis-jenisnya ?
2.Bagaimana
sejarah perkembangan pesantren dan modernisasinya ?
3.Bagaimana
peran pesantren sebagai agen perubahan ?
4.Bagaimana
peran pesantren dalam pemberdayaan umat ?
5.Bagaimana
peran pesantren dalam pemberdayaan masyarakat ?
3.
TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1.Pesantren
dan sejarah perkembangannya
2.Jenis-jenis
pesantren
3.Perkembangan
pesantren saat ini
4.Peran
pesantren sebagai agen perubahan
5.Peran
pesantren dalam pemberdayaan umat dan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PONDOK PESANTREN
A. PENGERTIAN PONDOK
PESANTREN
Kata pondok berasal dari funduq (bahasa Arab) yang
artinya ruang tidur, asrama atau wisma sederhana, karena pondok memang sebagai
tempat penampungan sederhana dari para pelajar/santri yang jauh dari tempat
asalnya (Zamahsyari Dhofir, 1982: 18). Menurut Manfred dalam Ziemek (1986) kata pesantren berasal dari kata
santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran -an yang berarti menunjukkan
tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga dianggap sebagai
gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong),
sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Sedangkan menurut Geertz pengertian pesantren diturunkan dari bahasa India
Shastri yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis, maksudnya pesantren
adalah tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis. Dia menganggap
bahwa pesantren dimodifikasi dari para Hindu (Wahjoetomo, 1997: 70).
Dalam istilah lain dikatakan pesantren berasal dari kata pe-santri-an,
dimana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok
berasal dari Bahasa Arab funduuq (فُنْدُوْقٌ) yang berarti penginapan.
Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren
dipimpin oleh seorang Kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai
menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka
biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan
keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat
meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.
Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat
diartikan tempat santri. Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa
Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru,
yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang
disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang
berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut
berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu
buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.
Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku
kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat
pendidikan manusia baik-baik.
Dalam kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai asrama,
tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan secara
istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para santri biasanya
tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan
kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail,
serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan
pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat.
Namun Pondok pesantren secara definitif tidak dapat diberikan batasan
yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi
ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren.
B. JENIS- JENIS PONDOK
PESANTREN
Jenis-jenis
Pondok pesantren yang berkembang dalam masyarakat antara lain adalah :
1.
Pondok pesantren salaf (tradisional), Pesantren salaf menurut
Zamakhsyari Dhofier, adalah lembaga pesantren yang mempertahankan pengajaran kitab-kitab
Islam klasik (salaf) sebagai inti pendidikan. Sedangkan sistem madrasah
ditetapkan hanya untuk memudahkan sistem sorogan, yang dipakai dalam
lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan
umum. Sistem pengajaran pesantren salaf memang lebih sering menerapkan model
sorogan dan wetonan. Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang berarti waktu.
Disebut demikian karena pengajian model ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu
yang biasanya dilaksanakan setelah mengerjakan shalat fardhu.
2.
Pesantren khalaf adalah
lembaga pesantren yang memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum madrasah yang
dikembangkan, atau pesantren yang menyelenggarakan tipe sekolah-sekolah umum
seperti; MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA/SMK dan bahkan PT dalam lingkungannya (Depag,
2003: 87). Dengan demikian
pesantren modern merupakan pendidikan pesantren yang diperbaharui atau
dimodernkan pada segi-segi tertentu untuk disesuaikan dengan sistem sekolah.
Sedangkan menurut Mas’ud dkk, ada beberapa
tipologi atau model pondok pesantren yaitu :
1. Pesantren yang mempertahankan kemurnian
identitas aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din)
bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya
bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab
kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan. Pesantren model ini
masih banyak kita jumpai hingga sekarang, seperti pesantren Lirboyo di Kediri
Jawa Timur, beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang, Jawa tengah
dan lain-lain.
2. Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajarannya, namun
dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti
kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan
tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal.
3. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalamnya, baik berbentuk
madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun
sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjangnya, bahkan ada
yang sampai Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas
keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di
Jombang Jawa Timur adalah contohnya.
Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santrinya
belajar disekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi diluarnya. Pendidikan
agama dipesantren model ini diberikan diluar jam-jam sekolah sehingga bisa
diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yang
terbanyak jumlahnya.
C. SEJARAH PESANTREN
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua
yang merupakan produk budaya Indonesia.Keberadaan Pesantren di Indonesia
dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan
keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan
Islam.Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini,
pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan
sejarah bangsa.
Umumnya, suatu pondok
pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri yang
ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah
inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan
bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana
mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang
didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana.Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil
yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai.Semakin banyak jumlah santri,
semakin bertambah pula gubug yang didirikan .Para santri selanjutnya mempopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut,
sehingga menjadi terkenal kemana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok
yang timbul pada zaman Walisongo.
Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam.Namun,
dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang
tidak melulu mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjejelan
materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran social.Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang
berbasis keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit,
tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan kikian masyarakat (society-based
curriculum.Dengan demikian, pesantren tidak bisa lagi didakwa
semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi
lembaga sosial yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat
di sekitarnya.
Banyak
pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang
rendah, meskipun beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih
tinggi.Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan
lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah.Organisasi massa
(ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU.Ormas
Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.
D. PERANAN PESANTREN
Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran
yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa Indonesia
secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan
agama di Nusantara telah
dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudain dikenal
dengan nama Pondok Pesantren.Bahkan dalam catatan Howard M. federspiel-
salaseorang pengkaji ke-Islaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat
studi di Aceh dan Palembang (Sumatra), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah
meng hasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.
Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting di Indonesia dan negara-negara lainnya yang penduduknya banyak memeluk agama Islam. Alumni pondok pesantren umumnya telah bertebaran di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa alumnus pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal antara lain:
Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting di Indonesia dan negara-negara lainnya yang penduduknya banyak memeluk agama Islam. Alumni pondok pesantren umumnya telah bertebaran di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa alumnus pesantren juga telah berkiprah di pentas nasional, yang terkenal antara lain:
Dr. Hidayat
Nurwahid (mantan Ketua MPR RI)
KH. Hasyim Muzadi (Ketua
PB Nahdlatul Ulama),
Dr. Din Syamsuddin (Sekretaris
Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
KH. Abdurrahman
Wahid, salah seorang kyai yang terkenal, adalah mantan Presiden Republik Indonesia. Ia
adalah putra KH. Wahid Hasyim, seorang kyai yang juga tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia dan pernah dua kali menjabat Menteri Agama di
Indonesia. Sementara kakeknya adalah KH. Hasyim Asy'ari,
seorang pahlawan nasional Indonesia dan pendiri Nahdlatul Ulama,
salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Sekarang sendiri Pondok Pesantren atau yang
lebih akrab telah menjadikan dirinya masyarakat sebagai tempat pencetak insan -
insan muda cendekia baik ,ilmu agama,di akhlaq,maupun ilmu sosial. Di tengah masyarakat
sendiri warga pondok pesantren juga menjadi panutan
masyarakat,baik dalam ucapan,maupun perilaku.
E. MODERNISASI
PESANTREN
Sebab-sebab terjadinya moderenisasi Pesantren
daiantaranya:
1.
Pertama,
munculnya wancana penolakan taqlid dengan “kembali kepada Al-Qur’an dan sunah” sebagai
isu sentral yang mulai di tadaruskan sejak tahun 1900. Maka sejak saat tiu
perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan
kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemukan sebagai wancana public.
2.
Kedua: kian mengemukannya wacana perlawanan
nasional atas kolonialisme belanda.
3.
Ketiga, terbitnya kesadaran kalangan Muslim
untuk memperbaharui organisasi keislaman mereka yang berkonsentrasi dalam aspek
sosial ekonomi.
4.
Keempat, dorongan kaum Muslim untuk
memperbaharui sistem pendidikan Islam. Salasatu dan keempat itulah,
menurut Karel A. Steenbrink, yang
sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam untuk melakukan
perubahan Islam di Indonesia.
B.
PERAN PESANTREN MASA KINI
A. AKAR SEJARAH
PESANTREN
Realitas bangsa Indonesia
menunjukkan pada 2 (dua) hal yang signifikan. Pertama, penyebaran penduduk
Indonesia terkonsentrasi di daerah pedesaan. Kedua, mayoritas penduduk
Indonesia terdiri dari komunitas muslim. Terkait dengan realitas diatas, maka
berbicara tentang pemberdayaan masyarakat dalam konteks Indonesia, keberadaan
dan peran pesantren tidak dapat dikesampingkan.
Lembaga
keagamaan yang memiliki karakteristik khas Indonesia ini secara substansial
merupakan institusi keagamaan yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari
masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Pesantren tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat,
dengan posisinya sebagai institusi yang berperan melakukan transformasi sosial
bagi masyarakat yang ada di lingkungannya.
Dalam konteks kekinian, ijtihad
pesantren untuk mengembangan ilmu keislaman “tradisional” dengan bingkai ahlu sunnah wal
jamaah dan moralitas luhur, cenderung
dicurigai dan sering diasosiasikan dengan predikat yang dapat menimbulkan
kesalahpahaman, seperti fundamentalisme, ekstrimisme, radikalisme dan bahkan
terorisme.
Dalam kaitan ini maka sungguh
merupakan tantangan dan panggilan bagi pesantren untuk meluruskan pembiasan
terhadap eksistensi pesantren dari stigmatisasi negatif diatas. Pesantren harus
kembali menekankan karakter dasarnya sebagai lembaga keagamaan dengan
karakteristik yang pluralis, berwatak kerakyatan dan kebangsaan. Pada tataran
inilah sejatinya terletak peran dan sumbangsih konkret dunia pesantren dalam
memberdayakan masyarakat dan membangun solidaritas kebangsaan.
Dalam konteks
ini, pesantren yang memiliki pengaruh kuat di kalangan masyarakat, khususnya di
daerah pedesan, dapat mengaktualisasikan kembali peran sejarahnya dalam proses nation
building, melalui upaya membangkitkan kembali semangat republik untuk
membentengi karakter “keindonesiaan” yang menjadi bagian integral dari falsafah
bangsa.
Sejak
awal pesantren telah menunjukkan perannya secara
nyata dalam proses pembentukan dan pembangunan bangsa (nation-building),
baik ketika masa penjajahan kolonial, menjelang kemerdekaan dan paska
kemerdekaan sampai sekarang.
Pada masa
penjajahan, kaum santri (baca : pesantren) berjuang dengan gigih dan tanpa
pamrih untuk membebaskan rakyat dan negeri ini dari penjajahan bangsa kolonial.
Kepemimpinan tradisional dalam
masyarakat pedesaan, khususnya kaum santri, berada di tangan para kyai yang
secara tradisi mempunyai kedudukan sebagai pelindung masyarakat dan penyebar
agama. Para kyai inilah yang memimpin para santri dan masyarakat pedesaan
memberontak terhadap kekuasaan kolonial pada abad XIX.
Pada saat menjelang kemerdekaan,
ketika akan ditetapkan dasar negara, elite pesantren dengan legowo dan berjiwa
besar, menerima usulan masyarakat Indonesia dari Indonesia Timur, yang
notabene non-muslim, agar tidak mencantumkan “Piagam Jakarta” sebagai dasar
negara. Fakta sejarah ini menunjukkan bagaimana kalangan santri pada waktu itu
telah memiliki wawasan kebangsaan yang patut diteladani, demi tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Setelah masa kemerdekaan, pesantren
ikut berperan aktif dalam mengisi kemerdekaan dengan memposisikan sebagai
“benteng moral” bangsa yang berusaha mengikis habis warisan-warisan budaya
kolonial. Bahkan dalam memerangi paham komunisme di Indonesia, pesantren
terlibat secara fisik melawan PKI dengan varian-variannya.
Sejalan dengan perkembangan jaman,
peran pesantren sebagai agen perubahan dalam realitas sosial mengalami reposisi
dan reaktualisasi. Pesantren dengan tokoh sentralnya para kyai tidak lagi hanya
terbatas melakukan proses rekonstruksi tatanan sosial dan budaya, tetapi juga
terlibat dalam proses rekonstruksi tatanan politik di negeri ini. Karenanya
tidak mengherankan jika banyak bermunculan tokoh-tokoh dengan latar belakang
pesantren dalam skala nasional, sesuai dengan back ground sosio kultural
dan kapabilitasnya. Tokoh dengan latar belakang pesantren, ikut berperan aktif
dalam berbagai segi kehidupan berbangsa dan bernegara
B. PERAN PESANTREN
SEBAGAI AGEN PERUBAHAN
Sejak kehadirannya sebagai institusi
keagamaan di daerah pedesaan, pesantren mendedikasikan pengabdiannya kepada
masyarakat pedesaan secara sederhana. Pengabdian tersebut diwujudkan dalam
bentuk pelayanan yang bersifat keagamaan kepada masyarakat. Kehadiran pesantren
pada awalnya menjadi tempat sosialisasi anak-anak dan remaja, sekaligus tempat
belajar agama. Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam
kerangka pengabdian sosial, yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan
moral keagamaan. Pada perkembangannya peran pesantren dikembangkan kepada upaya
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks seperti ini, pendidikan
di pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang sarat dengan nuansa
transformasi sosial.
Kiprah pesantren menjadi salah satu
alternatif dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia.
Pada akhir dasa warsa 70-an dan dekade 80-an, pesantren melakukan kegiatan yang
secara substantif fokus pada kebutuhan riil masyarakat, seperti pengembangan
ekonomi, pelestarian lingkungan, atau pemanfaatan teknologi alternatif yang
tepat guna.
Proses
transformasi sosial yang diperankan pesantren di lingkungan masyarakat ini,
sampai derajat tertentu telah mampu menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat
tentang arti kehidupan dan membangun pemahaman masyarakat terhadap persoalan
konkret yang mereka hadapi, sehingga masyarakat lebih siap dan berdaya dalam
menyikapi kehidupan dengan segala kompleksitas persoalannya. Pesantren mampu hadir sebagai agen
pembaharu, di tengah lingkungan masyarakatnya.
Pemberdayaan masyarakat yang
dilakukan pesantren relatif memberikan makna substansial, karena pesantren
telah memperkenalkan “proses” ketimbang sekedar “hasil”. Hal yang lebih
esensial, pesantren telah menumbuhkembangkan nilai-nilai ketimbang hal-hal yang
bersifat materiil. Pengabdian pesantren kepada masyarakat lingkungannya ini
merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dianut pesantren.
Nilai pokok yang selama ini
berkembang dalam dunia pesantren adalah “kehidupan diyakini sebagai ibadah”.
Dengan demikian, kehidupan duniawi disubordinasikan dalam rangkuman nilai-nilai
ilahi yang dianut sebagai sumber nilai tertinggi. Dari nilai pokok ini
berkembang nilai-nilai luhur yang lain, seperti keikhlasan, kesederhanaan, atau
kemandirian. Nilai-nilai ini merupakan dasar yang dijadikan landasan pesantren
dalam pendidikan dan pengembangan masyarakat, yang pada tahap selanjutnya
dikembangkan sebagai nilai yang perlu menjadi anutan masyarakat luas.
Pada sisi yang lain, pesantren
tampaknya belum sepenuhnya dapat membumikan nilai-nilai akhalqul qarimah
sebagai bagian intrinsik keberagaman masyarakat. Ini terindikasi dari
merebaknya kekerasan dan kejahatan yang sebagian pelakunya memiliki “hubungan”
dengan pesantren. Padahal, hakekatnya pemberdayaan masyarakat dalam perspektif
pesantren merupakan upaya pengembangan masyarakat yang muaranya menjadikan
masyarakat yang berkeadaban, mandiri, dan sejahtera sesuai nilai dan ajaran
Islam yang menjadi anutan pesantren. Bahkan, pesantren sesuai peran historisnya
dapat mengaktualisasikan proses internalisasi nilai-nilai kebangsaan, baik di
kalangan santri maupun masyarakat di lingkungannya.
C. PESANTREN DALAM
PROSES NATION BUILDING
Kesadaran berbangsa sudah terbangun
jauh sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Di dalam negeri, kesadaran
berbangsa ditandai dengan munculnya gerakan kebangsaan yang direpresentasikan
dengan berdirinya perhimpunan kebangsaan seperti Budi Utomo (1908).
Mendahului
gerakan kebangsaan yang cikal bakalnya adalah Budi Utomo, pada awal abad XX
kaum santri berhasil menghimpun kekuatan dalam masyarakat untuk melancarkan
gerakan guna melakukan perubahan dalam masyarakat pribumi. Gerakan perubahan yang dimotori oleh
Serikat Islam (SI) telah mengubah sifat tatanan ekonomi, hubungan sosial,
kehidupan agama, dan politik. Kemunculan SI yang kemudian menjadi organisasi
massa, merupakan puncak pertama mobilisasi massa sebagai basis kekuatan sosial
politik umat Islam Indonesia. Tidak kalah pentingnya dengan kemunculan Budi
Utomo sebagai gerakan kebangsaan di Tanah Air, para pelajar dan mahasiswa
Indonesia di luar negeri juga menyatakan kesadaran berbangsanya dengan
membentuk Perhimpunan Indonesia (1908).
Kesadaran
berbangsa semakin mengkristal, ketika para pemuda Indonesia sepakat untuk
mengekspresikan sikap kebangsaannya melalui Kongres Pemuda yang menghasilkan
pernyataan Sumpah Pemuda (1928). Gerakan kebangsaan yang mengerucut dengan
komitmen Sumpah Pemuda menjadi rintisan dan penegasan akan tujuan utama
kesadaran berbangsa, yaitu melahirkan bangsa Indonesia yang menegara di wilayah
yang menjadi tanah airnya.
Dari uraian ini
dapat ditarik benang merah tentang wawasan kebangsaan, yaitu cara pandang
bangsa tentang diri dan lingkungannya, disertai oleh falsafah cita-cita dan
tujuan nasional atau ideologinya serta kemungkinan penyesuaian di dunia yang
dinamis (terus berubah). Bila
ditinjau dari proses terbentuknya, maka wawasan kebangsaan Indonesia merupakan
cara pandang bangsa Indonesia yang timbul karena kesadaran diri serta tempaan
sejarah. Cara pandang bangsa Indonesia ini mengandung nilai-nilai yang saling
menguatkan. Pertama, pengorbanan, yaitu kesediaan mereduksi berbagai
kepentingan sendiri (pribadi, daerah, golongan, dan sebagainya) untuk lebih
mengedepankan kepentingan bersama. Kedua, kesederajatan, yaitu kesediaan
mengambil peran yang sama dalam perjuangan mewujudkan cita-cita bersama
(mencapai taraf kehidupan yang lebih sejahtera). Nilai ini juga mendorong sikap
untuk mengambil peran dalam penciptakan perdamaian abadi di dunia, diantara
bangsa-bangsa. Ketiga, kekeluargaan, yaitu kesediaan untuk menjalin
hubungan harmonis antar kelompok masyarakat bangsa dan antar bangsa yang saling
membutuhkan, tanpa harus mengorbankan eksistensi kultural ataupun kepentingan
nasional.
Membahas pengembangan character
building dalam konteks pesantren, maka peran historis pesantren dalam
proses nation building menjadi modal utama untuk mengaktualisasikan
peran kekinian dunia pesantren dalam proses character building.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan
keagamaan merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri. Sepanjang sejarah
yang dilaluinya, pesantren terus menekuni pendidikan dan menjadikannya sebagai
fokus kegiatan. Pendidikan model pesantren diarahkan sebagai proses penanaman
nilai-nilai dan perluasan wawasan serta kemampuan santri, sehingga para santri
benar-benar tercerahkan.
Dalam
perspektif Islam, pengertian pendidikan semacam itu telah menemukan kerangka
acuan yang jelas sebagaimana sabda Rasulullah : “Wa ma bu’itstu illa
liutammima makarima al-akhlaq”. Untuk memahaminya secara utuh, hadis tersebut perlu
dikaitkan dengan Al Qur’an surat Al-Anbiya’ (21) : 107 dimana Allah berfirman :
“Wa ma arsalnaka illa rahmatan li al-alamin”. Berdasar dua rujukan
otentik ini, pendidikan Islam harus dapat mengembangkan manusia sebagai makhluk
yang memiliki moralitas terhadap Allah, terhadap dirinya, lingkungannya, dan
alam keseluruhan. Pesantren sebagai lembaga keagamaan Islam memiliki tugas
untuk meletakkan konsep pendidikan dalam kerangka nilai-nilai tersebut.
Kontektualisasi dari nilai moralitas
terhadap diri dan lingkungannya jika ditarik pada tataran kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta merujuk pada peran sejarah
pesantren dalam proses nation building, akan menjadikan modal bagi
pesantren untuk mengembangkan peran sosial politik pesantren dalam proses character
building.
Hal mendasar dalam proses character
building ini adalah meletakkan wawasan kebangsaan pada setiap individu
warga negara sesuai dengan pemahaman masing-masing. Dalam fungsinya sebagai
lembaga pendidikan keagamaan yang bersifat transformatif, pesantren dapat
mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai kebangsaan pada santri
dan masyarakat di lingkungannya, dengan menggunakan pendekatan dari khazanah
keilmuan pesantren.
Konsep dasar
dari wawasan kebangsaan yang meliputi persatuan dan kesatuan; bhineka tunggal
ika; kebangsaan; negara kebangsaan; negara kepulauan; dan geopolitik, perlu
dirujukkan pada prinsip-prinsip Islam seperti tawhid (keesaan Tuhan), ukhuwah
(persaudaraan), musawah (persamaan), ‘adl (keadilan), tawazun (keseimbangan),
tasamuh (toleransi), ta’addud (kemajemukan) dan tawassuth
(moderat), atau dirujukkan pada khazanah ilmu keislaman.
Dengan
demikian, pengembangan character building akan memiliki pijakan teologis
yang kuat, sehingga pesantren bersama semua elemen di dalamnya akan terlibat
secara aktif untuk membumikan nilai-nilai kebangsaan ke dalam komunitas santri
dan masyarakat di lingkungan pesantren, tanpa harus meninggalkan kewajiban
utamanya sebagai lembaga pendidikan agama.
D. PESANTREN DALAM
PEMBERDAYAAN UMMAT
Kelahiran
pondok pesantren di tanah air, tidak dapat dipisahkan dari sejarah masuknya
Islam ke Indonesia. Kehadiran pondok pesantren sampai saat ini menjadi
kebanggaan tersendiri bagi umat Islam. Pada awal berdirinya, pondok pesantren
umumnya sangat sederhana. Sistem yang lazim digunakan dalam proses pembelajaran
adalah wetonan, sorogan dan bandongan. Akan
tetapi, sejak 1970-an bersamaan dengan program modernisasi pondok pesantren,
mulai membuka diri untuk mempelajari pelajaran umum. Pada mulanya, tujuan utama
pondok pesantren adalah menyiapkan santri untuk mendalami ilmu pengetahuan
agama (tafaqqul fi al-din). Dewasa ini, pertumbuhan dan
penyebaran pesantren sangat pesat. Dengan menjamurnya pondok pesantren yang
penyuguhkan spesialisasi kajian baik tradisional ataupun modern, membawa dampak
positif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di negeri ini. Kehadiran pondok
pesantreen telah nyata membantu pemerintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Di
samping itu, pesantren telah menawarkan jenis pendidikan alternatif bagi
pengembangan pendidikan nasional. Sejak awal berdirinya pondok pesantren
dikenal sebagai lembaga pengkaderan ulama, tempat pengajaran ilmu agama, dan
memelihara tradisi Islam. Fungsi ini semakin berkembang akibat tuntutan
pembangunan nasional yang mengharuskan pesantren terlibat di dalamnya. Kini, di
abad ke-21, sebagaimana disebut orang abad milenium, peran pondok pesantren
bukan saja sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai lembaga keagamaan
dan lembaga sosial. Peran pesantren pun melebar menjadi agen perubahan dan
pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, tidak heran bila sekarang, pemerintah
atau lembaga sosial kemasyarakatan menginginkan pondok pesantren menjadi pusat
pemberdayaan masyarakat, melalui berbagai kegiatan yang sangat menunjang untuk
menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi yang tinggi.
Tantangan
globalisasi
Di
tengah terpaan arus globalisasi, para pakar ramai menyatakan bahwa dunia akan
semakin kompleks dan saling ketergantungan. Dikatakan pula bahwa perubahan yang
akan terjadi dalam bentuknon-linear, tidak bersambung, dan tidak
bisa diramalkan. Masa depan merupakan suatu ketidaksinambungan. Kita memerlukan
pemikiran ulang dan rekayasa ulang terhadap masa depan yang akan dilewati. Kita
berani tampil dengan pemikiran yang terbuka dan meninggalkan cara-cara lama
yang tidak produktif. The road stop here where we go next? Semua
pernyataan tersebut menggambarkan bahwa dunia akan kekurangsiapan dan sekaligus
sebagai dorongan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi globalisasi.
Fenomena
globalisasi banyak melahirkan sifat individualisme dan pola hidup materialistik
yang kian mengental. Di sinilah keunikan pondok pesantren masih konsisten
dengan menyuguhkan suatu sistem pendidikan yang mampu menjembatani kebutuhan
fisik (jasmani) dan kebutuhan mental spiritual(rohani) manusia.
Eksistensi
pondok pesantren dalam menyikapi perkembangan zaman, tentunya memiliki komitmen
untuk tetap menyuguhkan pola pendidikan yang mampu melahirkan sumber daya
manusia (SDM) yang handal. Kekuatan otak (berpikir), hati (keimanan) dan
tangan (keterampilan), merupakan modal utama untuk membentuk
pribadi santri yang mampu menyeimbangi perkembangan zaman. Berbagai kegiatan
keterampilan dalam bentuk pelatihan/work-shop (daurah) yang
lebih memperdalam ilmu pengethuan dan keterampilan kerja adalah upaya untuk
menambah wawasan santri di bidang ilmu sosial, budaya dan ilmu praktis,
merupakan salah satu terobosan konkret untuk mempersiapkan individu santri di
lingkungan masyarakat.
Dalam
menghadapi tantangan yang semakin kompleks di lingkungan masyarakat, maka
pondok pesantren harus berani tampil dan mengembangkan dirinya sebagai pusat
keunggulan. Pondok pesantren tidak hanya mendidik santri agar memiliki
ketangguhan jiwa (taqwimu al-nufus), jalan hidup yang lurus,
budi pekerti yang mulia, tetapi juga santri yang dibekali dengan berbagai
disiplin ilmu keterampilan lainnya, guna dapat diwujudkan dan mengembangkan
segenap kualitas yang dimilikinya.
Untuk
mencapai tujuan di atas, para santri harus dibekali nilai-nilai keislaman yang
dipadukan dengan keterampilan. Pembekalan ilmu dan keterampilan dapat ditempuh
dengan mempelajari tradisi ilmu pengetahuan agama dan penggalian dari teknologi
keterampilan umum. Karena, tradisi keilmuan dan kebudayaan Islam sangat kaya,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Sayyid Kuthub; “Yang benar, bahwasannya agama
(Islam) bukan mengganti ilmu dan kebudayaan, bahkan bukan pula musuh ilmu dan
kebudayaan. Padahal, agama Islam merupakan bingkai ilmu dan kebudayaan
poros/sumbu untuk ilmu kebudayaan, begitu pula sebagai metode ilmu dan
kebudayaan dan membatasi bingkai dan poros yang mampu memberi hukum (peraturan)
bagi segala masalah kehidupan”.
Mencermati karakteristik umat Islam serta kecenderungan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa yang akan datang,
disertai dengan perkembangan kebudayaan, maka pilihan format pondok pesantren
lebih menekankan kepada ilmu pengetahuan alam. Maka keberadaan
pondok pesantren sangat optimis sebagai alternatif pendidikan. Sebagaimana yang
pernah dikemukakan oleh Chistoper J. Lucas, “Pesantren menyimpan kekuatan yang
sangat luar biasa untuk menciptakan keseluruhan aspek lingkungan hidup dan
dapat memberi informasi yang berharga dalam mempersiapkan kebutuhan yang inti
untuk menghadapi masa depan.
Di
sinilah peran pesantren perlu ditingkatkan. Tuntutan globalisasi tidak mungkin
dihindari. Salah satu langkah yang bijak adalah mempersiapkan pesantren tidak
“ketinggalan kereta” agar tidak kalah dalam persaingan. Pada tataran ini masih
banyak pembenahan dan perbaikan yang harus dilakukan oleh pondok pesantren.
Paling tidak tiga hal yang mesti digarap oleh pondok pesantren yang sesuai
dengan jati dirinya.
Pertama, pesantren
sebagai lembaga pendidikan pengkaderan ulama. Fungsi ini tetap harus
melekat pada pesantren, karena pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan
yang melahirkan ulama. Namun demikian, tuntutan modernisasi dan globalisasi
mengharuskan ulama memiliki kemampuan lebih, kapasitas intelektual yang
memadai, wawasan, akses pengetahuan dan informasi yang cukup serta responsif
terhadap perkembangan dan perubahan.
Kedua, pesantren
sebagai lembaga pengembangan ilmu pengetahuan khusus agama Islam.Pada tatanan
ini, pesantren masih dianggap lemah dalam penguasaan ilmu dan metodologi.
Pesantren hanya mengajarkan ilmu agama dalam arti transfer of
knowledge. Karena pesantren harus jelas memiliki potensi sebagai
“lahan” pengembangan ilmu agama.
Ketiga, dunia
pesantren harus mampu menempatkan dirinya sebagai transformasi, motivator, dan
inovator. Kehadiran pesantren dewasa ini telah memainkan perannya sebagai
fungsi itu meskipun boleh dikata dalam taraf yang perlu dikembangkan lebih
lanjut. Sebagai salah satu komponen masyarakat, pesantren memiliki kekuatan dan
“daya tawar” untuk melakukan perubahan-perubahan yang berarti.
Dari
zaman ke zaman, generasi ke generasi peran pondok pesantren melalui fungsi dan
tugas santri adalah memperjuangkan tegaknya nilai-nilai religius serta berjihad
mentransformasikannya ke dalam proses pertumbuhan dan perkembangan masyarakat.
Tujuan yang dimaksud adalah agar kehidupan masyarakat berada dalam kondisi
berimbang (balanced) antara aspek dunia dan ukhrawi.
Berdasarkan
pendekatan sistemik dan religi di atas, tentunya diakui bahwa peranan pondok
pesantren harus sanggup membangun idividu santri untuk membangun kelompok (sosial) yang
memiliki potensi kuat dalam mengisi pembangunan negeri ini. Dengan konsepsi
yang demikian itu, pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang ideal,
terutama, karena di dalamnya memuat konsep pendidikan yang integralistik,
pragmatik, dan mempunyai akar budaya yang sangat kental di lingkungan
masyarakat.
E. PESANTREN DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pesantren
adalah sebuah komunitas peradaban dan sering dipandang sebelah mata karena
lebih banyak mengurusi soal ukhrowiyah yang tidak diimbangi dengan duniawiyah.
Pesantren menjadi tempat untuk
pembinaan moral-spiritual, kesalehan seseorang dan pembelajaran ilmu-ilmu agama
Islam. Sering pula dicerca sebagai pusat kehidupan fatalis, karena memproduksi
kehidupan zuhud yang mengabaikan dunia materi. Padahal yang dilakukan
oleh orang pesantren itu merupakan sebuah kesederhanaan dan kesahajaan dalam
menaungi sebuah kehidupan di dunia dan berusaha ”menabung” untuk menggapai
akhiratnya.
Dan
sekarang sebuah anggapan itu sudah agak bergeser. Alumni-alumni pesantren
sudah biasa “beradaptasi” dengan dunia luar, mulai berkecimpung di dunia
pendidikan, politik, sosial-budaya, kewirausahaan dan lain
sebagainya.
Keberadaan
pesantren di tengah-tengah masyarakat mempunyai makna sangat strategis, apalagi
jika pesantren ini memiliki lembaga pendidikan umum (baca: formal). Lembaga pesantren yang berakar pada
masyarakat, merupakan kekuatan tersendiri dalam membangkitkan semangat dan
gairah masyarakat untuk meraih kemajuan menuju ke arah kehidupan yang makin
sejahtera. Apalagi dalam menghadapi era globalisasi yang berdampak kepada
berbagai perubahan terutama di bidang ekonomi maupun sosial-budaya, dan perlu
juga memperhatikan gerakan pesantren dalam mengapresiasikan arus globalisasi
dan modernisasi yang berlangsung demikian kuatnya saat ini.
Arus
globalisasi dan modernisasi merupakan proses transformasi yang tak mungkin bisa
dihindari, maka semua kelompok masyarakat termasuk masyarakat pesantren harus
siap menghadapinya dan perlu menanggapi dampak-dampaknya secara terbuka dan
secara kritis. Karena
pesantren memiliki ciri khas yang kuat pada jiwa masyarakatnya serta dasar-dasar
keagamaan dan tradisi menjadikan pesantren memiliki kekuatan resistensi
terhadap pengaruh-pengaruh budaya dari luar. Pesantren dianggap sebagai
“benteng” nilai-nilai dasar di masyarakat terhadap intervensi budaya asing.
Dari sinilah pentingnya keterkaitan pesantren dengan masyarakatnya yang
tercermin dalam ikatan tradisi dan budaya yang kuat dan membentuk pola hubungan
fungsional dan saling mengisi antara keduanya. Interaksi sosial-budaya yang
mendalam antara pesantren dan masyarakat di sekitarnya itu terlihat dalam hal
keagamaan, pendidikan, kegiatan sosial dan perekonomian.
Oleh karena itu pesantren
membutuhkan gerakan pembaharuan yang progresif terhadap segala bidang, terutama
dalam menghadapi permasalahan sosial-kemasyarakatan. Dan pesantren mestinya
memberikan diversifikasi (penganekaragaman) keilmuan unggulan khusus atau
keahlian praktis tertentu. Artinya, pesantren perlu membuat satu keunggulan
tertentu keahlian praktis lainnya misalnya keahlian ilmu umum dan keahlian
praktis lainnya.
Pesantren memiliki basis sosial yang
jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren
hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Hal ini menuntut adanya peran dan
fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat,
bangsa, dan negara yang terus berkembang. Dan sebagian yang lain sebagai suatu
komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang
jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan
spiritual di pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fiddin
(pendalaman dan penguasaan ilmu agama) yakni dengan melestarikan ajaran agama
Islam serta mengikutkannya pada konteks sosial-budaya.
Untuk mentransformasikan pesantren
berperan dalam pemberdayaan masyarakat, maka perlunya langkah-langkah khusus
yang dilakukan oleh lembaga tertentu dalam memproduksi santri-santri sebagai “Agent
of Change” yang peka terhadap arus modernisasi dan masalah sosial-budaya.
Tantangan Zaman: Sumber Daya Manusia
dan Perekonomian Masyarakat
Tantangan terbesar dalam menghadapi
globalisasi dan modernisasi adalah pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) dan
ekonomi. Dalam kehidupan telah terjadi transformasi di semua segi terutama
sosial dan budaya yang sangat cepat dan mendasar pada semua aspek kehidupan
manusia. Berbagai perubahan tersebut menuntut sikap mental yang kuat,
efisiensi, produktivitas hidup dan peran serta masyarakat.
SDM yang berkualitas dan tangguh
mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi dan mengatasi
ekses-eksesnya. Perkembangan SDM akan dengan sendirinya terjadi sebagai hasil
dari interaksi antara pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial budaya termasuk
kedalaman pengamalan ajaran dan nilai-nilai agama serta perkembangan
modernisasi dan teknologi tentunya. Dalam hal ini pembangunan ekonomi tidak
secara otomatis berpengaruh peningkatan kualitas SDM. Namun perkembangan SDM
yang berkualitas dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Dua hal tersebut (SDM dan
pertumbuhan ekonomi) harus diarahkan pada pembentukan kepribadian, etika dan
spritual. Sehingga ada perimbangan antara keduniawian dan keagamaan. Dengan
perkataan lain pesantren harus dapat turut mewujudkan manusia yang IMTAQ
(beriman dan bertaqwa), yang berilmu dan beramal dan juga manusia modern peka
terhadap realitas sosial kekinian. Dan itu sesuai dengan kaidah ”al
muhafadotu ’ala qodimish sholih wal akhdu bi jadidil ashlah” (memelihara
perkara lama yang baik dan mengambil perkara baru yang lebih baik).
Peningkatan SDM merupakan tuntutan
yang wajib dilakukan oleh umat manusia. Di dalam Islam pun sudah ada dalilnya
yang berbunyi: ”mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang islam laki-laki dan
perempuan”. Hal ini menunjukkan sampai kapanpun dalam mengikuti
perkembangan zaman globalisasi dan modernisasi harus diikuti pula kesadaran
ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya, agar kemampuan untuk bersaing dapat
dilaksanakan oleh pesantren. Dan penguasaan ilmu pengetahuan itu merupakan
pencerminan dari kehidupan budaya modern dan sekaligus amanat keagamaan, maka
tradisi pesantren yang menanamkan etos keilmuan kepada para santri harus
dihidupkan kembali, dan tentunya dengan membuka diri kepada ilmu pengetahuan,
teknologi, dan pola kehidupan modern.
Kemudian masalah perekonomian
menjadi langkah penting bagi pesantren dalam mengorganisir masyarakat.
Mengingat dalam arus ’pasar bebas’, masyarakat dituntut untuk berkompetisi
hidup dalam melanjutkan kehidupannya. Era globalisasi telah meruntuhkan
kekuatan ekonomi masyarakat kecil karena dominasi monopoli pelaku pasar yang
sudah menguasai hampir di seluruh pelosok desa. Maka pemberdayaan masyarakat
melalui kesejahteraan dan kemandirian ekonomi perlu digerakkan. Pesantren
diharapkan mampu menjadi ”pioner perubahan” itu yang kemudian membentuk sebuah
gerakan yang praksis di masyarakat. Dalam pengembangan ekonomi juga diperlukan
keahlian-keahlian khusus untuk diterapkan meliputi: manusia yang berjiwa
sosial, intrepreneurship, bangunan jaringan (baik untuk perdagangan/wirausaha,
permodalan dan pemasaran). Masyarakat, khususnya bagi pesantren harus bisa
melepaskan diri dari belenggu ”pasar modernisasi” dan lingkaran ekonomi sudah
tidak merakyat lagi bagi rakyat kecil.
Dan ada
beberapa langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan yakni: keilmuan, jiwa
kewirausahaan dan etos kerja/kemandirian.
Keilmuan, dalam hal ini keilmuan agama dan pengetahuan umum seperti
yang telah disampaikan tadi. Ajaran agama merupakan pemupukan nilai-nilai
spiritual untuk tetap teguh dalam menjalankan agama di kala moderinisasi sudah
merasuk pada wilayah jati diri manusia. Sedangkan pengetahuan-pengetahuan
keilmuan umum dalam perkembangan zaman terus meningkat dan setiap manusia harus
bisa mengikutinya. Dan SDM inilah yang menjadi kunci dari peradaban manusia itu
sendiri. Maka diharuskan hidup secara serasi dalam kemodernan dengan tetap
setia kepada ajaran agama.
Jiwa
Kewirausahaan, etos
kewirausahaan dijadikan bagi penumbuhan dan motivasi dalam melakukan kegiatan
ekonomi. Gerakan-gerakannya
adalah membangun wirausaha bangsa kita sendiri, terutama dari kalangan
pesantren dan masyarakatnya. Serta dapat menumbuhkan pengusaha-pengusaha yang
tangguh yang mampu bersaing baik di pasar internasional apalagi di pasar lokal
itu sendiri.
Pesantren diharapkan dapat melahirkan
wirausahawan yang dapat mengisi lapisan-lapisan usaha kecil dan menengah yang
handal dan mandiri. Sebenarnya yang diperlukan hanyalah menghidupkan kembali
tradisi yang kuat di masa lampau dengan penyesuaian pada kondisi masa kini dan
pada tantangan masa depan.
Etos Kerja dan kemandirian, kenyataannya, dalam masyarakat kita etos kerja ini belum
sepenuhnya membudaya. Artinya, budaya kerja sebagian masyarakat kita tidak
sesuai untuk kehidupan modern. Pesantren, dimulai dengan lingkungannya sendiri,
harus menggugah masyarakat untuk membangun budaya kerja yang sesuai dan menjadi
tuntutan kehidupan modern. Sedangkan waktu adalah faktor yang paling menentukan
dan merupakan sumber daya yang paling berharga. Budaya modern menuntut
seseorang untuk hidup mandiri, apalagi suasana persaingan yang sangat keras
dalam zaman modern ini memaksa setiap orang untuk memiliki kompetensi tertentu
agar bisa bersaing dan dan bermartabat di tengah-tengah masyarakat. Hanya
pribadi-pribadi yang punya watak kemandirian saja bisa hidup dalam masyarakat
yang makin sarat dengan persaingan.
Dengan
demikian, bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghadapi segala
tantangan, mampu mengambil keputusan sendiri, mempunyai kemandirian, memiliki
budaya kerja keras dan daya tahan yang kuat, serta mampu menentukan apa yang
terbaik bagi dirinya.
Masyarakat saat
ini tidak hanya saja membutuhkan sebuah fatwa atau dalil-dalil yang
menyegarkan, tapi juga membutuhkan solusi konkrit dan praksis atas segala
permasalahan yang ada. Era
keterbukaan dan persaingan bebas sudah dengan cepatnya masuk ke dalam lapisan
masyarakat. Kalau tidak menyiapkan diri untuk ”memberdayakan” masyarakat maka
akan ikut tergerus dan lenyap oleh zaman itu sendiri. Hanya dengan komitmen dan
pengorganisiran masyarakatlah yang sanggup membentengi diri dari itu semua, dan
pesantren juga sebagai salah satu harapan masyarakat untuk ikut andil di
dalamnya.
Jadi perlunya ”Tri Dharma Pesantren”
yakni: pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Hal ini sebagai
langkah integrasinya pesantren dalam memerankan fungsinya di masyarakat luas.
Sehingga pesantren tidak hanya melahirkan agamawan saja, tetapi juga agamawan
yang ”luwes”-inklusif, mempunyai jiwa sosial-kemasyarakatan serta kepribadian
mandiri dan intrepreneurship.
Dan pada akhirnya ini sebagai
langkah kecil pesantren dalam menghadapi pergerakan zaman. Semoga bermanfaat
bagi masyarakat dan pesantren tentunya sebagai pencetak santri-santri yang
bermasyarakat. Amin!
BAB III
KESIMPULAN
Kehadiran
pesantren pada awalnya menjadi tempat sosialisasi anak-anak dan remaja,
sekaligus tempat belajar agama. Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan
kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial, yang pada mulanya ditekankan kepada
pembentukan moral keagamaan. Pada perkembangannya peran pesantren dikembangkan
kepada upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks seperti
ini, pendidikan di pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang sarat
dengan nuansa transformasi sosial.Kiprah pesantren menjadi salah satu
alternatif dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia.
Pesantren
sejatinya memiliki potensi besar dalam mengembangkan character building.
Peran historis pesantren dalam proses nation building, menjadi modal
utama bagi dunia pesantren untuk kembali mengambil peran sosial politik dalam
proses character building.
Penanaman kesadaran pada kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam komunitas santri dan masyarakat di
lingkungan pesantren, akan memberikan arti penting pada proses character
building. Setidaknya, peran pesantren dalam memberikan kesadaran
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada santri dan lingkungannya, akan
meletakkan proses pengembangan character building pada track yang
tepat.
Dalam menghadapi tantangan yang semakin kompleks di
lingkungan masyarakat, maka pondok pesantren harus berani tampil dan
mengembangkan dirinya sebagai pusat keunggulan. Pondok pesantren tidak hanya
mendidik santri agar memiliki ketangguhan jiwa (taqwimu al-nufus), jalan
hidup yang lurus, budi pekerti yang mulia, tetapi juga santri yang dibekali
dengan berbagai disiplin ilmu keterampilan lainnya, guna dapat diwujudkan dan
mengembangkan segenap kualitas yang dimilikinya.
Dari zaman ke zaman, generasi ke generasi peran
pondok pesantren melalui fungsi dan tugas santri adalah memperjuangkan tegaknya
nilai-nilai religius serta berjihad mentransformasikannya ke dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Tujuan yang dimaksud adalah agar
kehidupan masyarakat berada dalam kondisi berimbang (balanced) antara
aspek dunia dan ukhrawi
Pesantren
dianggap sebagai “benteng” nilai-nilai dasar di masyarakat terhadap intervensi
budaya asing. Dari sinilah pentingnya keterkaitan pesantren dengan
masyarakatnya yang tercermin dalam ikatan tradisi dan budaya yang kuat dan
membentuk pola hubungan fungsional dan saling mengisi antara keduanya. Hal ini menuntut adanya peran dan
fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat,
bangsa, dan negara yang terus berkembang. Dan sebagian yang lain sebagai suatu
komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
A. Halim, Rr.Suhartini, dkk, Manajemen Pesantren, Yogyakarta;
Pustaka Pesantren,
Kelompok Penerbit LKiS, 2005,
1199
Achmad Faozan, “Pondok Pesantren dan Pemberdayaan
Ekonomi”, Ibda’: Jurnal Studi
Islam dan Budaya,
Vol 4, No. 1, 2006
Adi Sasono, Pengantar dalam Muhammadiyah dan
Pemberdayaaan
Masyarkat,Yogyakarta;
Pustaka Pelajar, 1995
Billah dalam Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia
Pesantren Membangun Dari Bawah.
Jakarta: P3M, 1985
Claude Levi-Strauss, Antropologi Struktural, terj,
Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005
Damihartini dan Jahi sebagaimana dikutip dalam Nuhfil
Hanani, “Peranan
Kelembagaan dalam Pengembangan Agribisnis”, Pamator,
Volume 2 Nomor 1.
2005.
Data diperoleh dari pengurus Pondok Pesantren Darul
Falah, 07 September 2012
Data diperoleh dari wawancara dengan Ust. Saiful Bakri
Wakil Ketua Ponpes Darul
Falah Pusat, 07 September 2012 .
Fahmi Saifuddin, “Pesantren dan Penguatan Basis
Pedesaan” dalam Saifullah Ma’shum,
Dinamika Pesantren (Telaah Kritis Keberadaan Pesantren
Saat Ini), Jakarta:
Al-Hamidiyah, 1998
Koentjaraningrat, Metode-metode Anthtropologi dalam
Penjelidikan-Penjelidikan
Masjarakat dan Kebudayaan di Indonesia; Sebuah
Ichtisar, Djakarta,
Penerbitan Universitas, 1958
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta,
UI-Press, 1987
L.L. Bernard, The field and Methods of Sociology, New
York, Rinehart and Company
Inc, 1934
Moh. Nazir, Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988.
Nawari. Pelaksanaan Program Pemberdayaan Masyarakat
Desa Oleh Pesantren.
Depok: Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2006.
Susilo Martoyo dalam A Halim, Rr Suhatini, dkk, Manajemen
Pesantren, Yogyakarta;
Pustaka Pesantren, 2005
Syahid Widi Nugroho, Peran Pondok Pesantren Dalam
Pembangunan Desa. Depok:
Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2005
William A Lessa and Evon Z Vogt, Reader in
Comparative Religion; An Antropologi
Approach, New
York; Harper and Row Publishers, 1979,
Ziemek Manfred, Pesantren
dalam Perubahan Sosial, Jakarta; P3M, 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar